Selasa, 07 Desember 2010

JENIS-JENIS PERILAKU YANG MENUNJUKKAN GAIRAH ORANG-ORANG BERIMAN

Keunggulan orang yang memiliki keiman­an yang teguh di hatinya tampak dalam setiap waktu yang dihabiskannya, setiap sikapnya, dan setiap kata yang diucapkannya. Ke­gai­rahan iman ini melahirkan kesempurnaan dalam perilaku, sehingga orang-orang ber­iman lainnya yang memiliki gairah yang sama di hatinya segera mengenali semangat yang dihasilkan dari keimanan dan ketaatan kepada Allah. Orang-orang yang tidak ber­iman juga melihat semangat, komitmen dan kekuatan spiritual orang-orang beriman. Namun, mereka tidak pernah melihat sumber komit­men ini, karena mereka tidak mengakui agama yang sejati, atau tahu bagaimana cara bersandar hanya semata kepada Allah. Meski­pun orang-orang yang tidak beriman tidak dapat menunjukkan sumber­nya, mereka melihat jenis karakter pemberani dari orang-orang beriman yang tidak terlihat pada orang lain.

Jenis-jenis perilaku yang menunjukkan gairah sangat penting bagi orang-orang ber­iman, karena mustahil untuk membuat kepu­tusan tegas mengenai keunggulan agama lain dan kedekatannya dengan Allah. Hanya Allah yang tahu pasti mana orang yang me­miliki iman yang dalam dan mana yang muna­fik, tetapi Dia telah memberikan petun­juk, yakni gairah dan semangat di dalam diri orang-orang beriman untuk memperoleh keridhaan Allah dan untuk hidup sesuai tuntunan agama-Nya. Dengan cara ini orang dapat dengan mudah mengidentifikasi mereka yang punya iman yang sesungguhnya, yang telah mengabdikan diri untuk Allah. Demikian pula, dia akan melihat kelemahan orang-orang yang tidak beriman, kelalaiannya sangat mencolok ketika dibandingkan dengan semangat orang-orang beriman, sebagaimana dia dapat me­lihat orang-orang yang kuat dan bisa di­andal­kan diantara orang-orang ber­iman. Orang-orang beriman dapat meraih kesem­patan untuk memperkuat keimanan orang-orang yang memiliki semangat yang rendah.

¨ Setia kepada Allah sampai Akhir Hayat

Sepanjang hidupnya orang menjumpai berbagai peluang yang mendatangkan ke­untungan material atau psikologis bagi mere­ka. Ketika mereka memperoleh kesempatan seperti itu, sebagian besar orang mening­gal­kan apa pun yang mereka anggap penting sam­pai waktu itu, bahkan teman karib, dengan harapan untuk memperoleh keun­tungan. Tujuan-tujuan yang dengan antusias mereka kukuhi tiba-tiba menjadi tidak ber­makna bagi mereka — tujuan-tujuan yang mereka telah berjanji tidak akan melepas­kan bagaimanapun keadaannya. Tidak adanya kese­tia­an sejati adalah penyebab sikap tak konsis­ten ini.
Satu-satunya orang yang hidup dengan kesetiaan sejati dalam pengertian yang sebe­narnya adalah orang-orang yang percaya kepada Allah dan berjanji akan tetap setia kepada-Nya. Mereka tahu tidak ada apa pun di muka bumi yang lebih berharga daripada memperoleh keridhaan Allah, karena mereka telah paham bahwa satu-satunya yang patut ditaati ialah Allah Yang Maha Besar. Komit­men orang-orang beriman dilukiskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:

“Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka dian­tara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janji­nya.” (Q.s. al-Ahzab: 23).

“(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (Q.s. ar-Ra‘d: 20).

Kesetiaan orang-orang beriman kepada Allah tampak dalam kesungguhan komitmen mereka pada Islam. Memang, tidak ada keun­tungan duniawi, tidak ada kepentingan ma­terial atau lainnya dapat menggoda mereka untuk meninggalkan ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Allah. Dan tidak ada yang lebih menarik hati mereka kecuali memper­oleh ridha Allah. Kesetiaan mendo­rong mere­ka untuk terus bekerja bagi agama dan mela­kukan perbuatan baik dengan gairah, sebagai­mana ditegaskan Allah dalam al-Qur’an:

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam’.” (Q.s. al-An‘am: 162).

Dan Allah memberikan kabar gembira bahwa Dia akan memberikan balasan bagi orang yang bertakwa:

“Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. al-Ahzab: 24).

¨ Melakukan Perbuatan yang Paling Diri­dhai Allah

Melalui ayat-ayat al-Qur’an, Allah me­nyam­­­paikan kepada manusia jenis moral dan cara hidup yang diridhai-Nya. Hanya orang-orang beriman yang mau mematuhi perintah Allah dengan cara yang terbaik. Bahkan ketika mereka memiliki pengetahuan tentang­nya, sebagian besar orang mengabaik­an gaya hidup yang diridhai Allah karena mereka tidak punya tujuan untuk menye­nang­kan-Nya. Sebaliknya, orang-orang ber­iman ber­usaha untuk mematuhi setiap ayat dalam al-Qur’an dengan sungguh-sungguh dan tidak ada konsesi dalam masalah ini. Bah­kan ketika mereka menghadapi situasi yang bertentang­an dengan kecenderungan duniawi mereka, mereka tidak menampakkan sedikit pun keta­kutan; sebaliknya, mereka meme­nuhi tugas-tugas sulit dengan gairah besar sepan­jang hidup mereka.
Yang menunjukkan gairah orang-orang beriman untuk mendapatkan ridha Allah ialah usaha mereka untuk menyenangkan Allah. Ketika seorang beriman menjumpai beberapa pilihan, dia memilih yang paling disukai Allah. Dia mendasarkan keputusan­nya pada kriteria yang ditetapkan al-Qur’an, Sunah dan kemudian hati nuraninya. Dalam al-Qur’an, Allah memberi tahu orang-orang beriman tentang cara hidup yang paling baik dalam pandangan-Nya dan menjelaskan kepada mereka perilaku yang paling menye­nang­kan-Nya. Karena itu sepanjang hidup­nya, orang-orang beriman dibimbing oleh hati nurani yang senantiasa menyarankan tindakan terbaik dan paling benar. Diantara banyak pilihan, hati nurani mengarahkan manusia ke jalan yang benar yang didasarkan pada pengetahuan dari al-Qur’an.
Berikut ini adalah contoh petunjuk Allah dalam masalah tersebut:

“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku untuk mengucapkan perkataan yang lebih baik.” (Q.s. al-Isra’: 53).

Allah memerintah manusia untuk meng­ucapkan “perkataan yang lebih baik” kepada satu sama lain. Mengucapkan kata yang baik adalah suatu tindakan yang akan memperoleh ridha Allah. Namun, mengucapkan “perka­taan yang lebih baik” adalah yang paling di­ridhai Allah dan menambah balasannya karena Allah memberi tahu kita bahwa itu merupakan amal yang paling baik.
Demikian pula, Allah menyatakan dalam al-Qur’an bahwa perbuatan jahat bisa dibalas dengan perbuatan yang setimpal dengannya. Namun, Allah juga menyuruh kita untuk me­lihat fakta bahwa memaafkan dan memper­lihatkan sikap yang baik guna memperbaiki moralitas orang yang berbuat salah adalah lebih baik:

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka paha­lanya atas (tanggungan) Allah. Sesung­guhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Q.s. asy-Syura: 40).

Sebagaimana dinyatakan dalam ayat itu, membalas kejahatan dengan kejahatan adalah tindakan yang sesuai dengan hukum Allah. Namun, memaafkan adalah tindakan yang lebih baik dan mendorong orang untuk mem­peroleh ridha Allah. Dalam suatu situasi di mana orang dapat melaksanakan haknya, ber­usaha untuk mengendalikan kemarahan dan memaafkan orang yang berbuat salah adalah pertanda kesempurnaan moral. Itu karena orang menolak untuk mematuhi ke­inginan nafsunya dan menampakkan kesa­baran yang mulia demi memperoleh ridha Allah. Ayat berikut ini menyatakan:

“Tetapi orang yang bersabar dan mema­afkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diuta­makan.” (Q.s. asy-Syura: 43).

Perbedaan dengan orang-orang yang me­miliki gairah kuat terlihat dari sikap mereka yang selalu memilih yang terbaik. Apa pun keadaannya, mereka memperlihatkan tekad untuk melakukan yang paling disenangi Allah. Sebagai balasannya Allah memberi mereka kabar baik bahwa Dia akan menun­jukkan mereka kepada keselamatan:

“Dengan Kitab itulah Allah menunjukkan orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menun­jukan mereka ke jalan yang lurus.” (Q.s. al-Ma’idah: 16).

¨ Mengutamakan Kepentingan Agama daripada Kepentingan Mereka Sendiri

Seperti disebutkan sebelumnya, sebagian besar orang dalam masyarakat jahiliah ber­usaha untuk memperoleh keuntungan dari masyarakat tempat mereka tinggal melalui hubungan personal, dan bahkan dari teman-teman karibnya. Jika terjadi konflik kepen­tingan, mereka tidak pernah ragu untuk mendahulukan kepentingan mereka sendiri dan, dalam sekejap mata, dapat dengan mudah mengorbankan orang lain bahkan kawannya sendiri. Itu karena mereka mengutamakan diri mereka ketimbang apa pun dan siapa pun.
Namun, situasinya berbeda bagi orang-orang beriman. Mereka tidak menetapkan tujuan-tujuan individual dan dengan demi­kian tidak berkonsentrasi hanya pada kepen­tingan pribadi tetapi mempertimbangkan kepentingan orang beriman lain dan Islam. Memang, ketika kepentingan orang beriman dan Islam dipenuhi, kepentingan mereka sendiri akan terpenuhi. Mereka tidak dikuasai oleh kepentingan duniawi, tetapi yang terpen­ting bagi mereka dalam hidup ini ialah untuk memperoleh perilaku yang paling menye­nang­­kan Allah, karena itulah yang akan ber­guna bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat. Mereka yang memiliki jenis men­talitas ini selalu bekerja untuk kepen­tingan Islam dengan penuh gairah.
Pada titik ini perlu dijelaskan apa itu “ke­pen­tingan” Islam. Allah mewahyukan agama-Nya kepada semua orang sebagai petunjuk di atas jalan lurus. Menyampaikan kepada orang keyakinan dan amal agama dan kebahagiaan yang muncul dari moralitasnya ditambah dengan semua keuntungan spiritual dan mate­rialnya merupakan kewajiban semua orang beriman. Mereka memenuhi kewajiban ini dengan memberi contoh bagaimana hidup dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan dengan menyampaikan kepada manusia melalui kata atau menyebarkan publikasi yang relevan. Orang beriman menganggap mengajak satu orang kepada keselamatan abadi merupakan bentuk ibadah yang penting. Ini merupakan aspek utama dari “kepentingan” Islam. Dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan penca­paian perdamaian sosial dan individual dan pen­cegahan imoralitas, kesengsaraan dan ketidakadilan, orang-orang beriman menge­sam­pingkan kepentingan mereka sendiri. Pendekatan ini diambil dari sabda Nabi Mu­hammad saw: “Engkau tidak akan benar-benar beriman sampai hawa nafsunya disan­dar­kan kepada agama yang aku bawa.” (An-Nawawi, Hadis No. 41).
Dalam situasi-situasi seperti itu orang beriman mungkin mencela hak mereka sendiri. Ketika mereka harus mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri, sebagian orang mungkin menganggapnya sebagai kesalahan konsepsi; mereka mungkin mende­finisikan sikap orang beriman ini sebagai “ketololan”.
Ada sebagian orang yang berpikir sesuai dengan kondisi masyarakat dan akan berkata, “Apakah anda orang yang akan me­nye­lamatkan dunia?” Namun, berbeda dari yang mereka bayangkan, orang beriman tidak meng­abaikan kepentingan pribadi demi kepentingan akhirat; mereka mengharapkan balasan pengorbanannya dari Tuhan. Karena alasan ini mereka rela ber­korban untuk Islam, menyampaikan pesan moral yang baik dan mengajak orang kepada keselamatan abadi. Allah memberikan kabar baik bahwa sebagai balasan bagi tekad kuat mereka Dia akan mem­beri mereka balasan yang lebih baik dan lebih tinggi. Akibatnya, seseorang yang mengesampingkan kepenting­an pribadi dan memenuhi kepentingan agama sebenarnya memperoleh manfaat yang paling baik, baik di dunia maupun di akhirat. Itu karena mela­lui usaha sungguh-sungguh dia memperoleh keridhaan Allah dan kehidupan yang baik di dunia ini. Mengenai ini Allah berfirman:

“Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri ba­lasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka ker­jakan.” (Q.s. an-Nahl: 97).

Kita dapat melihat perilaku orang beriman dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sebagai contoh, orang beriman tidak ragu untuk me­ngesampingkan bisnis yang meng­un­tung­kannya, agar dia dapat terlibat dalam tugas lain tanpa imbalan keduniaan jika dia percaya hal itu akan lebih menyenangkan Allah. Demi­ki­an pula, dia akan mudah mengeluarkan uangnya yang telah dia simpan guna membia­yai proyek amal yang dirancang untuk me­nyam­paikan pesan-pesan moral al-Qur’an kepada umat manu­sia. Sebagaimana tampak dalam contoh, seorang beriman yang gigih segera menge­sam­pingkan kepentingan priba­di­nya dan meng­abdikan diri untuk kepen­tingan agama tanpa ragu.
Kesadaran seseorang untuk mengabaikan hak-haknya dalam situasi tertentu berkaitan dengan kesadarannya, bahwa apa yang dia laku­kan merupakan sesuatu yang besar imbal­annya dan bukan suatu kerugian. Dia mung­kin mengabaikan kontrak yang mengun­tungkan, dan bahkan, menimbulkan kerugian material yang banyak; tetapi, dia akan mem­peroleh sesuatu yang jauh lebih tinggi dari itu: keridhaan Allah. Di samping itu, orang ber­iman tahu bahwa yang memberi dan menahan sesuatu adalah Allah. Yang memberi makan­an, kekayaan, dan meningkatkan peng­­hasil­annya adalah Allah; karena itu, tak ada guna­nya bersikap rakus atau cemas tentang akibat­nya. Allah menyatakan bahwa sebagai imbal­an bagi moral mereka yang baik dan usaha yang sungguh-sungguh, orang ber­iman akan memperoleh tambahan pahala:

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambah­annya.” (Q.s. Yunus: 26).

Lebih mengutamakan kepentingan Islam daripada kepentingan pribadi tidak terbatas pada masalah materi. Mungkin ada kepen­ting­an untuk mengorbankan tubuh juga. Sebagai contoh, bantuan mungkin diperlukan ketika orang merasa letih, lapar atau kurang sehat. Pada waktu-waktu seperti itu, orang ber­iman terus memberikan bantuan tanpa menunda-nunda. Itu karena mereka meng­ang­gap pengorbanan materi atau fisik bukan merupakan suatu kesulitan melainkan kesem­patan yang diciptakan oleh Allah. Ini adalah kesempatan-kesempatan yang dekat yang ditunggu oleh orang-orang ber­iman, yang sangat merindukan kedekatan dengan Allah dan mendapatkan ridha-Nya. Karena alasan ini, tanpa merasa sedih, mereka berpaling kepada tugas yang paling meng­untungkan. Tak diragukan lagi, gairah dan tekad yang mereka tunjukkan merupakan indikasi dari iman dan keikhlasan.
¨ Komitmen untuk Menjaga Moral yang Baik

Orang yang ingin memperoleh ridha Allah dalam kehidupan di dunia ini akan memper­lihatkan tekad besar untuk menjaga moral yang baik yang disukai Allah. Mereka yang tidak memiliki keimanan yang ikhlas kepada Allah dan yang tidak bersemangat untuk mem­peroleh ridha-Nya, akan merasa bahwa tugas itu berat. Itu disebabkan karena moral yang baik meliputi pelaksanaan secara sem­purna atas kehendak dan hati nurani. Mereka yang tidak punya gairah dan semangat ke­iman­an di hatinya tidak akan menam­pakkan kepekaan hati nurani dan kehendak. Kon­seku­ensinya, mereka tidak memper­li­hatkan moral yang baik dalam pengertian yang sebe­narnya.
Orang-orang beriman yang memeluk agama dengan gigih, sebaliknya, akan dengan senang hati menjalani kehidupan sesuai dengan prinsip moral yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan mendapatkan kesenangan dari pengamalan itu. Kadang-kadang mung­­­kin mereka menghadapi situasi-situasi yang meng­goda, tetapi ketika mereka menolak untuk mengikuti naluri hewani, mere­ka me­rasa puas mencapai prestasi moral ini. Mereka sering menjumpai kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah namun tetap tegar dan berani.
Menghadapi sikap agresif yang dapat me­mancing kemarahan, mereka sabar dan mena­han diri. Mereka membalas perbuatan jahat dengan perbuatan baik. Ketika diper­lakukan tidak adil, mereka lebih suka ber­murah hati dan memaafkan, sekalipun mere­ka berada dalam posisi benar. Dalam situasi-situasi yang paling sulit dan menyusahkan pun, mereka tetap mengesampingkan kepen­ting­annya sendiri dengan memberikan prio­ritas kepada keinginan orang lain, dan senang berkorban untuk orang-orang beriman lain­nya. Ketika menyadari bahwa mereka berbuat kesalahan, mereka berusaha sungguh-sung­guh untuk memperbaiki. Meskipun mere­ka mungkin dalam keadaan sangat mem­butuh­kan, mereka tetap bersedekah kepada anak-anak yatim, orang miskin, musafir dan senantiasa taat kepada perintah Allah. Mereka selalu berbuat adil dan menunjukkan sikap jujur ketika  memberikan kesak­sian, bahkan ketika berten­tangan dengan kepentingannya sendiri. Mereka tidak memata-matai orang lain atau berkhianat satu sama lain. Yang terpenting, mereka berpegang teguh pada nilai-nilai al-Qur’an sampai akhir hayat menjemput.
Hanya gairah keimanan memberikan kepada seseorang kemampuan untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an. Komit­men orang beriman pada nilai-nilai yang baik mencerminkan kedalaman iman mereka. Tentu saja ada saatnya ketika orang Islam ber­juang melawan hawa nafsu dan ketika mereka tergoda oleh setan. Namun, hamba Allah yang bijaksana selalu menampakkan tekad untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai moral yang akan menyenangkan Allah disebabkan oleh keta­atan kepada-Nya, dan cita-cita mereka untuk dekat dengan-Nya.

¨ Menyerahkan Diri dan Harta Mereka untuk Allah

Diri dan harta adalah dua konsep yang dianggap sangat penting oleh masyarakat jahiliah. Faktanya, bagi banyak orang diri dan harta merupakan satu-satunya tujuan kehi­dup­an. Sepanjang hidup mereka, orang ber­usaha untuk memperoleh status yang dengan­nya mereka dapat dihormati dan bisa unggul. Dalam al-Qur’an, Allah menyuruh manusia untuk memperhatikan fakta bahwa memiliki harta dan dihormati di masyarakat adalah nafsu banyak orang-orang bodoh:

“Dijadikan indah pada pandangan manu­sia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.s. Ali Imran: 14).

Dalam ayat lain Allah menyatakan bahwa harta dan status tidak lain adalah ujian:

 “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap diri dan hartamu.” (Q.s. 187).

Dengan nafsu yang menyala di hati,  orang-orang dalam masyarakat jahiliah bercita-cita untuk memiliki harta yang banyak. Ketakut­an terbesar mereka ialah kerusakan terhadap harta mereka atau sesuatu yang mereka bang­gakan, karena kerusakan itu akan mempe­nga­ruhi tujuan utama mereka dalam kehidupan. Karena alasan ini mereka mengorbankan segala sesuatu demi melin­dungi kekayaan, diri, dan kemajuan kepentingan duniawi mereka. Pandangan mereka bahwa kehidupan dunia ini, apa-apa yang ada di dalamnya dan kese­nangan-kesenangannya yang menggoda, adalah lebih bernilai daripada ridha Allah, menjadi sumber sikap seperti itu.
Sebaliknya, orang-orang beriman segera mengesampingkan keuntungan material (yang diburu oleh orang-orang jahiliah) demi memperoleh ridha Allah dan surga. Mereka sadar bahwa mereka sedang diuji melalui harta dan diri mereka, dan bahwa Allah ada­lah pemilik sesungguhnya atas apa-apa yang diberikan di dunia ini. Akibatnya, Allah mung­­kin mengambil kembali apa yang telah Dia amanatkan kapan pun Dia menghendaki, karena Allah memegang kekuasaan mutlak atas segala sesuatu di alam semesta ini.
“Diri” seseorang, yang adalah tubuhnya, akhirnya akan mengalami proses kemun­duran yang cepat setelah usia enam puluh atau tujuh puluh tahun, dan hartanya tidak akan memberi manfaat baginya di akhirat. Tetapi ketika seseorang menggunakan hartanya di jalan Allah, dia akan menuai kepuasan baik di dunia ini maupun di akhirat. Orang-orang beriman menyerahkan diri mere­ka kepada Allah, dan gairah dalam hati merekalah yang menyebabkan mereka ber­serah diri kepada-Nya. Dalam al-Qur’an dinyatakan sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang mukmin dengan surga.” (Q.s. at-Taubah: 111).

Ayat di atas ditutup dengan:

“Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan ini, dan itulah ke­menangan yang besar.” (Q.s. at-Taubah: 111).

Ayat ini memungkinkan orang-orang beriman untuk senantiasa mengalami kebaha­giaan dan gairah di hati mereka. Ketika diper­lukan, mereka dengan bersemangat meng­gunakan hartanya untuk tujuan yang baik guna mendapatkan ridha Allah. Mereka meng­gunakan diri mereka untuk berbakti kepada agama dan berbuat amal baik untuk mendapatkan ridha Allah. Tak diragukan lagi, mereka sadar bahwa kadang-kadang harta dan hidup mereka mungkin dalam bahaya, tetapi mereka menerima itu dengan senang hati karena mereka menganggap itu sebagai ke­un­tungan dan bukan kerugian. Dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan orang-orang ber­iman untuk menghadapi kesulitan dengan tawakal:

“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus ber­ta­wakal’.” (Q.s. at-Taubah: 51).

Al-Qur’an juga menceritakan suatu keja­dian yang memperlihatkan betapa bergai­rahnya orang beriman menyerahkan harta dan diri mereka untuk Allah. Sekelompok orang beriman di zaman Nabi Muhammad saw. dengan ikhlas berkeinginan untuk ber­juang di jalan Allah, tetapi keadaan tidak memungkinkan mereka. Allah menghargai niat tulus mereka dan memaafkan mereka:

“Dan tiada dosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu’, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak mem­peroleh apa yang akan mereka nafkah­kan.” (Q.s. at-Taubah: 92).

Ini merupakan isyarat yang jelas tentang betapa tulusnya orang-orang beriman berke­inginan untuk menggunakan harta dan diri mereka di jalan Allah dan gairah yang dia rasa­kan untuk tujuan ini. Tak diragukan lagi, jenis pengabdian yang diberikan seorang yang beriman akan berubah sesuai dengan waktu dan situasi. Di zaman Nabi Muhammad saw. perang harus dilancarkan untuk melindungi hak-hak orang beriman. Di zaman kita seka­rang ini umat Islam perlu berjuang dalam bidang intelektual, dan mengabdi dalam bi­dang keilmuan.
Setiap orang yang melakukan pengorbanan tulus untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an dan menyampaikan keindahan hidup seperti itu kepada orang lain, semata meng­­harapkan balasan dari Tuhannya. Balas­an bagi mereka yang menggunakan waktu dan harta di dunia ini di jalan Allah ditegaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:

Siapakah yang mau meminjamkan ke­pada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Q.s. al-Hadid: 11).

¨ Berlomba-lomba dalam Kebaikan

“Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar dan berse­gera kepada amal-amal kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (Q.s. Ali Imran: 114).

 “Maka berlomba-lombalah berbuat keba­jikan.” (Q.s. al-Ma’idah: 48).

Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Namun berlomba-lomba ini bukanlah seperti dalam masya­rakat jahi­liah untuk tujuan mengalahkan orang lain. Seba­liknya, ini adalah berlomba untuk mem­perbanyak kebajikan dan amal. Tujuan orang-orang beriman berlomba-lomba bukanlah untuk memperoleh keuntungan dunia atau untuk mengungguli orang lain. Sebaliknya, mereka berlomba-lomba untuk taat kepada perintah Allah, untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang disenangi Allah, dan untuk mencapai ridha Allah. Keterlibatan mereka dalam lomba seperti itu adalah manifes­tasi dari ketakutan dan iman mereka kepada Allah. Memang, usaha yang dilakukan sese­orang merupakan ukuran tentang keikh­lasan dan komitmennya. Dia ingin Allah ridha, memberi rahmat, dan surga, maka dia mela­ku­kan segala upaya dengan sungguh-sung­guh. Dengan menggunakan akal budi, hati nurani, dan kemampuan fisiknya secara mak­simal, dia berusaha untuk hidup sesuai dengan al-Qur’an dalam cara sesempurna mung­kin. Allah mem­beri tahu kita, bahwa usaha tulus mereka­lah yang membuat orang-orang beriman unggul dalam pandangan Allah.

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (Q.s. al-Mu’minun: 61).

Sikap Nabi Zakaria dijadikan sebagai contoh:

Maka Kami kabulkan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengan­dung. Sesung­guhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Q.s. al-Anbiya’: 90).

Di sini, Allah meminta perhatian kita kepada fakta bahwa bersegera kepada amal ke­baik­an juga merupakan sifat para nabi. Sepan­jang hidupnya para nabi berusaha untuk memperoleh ridha Allah, maka orang beriman menjadikan para nabi sebagai teladan.
Alasan lain orang-orang beriman ber­lomba-lomba untuk berbuat kebaikan ialah mereka sadar bahwa kehidupan dunia ini sangat singkat dan kematian sangat dekat. Mereka tahu kematian dapat menimpanya kapan pun, dan bahwa mereka akan merasa menyesal jika tidak berusaha sungguh-sung­guh untuk memperoleh ridha Allah. Karena begitu seseorang masuk alam akhirat, musta­hil untuk kembali ke alam dunia lagi untuk berlomba dalam beramal kebajikan. Dengan demikian, orang beriman berlomba-lomba dengan waktu untuk berbuat baik lebih banyak lagi, dan selama mereka masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Mereka dengan bersemangat menggunakan setiap kesempatan untuk berbuat baik. Sebu­ah doa orang-orang beriman yang mukhlis dikutip dalam al-Qur’an sebagai berikut:

“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Q.s. al-Furqan: 74).

Dengan gairah dan tekad orang-orang beriman memenuhi perintah Allah:

“Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Q.s. asy-Syarh: 7-8).

Mereka tidak menyia-nyiakan waktu dan bersegera berbuat kebaikan dengan gairah besar, karena tahu bahwa manusia tidak pernah dapat menganggap usahanya sudah cukup. Mereka tidak pernah lupa bahwa mereka harus memberikan pertanggung­jawaban atas setiap detik waktu yang diguna­kan di dunia ini, dan bahwa mereka akan ber­tanggung jawab atas setiap detik yang tidak mereka gunakan untuk menuruti hati nurani atau terlibat dalam kegiatan yang tidak berguna di saat mereka dapat berbuat lebih baik lagi. Di luar waktu yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok pribadi­nya, mereka terlibat dalam usaha terus-menerus untuk melakukan hal-hal yang lebih baik.
Sadar bahwa pengorbanan fisik dan mental di jalan Allah mendatangkan balasan yang besar, mereka tidak pernah menganggap kele­tihan sebagai hal yang mengganggu, sebagai­mana anggapan masyarakat jahiliah. Mereka memandang ini sebagai kesempatan penting untuk keuntungan di akhirat, dan segera sete­lah pekerjaan selesai, mere­ka dengan berse­mangat melakukan pekerjaan lain untuk menyenangkan Allah. Dinyatakan dalam al-Qur’an:

“Dan barangsiapa menghendaki kehidup­an akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (Q.s. al-Isra’: 19).

Sebagai imbalan bagi usaha mereka yang sungguh-sungguh dan komitmen mereka untuk berbuat baik, hamba-hamba-Nya yang beriman akan ditempatkan oleh Allah di rumah-rumah besar dan megah dan menik­mati karunia yang besar untuk selamanya:

Dan orang-orang yang paling dahulu beriman. Mereka itulah orang yang didekat­kan kepada Allah. Berada dalam surga-surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata, seraya bertelekan di atasnya ber­hadap-hadapan.” (Q.s. al-Waqi‘ah: 10-6).

Allah telah menyampaikan kabar gembira bahwa mereka yang berletih-letih dalam kehi­dupan dunia ini demi meraih ridha Allah tidak akan merasa letih di akhirat:

“Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluar­kan darinya.” (Q.s. al-Hijr: 48).

“Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu.” (Q.s. Fathir: 35).

¨ Tetap Sabar Menghadapi Kesulitan

Dalam al-Qur’an, Allah menggambarkan Dirinya sendiri sebagai berikut:

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” (Q.s. al-Mulk: 2).

Dia menyuruh manusia memperhatikan fakta bahwa kehidupan dunia ini adalah saat ujian. Memang, peristiwa-peristiwa yang keli­hatannya baik atau tidak baik dalam kehi­dupan ini penting dalam menyingkap watak aslinya seseorang. Bencana, secara khusus, akan menyingkap derajat keikhlasan sese­orang.
Salah satu kualitas paling mencolok dari orang-orang beriman ialah karakter mereka yang stabil. Baik di saat sejahtera atau susah, mere­ka memperlihatkan semangat dan keikhlasan yang sama. Ini timbul dari persepsi yang unik tentang konsep “kesulitan”, karena mereka menganggap saat-saat sulit sebagai kesempatan untuk membuktikan ketaatan kepada Allah dan kekuatan imannya. Mereka mengakui bahwa saat-saat sulit adalah situasi khusus yang diciptakan oleh Allah untuk membedakan antara “mere­ka yang dalam hatinya ada penyakit” dan “mereka yang tulus ikhlas dalam beriman kepada-Nya.” Dalam menghadapi apa pun, mereka menampakkan ketegaran dan berta­wakal kepada Allah sesuai perintah-Nya:

 “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik” (Q.s. al-Ma‘arij: 5).

Al-Qur’an juga menyatakan:

“Allah tidak membebani seseorang melain­kan sesuai dengan kesanggupannya. Ia men­dapat pahala dari kebajikan yang diusaha­kannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya.” (Q.s. al-Baqarah: 286).

Orang beriman merasa aman dan nyaman karena tahu bahwa Allah tidak membebani mereka melebihi apa yang dapat mereka tang­gung. Dalam menghadapi kesusahan, mereka ingat bahwa ini adalah kejadian yang akan dapat mereka atasi, dan karena itu mereka menghadapinya dengan sabar. Maka, tak peduli betapapun berat penderitaan, mere­ka berusaha untuk menunjukkan sikap ber­serah diri kepada Allah.
Di samping itu, mereka tahu bahwa pen­deritaan-penderitaan telah menimpa orang-orang beriman di masa lalu, dan bahwa cobaan yang dihadapi orang di masa lalu akan mereka hadapi juga. Seseorang beriman sadar akan fakta ini, siap sejak lama sebelum dia benar-benar menghadapi kesulitan; dia telah ber­tekad bahwa dia akan tetap setia kepada Tuhan­­nya, dan dengan demikian, bertekad untuk menunjukkan kesabaran dan tawakal kepada Allah dalam keadaan apa pun.

Dan sesunguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah dahulu bahwa mereka tidak akan berbalik ke belakang. Dan adalah perjanjian dengan Allah akan dimin­ta pertanggungjawabannya.” (Q.s. al-Ahzab: 15).

Seorang beriman memenuhi janjinya kepada Allah. Dia menghadapi kelaparan, kemiskinan, ketakutan, cedera atau kematian dengan teguh, menerimanya dan memper­li­hatkan sikap bersyukur kepada Tuhannya. Bahkan jika berbagai kesulitan menimpanya terus menerus dan seluruh hidupnya dijalani dalam kesulitan, dia tahu bahwa ketika mene­rima kesulitan dalam kehi­dup­an ini (yang hanya berlangsung puluhan tahun) dengan kesabaran, maka kelak dia tidak akan meng­alami kesulit­an dalam kehidupan abadi — tidak sede­tik ­pun. Perilakunya yang teguh, dengan izin Allah, akan memberikan kepada­nya karunia yang indah: kesenangan dan rah­mat Allah dan surga-Nya. Kabar gembira ini disampaikan dalam al-Qur’an:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kela­paran, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.s. al-Baqarah: 155).

Ada hal terakhir yang harus diingat. Cara orang-orang beriman menghadapi kesulitan dengan kesabaran berbeda dari pemahaman orang jahiliah tentang kesabaran, yang sekadar pasrah. Namun, pemahaman orang beriman, bukan hanya “pasrah” tetapi meng­hadapi masalah dan berusaha menyelesaikan dan mengatasinya. Karena itu, orang beriman berusaha secara maksimal mencari solusi dengan menggunakan akal budinya dan semua sarana material dan fisiknya. Sambil melakukan itu semua, mereka berdoa kepada Allah agar memberi mereka kekuatan:

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rah­mati­lah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Q.s. al-Baqarah: 286).

Sungguh, sikap dalam menghadapi kesu­litan inilah — usaha sungguh-sungguh dan sikap menerima — yang menunjukkan gairah sejati. Kekuatan iman mereka kepada Allah dan akhirat memungkinkan orang beriman untuk berjuang keras menghadapi kesulitan-kesulitan tanpa pernah merasa lemah-hati.

¨ Menjadi Lebih Bergairah ketika Meng­hadapi Kesukaran

Telah dinyatakan bahwa diantara tanda-tanda terpenting keimanan dan gairah ialah sikap yang dimiliki orang beriman ketika menghadapi kesukaran. Tanda lain yang menunjukkan iman orang-orang beriman di saat-saat sulit ialah, bahwa mereka tidak per­nah menjadi lemah semangat. Sebaliknya, ketika mereka menghadapi kesukaran, gairah mereka tumbuh bahkan lebih besar lagi, karena orang tidak dapat mencapai surga kecuali jika mereka telah diuji dengan kesu­litan-kesulitan sebagaimana orang-orang dari generasi masa lalu.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepada­mu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?” (Q.s. al-Baqarah: 214).

Karena itu, orang beriman pasti akan men­jumpai masalah-masalah dan kesulitan dan hal itu merupakan ketentuan agama. Dengan kata lain, ujian-ujian ini menentukan sifat-sifat penting orang-orang beriman dan mem­beri­kan petunjuk bahwa mereka berada di jalan yang lurus.
Berperilaku sesuai dengan ayat al-Qur’an saat menghadapi kesulitan, menjadikan sese­orang diridhai oleh Allah. Karena itu, meru­pakan keinginan orang beriman untuk meng­hadapi kesulitan sebagaimana para nabi, saha­bat-sahabat mereka dan semua orang beriman yang pernah hidup sepanjang seja­rah. Dengan gairah dan kegembiraan mereka menunggu waktu ketika janji Allah dipenuhi. Diuji dengan kesulitan-kesulitan yang sama berarti bahwa mereka mengikuti jejak para nabi. Tentu saja, mereka tidak mencari kesu­litan, tetapi kesukaran yang mereka hadapi akan menambah gairah dan kekuatan mereka. Mereka berharap akan memperoleh balasan yang lebih baik sebagai imbalan bagi kesu­karan, karena mereka akan menjadi orang-orang yang tetap setia kepada Allah tanpa patah semangat dan akan berkata:

“Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.” (Q.s. al-Ahzab: 22).

¨ Mencari Ridha Ilahi dengan Senang Hati

Sifat lain orang beriman ialah kegembiraan dan kebahagiaan yang mereka rasakan ketika terlibat dalam suatu perbuatan yang akan mendatangkan ridha Allah. Ini adalah “ke­gem­biraan iman”. Kegembiraan iman adalah kegembiraan batin yang tulus yang tidak dapat dirasakan oleh mereka yang tidak hidup dengan berpegang pada agama, karena ini adalah kegembiraan yang berkaitan dengan iman, yang merindukan keridhaan Allah, rahmat-Nya dan surga-Nya
Mereka yang imannya kepada Allah tidak sepenuhnya hampir pasti tidak meng­alami kegembiraan seperti itu. Sama dengan orang-orang jahiliah, yang hanya menemukan ke­gem­biraan dalam apa yang berhubungan dekat dengan kepentingan pribadinya, ketika mereka merasakan sesuatu “yang mengun­tung­kan”. Namun, ini hanyalah kegembiraan sementara. Begitu keuntungan dunia hilang, kegembiraan juga hilang.
Mereka yang tidak memiliki iman sejati di hati akan merasa frustrasi jika untuk memper­oleh ridha Allah harus melak­sanakan tugas yang mereka merasa sulit me­lak­sanakannya. Mereka menunjukkan keeng­ganan dan ke­tidak­acuhan dengan melakukan tugas itu dengan setengah hati. Mereka sering meng­anggap bahwa kerja suka­rela atau peng­abdian sebagai kegiatan yang membu­ang-buang waktu, tanpa menghargai bahwa memperoleh ridha Allah adalah balas­an terbaik dan paling berharga. Maka mereka merasa seolah-olah telah memi­kul tanggung jawab besar, atau melaku­kan pengorbanan besar. Pada titik ini muncul­lah sifat khusus berupa semangat orang beriman. Apakah sukar atau sederhana, tugas apa pun tidak pernah mem­buat frustrasi orang ber­iman, karena dia dengan sepenuh hati dan senang hati ber­ibadah kepada Allah. Sema­ngat ini termani­festasi dalam sikap kegem­biraan dan kebaha­giaan.
Bahwa orang beriman mengharapkan balas­an hanya dari Allah juga dinyatakan oleh Rasulullah saw. Ditanya balasan apa bagi orang yang mendambakan popularitas dan kompensasi atas perjuangannya di jalan Allah, Nabi saw. bersabda, “Tidak ada balasan bagi dia.” Kemudian beliau bersabda, “Allah menerima amal yang dilakukan dengan ikhlas dan untuk mencari ridha-Nya.” (H.r. Abu Dawud dan an-Nasa’i).

¨ Tidak Terpengaruh oleh Mereka yang di Hatinya Terdapat Penyakit

Di bagian awal buku ini telah dinyatakan bahwa keimanan dan kedekatan seseorang kepada Allah tidaklah sama, dan bahwa ada sebagian orang yang berserah diri kepada Allah dan mereka yang di hatinya terdapat penyakit.1 Orang-orang yang tidak memiliki keimanan kuat (meskipun mereka hidup di antara orang-orang beriman dan menegas­kan bahwa mereka beriman) memperlihatkan reali­tas iman dalam cara mereka berperilaku. Mereka tidak memiliki gairah untuk hidup menurut agama dan memperoleh ridha Allah, dan bahkan ingin memperlemah semangat dari hati orang beriman.
Namun, mereka yang punya iman yang kuat tidak terpengaruh oleh kata-kata dan tindakan mereka seperti itu, karena orang-orang beriman memahami apa yang difirman­kan Allah dalam al-Qur’an:

“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini kebenaran ayat-ayat Allah itu menggelisah­kan kamu.” (Q.s. ar-Rum: 6).

Kelalaian sebagian orang sebenarnya meru­pakan akibat dari ketidakyakinan mereka. Sadar akan fakta ini, orang beriman tidak merasa frustrasi; sebaliknya, mereka makin bertekad untuk berjuang demi kepen­tingan Islam, karena orang lain tidak punya tang­gung jawab atas agama dan tidak ber­usaha untuk menyebarkan nilai-nilai Islam. Makin kuat tekad mereka untuk meng­ingatkan nilai-nilai al-Qur’an dan untuk hidup sesuai dengan prinsip-prin­sip Islam dalam cara yang terbaik.
Seorang ulama besar, Said Nursi, yang juga dikenal sebagai Bediuzzaman, mengung­kap­kan bagaimana orang-orang yang berusaha sungguh-sungguh untuk mendapat ridha Allah mendekati orang-orang yang tak punya semangat, “Kelemahan hati dan kemunduran orang lain menjadi sebab meningkatnya gai­rah dan usaha orang-orang beriman, karena mereka merasa bertanggung jawab atas tugas mereka yang telah meninggalkannya.”2
Bediuzzaman mengamati bahwa setiap kali orang-orang beriman melihat mereka yang di dalam hatinya terdapat penya­kit untuk meng­hindari pengabdian kepada Islam, maka mereka akan memeluk agama dengan komit­men yang makin kuat. Kelalaian orang-orang yang tidak bersemangat untuk berpegang kepada nilai-nilai Qur’ani dan untuk me­nyam­­pai­kannya, mengingatkan orang-orang beriman tentang tanggung jawab mereka sendiri yang besar. Keengganan orang-orang lain untuk mengamalkan nilai-nilai yang baik menjadi sebab bagi orang-orang beriman untuk ber­perilaku lebih baik lagi. Berbeda dari orang-orang yang tidak punya keyakinan tentang Allah dan para rasul-Nya, orang beriman mem­­perlihatkan ketaatannya yang luar biasa dengan mengatakan, “kami men­dengar dan kami menaati”.
Mereka yang tidak memiliki keimanan yang sungguh-sungguh di hati mereka secara tidak sadar telah menyumbang pada perkem­bangan orang-orang beriman dalam banyak cara. Namun mereka tidak dapat menularkan kelalaian mereka ke dalam hati orang-orang beriman, karena orang-orang beriman mem­per­oleh gairah dan keimanan dari hubungan mereka dengan Allah dan bukan dari sikap orang-orang di sekitar mereka. Apakah orang-orang beriman menyaksikan kelalaian orang-orang seperti itu atau tidak, mereka tetap berusaha sungguh-sungguh untuk memenuhi perintah Allah. Namun, setelah melihat kelemahan hati orang lain mereka bertambah kuat komitmennya untuk berpegang kepada agama Allah. Sementara orang yang lalai tidak terlalu memikirkan kehidupan yang kekal, dia secara tidak sadar telah menambah gairah orang-orang beriman dan mendorong mereka ke arah yang lebih baik.


1Para ulama menjelaskan, penyakit ini sebagai sikap munafik atau kafir.
2Kastamonu Lahikas, hal. 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar