Kamis, 02 Desember 2010

ROMANTISISME ATAS NAMA AGAMA

“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Al A'raaf, 7: 28)

Romantisisme tidak berkembang secara utuh menjadi sebuah ideologi tersendiri, melainkan mem-pengaruhi dan menyusup ke dalam pelbagai ideologi lain, menawari mereka dengan kualitas emosi yang memungkinkannya merampok rasionalitas manusia. Sebagaimana ia telah merasuki ideologi-ideologi yang spenuhnya tidak religius dan menyimpang seperti fasisme dan komunisme, ia juga menyebarkan pengaruhnya dalam penyamaran agama.
Sebelum mulai membahas topik ini, ada hal penting yang harus dipahami. Suatu gerakan yang menyatakan dirinya agama belum tentu agama sejati. Sebaliknya, di masa lalu, banyak individu, kelompok, dan gagasan, yang sekalipun melakukan aktivitas dengan nama Tuhan dan agama, bermaksud merusak agama dan pengikutnya. Allah memberi kita contoh-contohnya dalam Al-Quran. Misalnya, seorang kriminal yang merencanakan pembunuhan salah satu nabi Allah, Nabi Saleh. Ketika menyusun rencana, dia dan para pengikutnya bersumpah atas nama Tuhan:

“Mereka berkata: "Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan menyerang-nya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar".” (QS. An-Naml, 27: 49)

Para penyembah berhala yang menentang para nabi itu sering menuduh mereka "mengarang-ngarang cerita bohong tentang Allah", sambil menunjukkan fakta bahwa mereka menganggap diri mereka regiligius dan bertakwa pada Allah. (Quran, 42:24) Misalnya, Firaun, yang menyimpang sampai pada tahap mengakui dirinya tuhan, berkata demikian mengenai Nabi Musa:

“Dan berkata Fir'aun (kepada pembesar-pembesarnya): "Biarkan aku membunuh Musa dan hendaklah ia memo-hon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku kha-watir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi".” (QS. Al Mu'min, 40: 26)

Ini menunjukkan bahwa pemikiran dan perbuatan menyimpang atas nama dan samaran agama bisa saja terjadi, dan romantisisme menempati urutan teratas pada daftar penyimpangan itu, yang dianggap religius padahal sama sekali tidak berhubungan dengan agama.
Untuk memahami bagaimana romantisisme bercampur aduk dengan agama, perlu dipahami benar gagasan "ikhlas". Ikhlas adalah melakukan sesuatu dengan maksud semata-mata untuk memperoleh ridha Allah. Apabila suatu perbuatan benar-benar dilakukan dengan ikhlas, nilainya adalah ibadah dalam pandangan Allah. Misalkan, shalat, puasa, bersedekah, bekerja karena Allah, dan semua amal lain, akan dinilai sebagai kegiatan ibadah, hanya apabila dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah. Ibadah yang dilakukan tanpa niat mendapatkan ridha Allah tidak sah, menurut perintah Allah dalam Al Quran: "Maka kecelaka-anlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya." (QS. Al Maa'uun, 107: 4-6). Hal ini juga jelas terungkap dalam Hadist Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan, "Allah menerima amal yang benar-benar dilakukan demi Dia, dan dimaksudkan untuk mencari ridlo-Nya ".12
Dalam hal inilah romantisisme mendistorsi agama. Ia mengarahkan agama pada tujuan selain memperoleh ridha Allah; ia melambangkan agama sebagai pengalaman emosional, yang di dalamnya orang-orang bisa memuas-kan kebutuhan emosional mereka, tetapi tidak untuk dipraktikkan demi ridha Allah.
Dengan mengaburkan perbedaan samar tetapi penting ini, romantisisme menuntun orang-orang ke arah pemahaman agama yang salah sama sekali, yang hasil akhirnya adalah mistisisme. Apabila orang-orang berhenti memahami agama sebagai penyerahan diri kepada Allah, dan mulai menganggapnya sebagai alat untuk "hiburan psikologis", maka sejumlah praktik mistik dicari, sehingga menenggelamkan mereka lebih jauh ke dalam pendekatan keliru ini.
Apabila kita membandingkan agama yang diromantisasi dengan agama yang disampaikan Allah kepada kita di dalam Al Quran, kita bisa melihat sejumlah perbedaan besar:
1. Di dalam Al Quran, Allah memerintahkan manusia menggunakan akalnya, untuk berpikir, mempertimbangkan apa yang sudah diciptakan Allah, dan dengan demikian, meningkatkan keimanan. Namun, pendekatan romantik terhadap agama menafikan akal sehat; tidak menuntun orang menggunakan pikirannya, sebaliknya, mendorong mereka untuk tidak berpikir sama sekali.
2. Menurut gagasan romantik tentang agama, orang yang berani menyiksa dan menyakiti diri sendiri patut dipuji. Misalnya, ada penganut Kristen yang berpikir mereka menjadi lebih dekat dengan Yesus dengan menyalib diri sendiri. Pada beberapa agama timur, seperti Budha, membiarkan diri kelaparan, tidur di tempat yang tidak nyaman dan bentuk-bentuk "pengorbanan diri" lainnya, dikatakan dapat membuat seseorang menjadi suci. Namun, di dalam Al Quran, sama sekali tidak ada gagasan seseorang harus menyakiti diri sendiri. Ayat Al Quran berikut dengan padat menyatakan pemahaman romantik yang menyesat-kan itu:

“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. (QS. Yunus, 10: 44)
Singkatnya, menurut pendekatan romantik, agama merupakan sesuatu yang mendorong kecenderungan manusia untuk mengidolakan individual, tidak reflektif, selalu mengingat masa lalu, menyakiti dan merusak diri sendiri. Ini adalah sebuah sistem palsu, terdiri dari kepercayaan dan praktik-praktik yang sepenuhnya asing bagi agama sejati.
   Alih-alih mempelajari apa yang dikehendaki Allah dari mereka, dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya, orang-orang lebih suka meneruskan pendekatan itu terhadap agama, suatu perilaku dan cara berpikir khas yang diwarisi dari leluhur mereka. Mereka tidak menjalani hidup sesuai dengan penilaian rasional terhadap kondisi sekitar mereka, tetapi berpegang teguh pada pola pikir dan perilaku tradisional yang sama. Ini merupakan penyimpangan terhadap peringatan tajam Allah yang disebutkan dalam banyak ayat Al Quran. Berikut ini beberapa contohnya:

   “Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakan-nya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al Maidah, 5: 104)

“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Al A'raaf, 7: 28)

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (QS. Luqman, 31: 21)

Kesimpulan
Jika seseorang berkeinginan agar mampu mempraktik-kan agama yang memang dikehendaki Allah untuk diprak-tikkannya, pertama-tama dia harus keluar dari lumpur romantisisme. Seperti yang diperintahkan Allah dalam ayat berikut: "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah Yang Haq..." (QS. Al Hajj, 22: 62). Sesung-guhnya Allah, Dialah yang Haq, atau real, dan untuk memahaminya, seseorang harus menjadi "realis". Mereka yang terbelenggu oleh gagasan-gagasan romantik, di lain pihak, juga terpengaruh oleh ideologi-ideologi sesat, seperti nasionalisme atau komunisme romantik, atau kehilangan sentuhan dengan ilmu pengetahuan dan keikhlasan melalui penafsiran romantik atas agama, atau dipengaruhi sejenis gagasan cinta romantik yang akan kita kaji pada bab-bab selanjutnya buku ini.
Bahkan jika orang-orang yang terpengaruh oleh cara berpikir ini mulai mempraktikkan agama, mereka tidak memiliki kestabilan mental untuk menekuninya, karena kondisi spiritual mereka yang terombang-ambing akibat tuntunan romantisisme. Ada sejumlah orang yang mulai mempraktikkan agama karena terinspirasi oleh beberapa gagasan romantik, tetapi dengan cepat mereka menyerah dan kembali pada kehidupan tanpa agama.
Akan tetapi, Allah memberikan perintah kepada manusia:

“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam, 19: 65)

BERBAGAI IDEOLOGI ROMANTISISME

“Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untukku), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan nenyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisaa', 4: 118-119)

Pada bagian sebelumnya kita mengamati pengaruh romantisisme yang ditimbulkan "nasionalisme romantik". Sekarang mari kita amati beberapa manifestasi lain romantisisme untuk melihat sebagian bencana yang dibawanya bagi kemanusiaan. Idelogi pertama yang harus kita cermati adalah ideologi yang sama mengerikannya dengan nasionalisme romantik: yaitu, komunisme.

Romantisisme Komunis
Komunisme lahir sebagai ideologi yang katanya menjunjung akal sehat. Para pendirinya, Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895) telah mengikuti filosofi materialisme yang, mereka kira, bisa diterapkan pada ilmu-ilmu sosial dan menjelaskan "hukum-hukum sejarah". Marx membedakan pelbagai tahapan sejarah: negara-negara maju saat itu, seperti Inggris, sedang berada pada "fase kapitalis". Dia meramalkan bahwa, setelah fase ini, akan menyusul revolusi buruh yang memulai fase sosial. Dia juga meramalkan bahwa revolusi ini akan terjadi spontan, yaitu bangkit atas inisiatif para pekerja sendiri, dan ini akan terjadi di Inggris dan negara-negara industri lainnya.
Namun, ramalan Marx tidak menjadi kenyataan. Fakta bahwa ramalan itu tidak terwujud terbukti dalam 30-40 tahun setelah kematiannya. Tidak ada revolusi di Inggris atau di negara industri lainnya; sebaliknya, kondisi sosial dan ekonomi para pekerja meningkat.

Klaim Komunisme terhadap Rasionalitas
adalah Keliru
Teori Marx, selanjutnya harus dianggap sebagai salah satu dari sekian banyak kesalahan historis yang dilakukan atas nama "ilmu sosial", dan karenanya harus ditinggalkan. Tetapi, bukan itu yang terjadi. Sekelompok individu yang mengaku diri sebagai "Marxis" mencoba, dengan susah payah, untuk mengatualisasikan ramalan-ramalan Marx yang tidak terbukti itu. Walaupun revolusi, yang menurut Marx meletus "spontan", tidak terjadi sama sekali, kaum Marxis mencari cara untuk menyalakan revolusi melalui pembentukan organisasi-organisasi yang akan menyulutnya dengan kekuatan senjata. Orang Marxis terkemuka, yang sudah mencoba merevisi interpretasi Marx, dan membuat alasan untuk ramalannya yang salah, adalah Lenin.
Lenin menyatakan bahwa bukan di negara-negara industri seperti Inggris, revolusi itu terjadi, melainkan di negara-negara non-industri seperti Rusia. Dia berkata bahwa komunisme akan berhasil di sana, dan dari sana akan menyebar ke seluruh dunia. Untuk merealisasikan impian-nya, dia menghabiskan bertahun-tahun, baik di dalam maupun di luar Rusia, melakukan persiapan-persiapan untuk revolusi. Peluang baginya untuk mencapai kekuasaan muncul dari kekacauan yang disebabkan Perang Dunia I.
Ramalan Lenin, sebagaimana ramalan Marx, tidak terjadi sama sekali. Sistem yang dibangunnya tidak berhasil, dan ajaran komunis pun tidak menyebar ke seluruh dunia. Sekarang, Uni Soviet yang didirikan Lenin tinggal sejarah, dan sistem komunis yang dulu dipaksakannya pada negara-negara pendudukan sudah runtuh di mana-mana. Sudah dimaklumi bahwa komunisme adalah percobaan politik paling berbahaya dan paling tidak berhasil di abad ke-20.
Bahwa Marxisme itu cacat sudah terbukti, bukan hanya karena janji-janjinya yang tidak terpenuhi, dan runtuhnya sistem yang didirikannya, melainkan juga karena kegagalan filosofi yang mendasarinya. Premis-premis dasar filosofi materialis, yang menjadi basis Marxisme, telah dijatuhkan dengan penemuan-penemuan ilmiah pada abad ke-20. Contohnya:
1. Materialisme berangapan bahwa alam semesta telah ada selamanya, dan karena itu, materi tidak diciptakan. Tetapi teori Big Bang, yang diterima di abad ke-20, menunjukkan bahwa materi dan waktu diciptakan dari ketiadaan. Teori ini menyebutkan bahwa alam semesta menjadi ada dari yang semula tidak ada, 10 - 15 bilyun tahun yang lalu, muncul sebagai suatu aktivitas kecil dan tiba-tiba dari ketiadaan. Dengan kata lain, kebenaran yang diungkap teori "Big Bang" adalah bahwa tidak ada yang terjadi dengan sendirinya; bahwa ada suatu aktivitas dari ketiadaan, dan setelah aktivitas ini, materi dan waktu muncul. Teori ini sepenuhnya menjatuhkan klaim materialis dan membuk-tikan bahwa materi, waktu dan aktivitas pertama diciptakan oleh Allah.
2. Materialisme menyatakan bahwa materi dan waktu itu "mutlak", sehingga keduanya selalu ada, tidak berubah dan stabil. Namun Teori Relativitas Einstein membuktikan bahwa materi dan waktu itu tidak mutlak, tetapi hanya persepsi yang dapat berubah.
3. Materialisme menyatakan bahwa fungsi dan kapasitas mental manusia bisa disederhanakan menjadi satu penjelasan material. Namun, penemuan tentang kerumitan otak menunjukkan keberadaan pelbagai fungsi mental yang tidak mempunyai bagian terkait di dalam otak, dan telah terbukti bahwa mentalitas manusia ada di luar jangkauan materi, dan dimiliki oleh "ruh".
4. Materialisme berpendapat bahwa makhluk-makhluk hidup tidak diciptakan, tetapi seperti yang dinyatakan teori evolusi Darwin, muncul dengan sendirinya. Klaim ini sudah dibantah dengan penemuan ilmiah pada abad ke-20, dan sekarang dipahami bahwa terdapat "rancangan" yang tidak terbantahkan pada makhluk hidup, mengarahkan pada fakta bahwa Allah telah menciptakan semua kehidupan.
Jika sebuah ideologi mengaku rasional, tetapi pengakuannya tidak bertahan pada pengujian akal sehat atau sains dan lebih jauh, jika fakta-fakta tidak membuktikan keabsahnnya, maka pendapat-pendapat ideologi itu harus ditolak. Mereka yang sudah mengadopsi ideologi ini semestinya melakukan penyelidikan rasional, sehinggga menemukan ketidakabsahannya dan meninggalkannya. Jika kaum komunis adalah orang-orang yang menggunakan akal sehat, logika dan pengetahuan umum alih-alih hidup dalam dunia mimpi romantik, maka komunisme sudah didiskreditkan ratusan kali saat ini.
Karena komunisme berbasiskan pada romantisisme, mereka yang masih setia mendukungnya dapat melakukan itu tetapi bertentangan dengan akal sehat dan sains, dan bisa mempertahankannya hanya dengan menutup mata terhadap kenyataan bahwa komunisme tidak berlaku sebagai ideologi. Ketika diketahui bahwa prediksi dasar Marxisme tidak terwujud, seharusnya ia sudah dipinggirkan segera. Namun, ternyata tidak demikian. Gerakan-gerakan revolusioner telah menjalar ke seluruh dunia, mencoba merealisasikan mimpi-mimpi Marxis melalui revolusi, perang saudara, perjuangan gerilya, dan serangan teror.
Uni Soviet dan semua negara Blok Timur runtuh, Cina Merah sudah mengadopsi sistem ekonomi kapitalis. Tetapi, komunisme masih belum ditinggalkan. Bahkan saat ini, organisasi-organisasi komunis di seluruh dunia melanjutkan aktivitas mereka. Sekalipun mereka tentunya menyadari bahwa "revolusi" yang di-gembar-gemborkan itu hanya sebuah fantasi, mereka terus menumpahkan darah, hanya sebagai upaya agar mereka tidak perlu meninggalkan komunisme. Mereka dengan tak terkendali membakar diri dan teman-teman mereka, sambil menyanyikan lagu-lagu mars komunis, dan tetap berpegang pada ideologi kuno mereka dengan romantis, membuta dan keras kepala.
Ini menunjukkan bahwa komunisme bukan ideologi berdasarkan akal sehat, dan para pengikutnya mendukung bukan karena komitmen rasional terhadapnya. Banyak orang menyebut alasan untuk komitmen seperti itu adalah "fanatisme", "kekeraskepalaan", atau obsesi (idée fixe). Dengan penelitian lebih jauh, menjadi jelas bahwa di balik fanatisme ini tersembunyi pengaruh romantisisme yang kuat.
Artinya, komunisme juga mendapatkan kekuatan dari pengaruh romantisisme.

Contoh-Contoh Romantisisme
Komunis
Pada mulanya, orang-orang biasanya tidak menyadari semangat romantik komunisme, sebab komunis selalu berbicara dalam rangka sains, filosofi dan rasionalitas. Namun, komunis mengembangkan ide-idenya keluar dari pandangan romantik. Bahkan, mereka dengan menutup mata menolak penemuan ilmiah, yang tidak sesuai dengan tujuan mereka dan mencapnya sebagai "borjuis". Dan Stalin melangkah lebih jauh mensistemasi praduga ini dengan menciptakan perbedaan tidak masuk akal antara sains "borjuis" dan sains "proletar".
Di lain pihak, jika kita mencermati publikasi komunis; majalah, puisi atau lagu mars, kita akan menemukan bahwa ideologi mereka terikat erat dengan romantisisme. Mereka mengidolakan gagasan-gagasan tertentu, dan mengembangkan keter-ikatan emosional ber-lebihan terhadapnya. Gagasan terpenting di antaranya adalah "revolusi". Bagi seorang komunis, revolusi adalah akhir dari semua kejahatan dan awal segala kebaikan. Mereka sepenuhnya terpesona dengan fantasi, yang mereka tahu tidak akan pernah terwujud. Mereka tidak berusaha menguji ide revolusi secara rasional, tidak mempertanyakan, misalnya, "Apa tujuan revolusi itu harus dicari?" "Apa pembenaran untuk revolusi yang akan menyebabkan banyak orang tidak bersalah terbunuh dan seluruh masyarakat menderita?" "Tak bisakah kondisi kehidupan rakyat miskin diperbaiki tanpa revolusi?" "Bagaimana pengaruhnya terhadap perekonomian?" "Bagaimana negara akan dikelola, konflik dalam negeri diatasi, dan ancaman dari luar disingkirkan?"
Seorang komunis tidak melihat pentingnya semua pertanyaan ini; tujuannya hanyalah revolusi. Apabila dia diharuskan menjawab satu saja pertanyaan di atas, dia akan mengutip kalimat klise dari buku-buku Lenin, Stalin, atau Mao, tetapi dia sendiri tidak berpikir rasional untuk jawaban bagi pertanyaan tersebut. Yang mengikatnya erat-erat pada gagasan revolusi adalah puisi emosional atau lagu mars penuh semangat yang ditulis atau dinyanyikan tentang revolusi. Literatur komunis sering berbicara tentang "negeri indah berselimutkan bunga-bunga" dan "matahari merah di cakrawala". Sebenarnya, hubungan antara seorang komunis dengan gagasan revolusinya bisa disamakan dengan kisah cinta romantis. Ada stan-stan komunis di universitas-universitas, pameran-pameran buku, dan pusat-pusat budaya; jika Anda mengunjungi salah satu tempat itu, atau memasuki bar atau kafe komunis, di sana Anda akan melihat banyak simbol yang digunakan untuk menggairahkan romantisisme ini. Poster-poster menggambarkan proletar yang kuat memutus-kan rantai, orang-orang dengan tinju terkepal, lagu-lagu perjuangan sampai mati demi sosialisme, adalah simbol-simbol komunis romantik yang paling umum.
Romantisisme ini juga terkadang ter-cerminkan pada pakaian yang dikenakan komunis. Seorang komunis muda sering terlihat mengenakan jaket khaki dan topi komando, mengidentifikasi dirinya dengan gerilyawan komunis dari Amerika Latin, Che Guevara, dan tidak diragukan lagi di kamarnya, di antara barang-barang pribadinya, Anda akan menemukan poster "Che". Satu-satunya per-bedaan dirinya dengan mahasiswa yang ter-obsesi romantis oleh seorang selebriti, adalah jenis bintang yang dipilihnya; pujaannya bukan seorang musisi melainkan pejuang gerilya.
Contoh menarik lainnya untuk dipertimbangkan mengenai romantisisme komunisme adalah kesukaan mereka menyakiti diri sendiri dan membuat orang-orang merasa kasihan kepada mereka. Misalnya, seorang komunis militan melakukan aksi mogok makan di penjara, bersiap mati kelaparan untuk mencapai suatu tujuan yang remeh. Di satu pihak, dia merasa senang, merasakan sakit, dan menikmati simpati orang lain kepada diri dan nasibnya, sementara di lain pihak, dia juga merasa bangga diakui teman-temannya sebagai "pahlawan".
Kesenangan romantik yang dirasakan komunis dalam kesakitan mereka terkadang mencapai tingkat sangat tinggi. Komunis sanggup melakukan perbuatan nekad yang mengerikan dalam aksi demonya; misalnya, mereka membakar diri sendiri, mereka mengikat orang pilihan dari kalangan mereka pada sebatang besi, menuangkan cairan yang mudah terbakar pada tubuh-nya, menyulutnya, dan menyanyi-kan lagu-lagu mars komunis sementara temannya terbakar. Seperti terlihat pada rekaman, komunis militan yang melakukan aksi-aksi biadab tidak waras ini serupa dengan massa Nazi dalam pertemuan mereka; mereka meng-alami "kehilangan kesadaran" dan terpesona oleh hipnotis emosional dan psikologis.
Mungkin saja seorang komunis tetap setia memegang ideologinya hanya karena keras kepala, walaupun dia menge-tahui bahwa impian-impiannya tidak akan pernah tercapai. Komitmen buta terhadap ideologi ini didemontrasikan dalam sesumbar seperti: "Aku tidak peduli kalaupun itu salah, aku tidak peduli apakah kita berhasil atau tidak, aku komunis dan akan tetap begitu sampai mati". Tentu saja, seseorang yang rasional tidak akan berperilaku seperti itu. Dedikasi buta ini seperti kegilaan yang terlihat dalam hasrat obsesif seorang pria kepada wanita, yang sudah memperdayai dan menghinanya, namun demikian, dia tidak mau berhenti mencintainya.
Kemudian, telah ditunjukkan bahwa komunisme hanyalah salah satu senjata romantisisme yang dipakai setan untuk merampok akal sehat manusia, dan menjauhkannya dari keimanan kepada Tuhan. Walaupun diakui sebagai filosofi dan ideologi rasional, komunisme penuh dengan gagasan yang bertentangan dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan. Setidaknya satu abad sudah dilewati komunis untuk bersikeras mempertahankan ideologi mereka, memperjelas bahwa pengabdian mereka terhadap ideologi merupakan pengabdian romantik.

NASIONALISME ROMANTIK

“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu'min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Fath, 48: 26)

Umumnya, romantisisme dipahami sebagai roman (percintaan) atau gerakan Romantik pada abad ke-19, tetapi selain bentuk-bentuk ini, romantisisme juga terkait erat dengan sentimen-sentimen politik tertentu. Terdepan di antaranya adalah "nasionalisme romantik", yang muncul pada akhir abad ke-19, dan menimbulkan pengaruh besar di dunia sampai pertengahan abad ke-20.
Pertama-tama, harus dinyatakan dengan jelas bahwa kritik kami bukan terhadap nasionalisme itu sendiri, me-lainkan terhadap "nasionalisme romantik". Terdapat per-bedaan besar antara keduanya.

Fanatisme
Nasionalisme, dalam pengertian paling umum, merujuk pada cinta individu kepada bangsa dan negaranya. Cinta ini baik dan sepenuhnya sentimen yang sah. Karena ia tidak bertentangan dengan agama, tidak memiliki efek merusak bagi kemanusiaan. Sebagaimana cinta individu kepada ibu dan bapaknya adalah perasaan yang sah, demikian pula cinta kepada bangsa yang memupuknya dalam keyakinan dan budaya yang umum.
Sentimen nasionalistis menjadi tidak sah apabila semua itu menjadi irasional atau fanatis. Misalnya, jika seseorang, karena cinta kepada negaranya, tanpa alasan mulai mempunyai perasaan bermusuhan terhadap bangsa lain, atau menginjak-injak hak bangsa dan rakyat lain demi kepentingan diri sendiri, jika dia merampas tanah air atau mengambil alih hak milik mereka, maka dia sudah melewati batas-batas sah. Atau apabila dia membiarkan rasa cinta kepada bangsanya berubah menjadi rasisme, yaitu, ketika dia mengklaim bahwa bangsanya lebih tinggi dari lainnya, berarti dia sudah mengambil pandangan yang irasional.
Allah mengarahkan perhatian kita pada nasionalisme irasional ini di dalam AlQuran. Apa yang digambarkan dalam ayat-ayat berikut ini sebagai "kesombongan" atau "fanatisme", merupakan karakteristik masyarakat yang jauh dari agama.

“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Fath, 48: 26)
Selain membicarakan "fanatisme", ayat di atas juga membicarakan ketenangan yang dilimpahkan Allah kepada siapa saja yang beriman kepada-Nya. Pendekatan ini menunjukkan fakta bahwa jika seseorang yang mencintai keluarga, golongan atau masyarakatnya, menebar kebencian atau agresi terhadap orang lain sebagai dampak cinta tersebut, maka perilakunya menyimpang. Sebaliknya, Allah meng-hendaki hamba-hamba-Nya menikmati perdamaian, ketenangan, dan keamanan; dengan kata lain, keadaan spiritualnya yang dikehendaki Allah bagi hamba-hamba-Nya adalah keadaan spiritual yang mengutamakan akal sehat.
"Fanatisme" tidak memungkinkan kondisi yang diharapkan tersebut, tetapi justru mengadu satu kelompok dengan kelompok lainnya, hanya karena perbedaan bahasa, warna kulit, etnis, atau golongan.
Allah sudah menggambarkan "fanatisme" ini 1400 tahun lalu di dalam Al Quran, dan sekarang masih dapat disaksikan dampaknya di setiap belahan dunia. Ada orang di Afrika yang mencekik orang lain sampai mati hanya karena mereka berbeda suku. Di Eropa, pertandingan sepakbola menjadi perang bersenjata ketika "para hooligan" memukul suporter tim lawan sampai nyaris mati, hanya karena mereka berada pada pihak berseberangan. Di dunia Barat, ada organisasi-organisasi yang bertujuan tunggal untuk mengobarkan kebencian terhadap orang-orang Afrika, Yahudi, Turki dan kaum minoritas lainnya, bahkan sampai menjadikan mereka sasaran serangan teroris.
Pengaruh "fanatisme" tidak hanya menjangkiti golongan rendah, tetapi juga masyarakat kalangan atas. Banyak negara mengeksploitasi perselisihan perbatasan yang sederhana menjadi alasan untuk melakukan agresi terbuka. Untuk memuaskan nafsu berperangnya, mereka melemparkan negara sendiri ke kancah peperangan, terus bersikukuh dalam agresi mereka selama bertahun-tahun, menjerumus-kan bukan hanya rakyat negara musuh, tetapi juga rakyat mereka sendiri dalam penderitaan. Para penguasa yang membuat keputusan demikian sedang dirundung dengan apa yang disebut sebagai "fanatisme". Seperti dijelaskan pada ayat di atas, dia yang "menanam-kan dalam hatinya kesombongan/fanatisme" hidup dalam kebodohan.
Termasuk dalam jajaran orang-orang bodoh ini, adalah mereka yang menyebabkan dua bencana terbesar pada abad ke-20: Perang Dunia Pertama dan Kedua. Digerakkan oleh gagasan-gagasan palsu seperti "Semangat Jerman", "Kebanggaan Inggris", dan "Keberanian Rusia", mereka menyebabkan bangsa sendiri, juga seluruh dunia, menjadi sangat menderita, menumpahkan darah 65 juta orang, dan menyisakan puluhan juta orang cacat, menjadi janda dan yatim.
Akar permasalahan yang menyebabkan bencana ini adalah "fanatisme". Sekarang kita merujuknya sebagai "nasionalisme romantik".

Kelahiran Nasionalisme Romantik
Nasionalisme sebagai sebuah gagasan menyebar ke seluruh Eropa pada abad ke18. Sebelum itu, rakyat hidup di bawah kekuasaan tuan-tuan tanah. Kemudian, mereka bersatu di bawah negara-bangsa tunggal yang diatur oleh sebuah pemerintahan pusat. Bangsa-bangsa Eropa seperti Prancis dan Inggris termasuk yang pertama mendukung gagasan nasionalisme dan menjadi negara. Menjelang abad ke-19, kebanyakan bangsa Eropa telah mencapai persatuan nasional.
Hanya dua bangsa yang tidak ikut serta dalam perkembangan ini: Jerman dan Itali. Di kedua bangsa ini, kekuasaan bangsawan atau negara-kota kecil bertahan lebih lama. Itali baru membentuk negara pada tahun 1870, dan Jerman setahun kemudian, tahun 1871. Dengan kata lain, kedua bangsa ini lebih lambat dari bangsa-bangsa Eropa lainnya dalam mengadopsi dan menerapkan gagasan nasionalisme.
Akan tetapi, situasi khusus ini menjadi penyebab berkembangnya nasionalisme yang lebih radikal di kedua negara ini dibandingkan dengan di negara Eropa lainnya. Menurut pendapat umum para ilmuwan sosial, di kedua negara ini, alasan kelahiran dan pencapaian kekuasaan nasionalisme bentuk ekstrem, Naziisme dan Fasisme, adalah karena meluasnya sentimen-sentimen nasionalistik yang fanatis berkaitan dengan formasi persatuan nasional yang terlambat.
Di kedua negara ini, dan khususnya di Jerman, orang-orang yang memajukan gagasan nasionalisme fanatis dikenal sebagai kaum "nasionalis romantik". Ciri dasar yang menjadi sifat kaum nasionalis romantik adalah pengagungan perasaan di atas kerusakan akal sehat, kepercayaan mereka bahwa bangsanya diberkahi dengan "ruh" mistis dan misterius, dan bahwa ruh ini membuat bangsa mereka lebih unggul daripada lainnya. Menjelang akhir abad ke-19, nasionalisme romantik dipenga-ruhi oleh teori-teori rasis yang kemudian diterima luas, dan menum-buhkan klaim bahwa ras Eropa lebih unggul daripada ras-ras lainnya di dunia, sehingga, mempunyai hak untuk menguasai mereka.
Nasionalisme romantik menyebar cepat, sekali lagi, khususnya di Jerman, selama dua dekade pertama abad ke-19. Penulis seperti Paul Lagarde dan Julius Langbehn mendukung gagasan tentang urutan hirarki dunia, dan Jermanlah yang menentukannya. Mereka menya-takan bahwa ini bisa dicapai karena superioritas "ruh Jerman" dan "darah Jerman", dan untuk tujuan ini, Jerman harus berpaling dari agama-agama monoteistik, seperti kristiani, dan kembali ke paganisme masa lalu mereka.
Pertumbuhan masyarakat mistis (takhayul) di Jerman memainkan peranan penting dalam penyebaran nasionalisme romantik dalam periode ini. Pandangan dunia masyarakat ini terdiri dari beberapa gagasan dangkal, semacam ini: manusia dapat mencapai kebenaran bukan dengan akal sehat melainkan melalui perasaan dan nalurinya; setiap bangsa mempunya "ruh"; ruh bangsa Jerman adalah ruh pagan. Masyarakat ini telah mempersiapkan landasan bagi bangkitnya Hitler dan Naziisme. Sejarawan Inggris, Michael Howard, menulis bahwa "bangkitnya gerakan nasionalisme Jerman Raya yang memperoleh kekuatan spiritualnya dari kepercayaan takhayul dan ideologinya yang bersumber dari falsafah masyarakat rahasia yang hanya dipahami kalangan tertentu .. membentuk… doktrin-doktrin rasialis ekstrem, yang pada tahun 1920 melahirkan Sosialisme Nasional".1
Tak diragukan lagi, satu-satunya kontribusi nasionalisme romantik bagi kemanusiaan hanyalah mempersiapkan pondasi bagi Naziisme, salah satu rezim paling brutal dan berdarah sepanjang sejarah.


Skizofrenia Nasionalisme Romantik
Karena kaum nasionalis romantik meyakini bahwa mereka akan menemukan kebenaran melalui "perasaan dan instuisi", dan tidak melalui akal sehat, mereka mengambil pandangan dunia yang paling membingungkan, yang merefleksikan kondisi spiritual mereka yang miskin. Profesor ilmu sejarah Amerika, Gerhard Rempel, dalam artikelnya yang berjudul "Reformasi, Kebe-basan dan Romantisisme di Prussia", menggambarkan kea-daan spiritual kaum nasionalis romantik dengan kata-kata berikut:
Kaum romantis berusaha lari ke dalam fantasi, sentimen-talitas, dan alegori. Secara spiritual mereka bermain-main dengan kematian, dengan meditasi, dengan kemurungan, dengan kedalaman malam yang kelam. Novalis [seorang pelopor romantisisme Jerman] mengatakan: "Kehidupan adalah penyakit ruh." Apa yang kita lihat di sini adalah permulaan pesimisme estetis… Romantisisme telah membuka kekuatan ruh manusia irasional yang lebih dalam… Novalis percaya bahwa semua dunia dan zaman dapat disatukan dengan keajaiban imajinasi… Melalui literatur patriotik tentang perang pembebasan, "tarian jiwa" ini mencapai masyarakat luas.
Kaum romantisis Jerman mengembangkan pratik estetis-isme yang merupakan penolakan langsung terhadap akal sehat dan sebuah usaha untuk memahami kesatuan dan kesegeraan dalam satu tindakan instan. Dalam teori ini, gambaran puitis adalah mutlak nyata.2
Pondasi nasionalisme romantik didasarkan pada "perasaan". Ideologi yang imajinatif ini menghasilkan individu-individu yang terlepas dari realita, tersesat dalam kebingungan pikirannya sendiri. Romantisisme, dengan memperbudak orang-orang terhadap perasaannya, membimbing mereka untuk putus hubungan dengan realita, dan dalam hal ini, bisa disamakan dengan penyakit kejiwaan skizofrenia. (Mereka yang menderita skizofrenia sepenuhnya terputus dari kenyataan dan hidup dalam dunia yang diciptakan imajinasi mereka sendiri).
Penyakit skizofrenia merupakan analogi yang tepat bagi keadaan spiritual nasionalisme romantik. Nasionalisme romantik didasarkan pada sejumlah gagasan keliru, yang menonjol di antaranya adalah ide "darah" dan "tanah air", yang kemudian diidolakan dan menjadi obsesi untuk diikuti secara membabibuta. Pada awal abad ke-20, di Jerman, gagasan "Blut and Boden" (Darah dan Tanah Air) mencapai momentumnya. Menurut gagasan ini, darah Jerman dan tanah air Jerman itu suci, dan kaum minoritas dalam negara itu yang bukan ras Jerman, dianggap mengotori darah Jerman dan menodai tanah air Jerman. Arus pemikiran ini memberikan pengaruh besar pada ideologi Nazi, yang memandang penumpahan darah sebagai bagian dari perang suci. Menyusul percobaan kudeta yang gagal pada tahun 1923, Hitler mengambil bendera partai yang bernoda darah Nazi dan nyaris mengubahnya menjadi sembahan yang dipuja-puja. Bendera ini kemudian dikenal sebagai "Blutfahne" (Bendera Darah). Bendera ini dipertahankan sebagaimana adanya dan menjadi simbol paling suci dalam setiap pertemuan Nazi. Apabila bendera-bendera lain yang baru disentuhkan padanya, maka ia akan memindahkan kualitas sakralnya.3

Pertumpahan Darah dalam
Nasionalisme Romantik
Sikap yang menganggap darah dan pertumpahan darah merupakan hal yang suci telah menjadi penyebab konflik paling berdarah yang pernah terjadi dalam sejarah manusia. Perang Dunia Pertama dan Kedua hanyalah perselisihan antar kaum nasionalis romantik. Arus nasionalisme romantik terlihat paling jelas di Jerman, tetapi pada periode yang sama pengaruhnya juga meluas pada masyarakat Inggris, Prancis, dan Rusia, dan ia bertanggungjawab sebagai penyeret negara-negara tersebut dalam peperangan. Ia mengipas-ngipasi permasalahan yang sebetulnya bisa diatasi melalui diplomasi sehingga berkobar, dan akhirnya menyebabkan terjadinya pembataian jutaan umat manusia di dunia.
Untuk memahami efek nasionalisme romantik, kita perlu mempelajari perkembangan Perang Dunia Pertama. Walaupun banyak negara terlibat dalam perang itu, hanya beberapa saja yang memainkan peran penting. Di satu pihak adalah Inggris, Prancis, dan Rusia; di lain pihak, Jerman dan Kekaisaran Austria-Hungaria. Pada permulaan perang, semua jendral mempunyai strategi yang sama: melalui serangan dahsyat, pasukan musuh bisa dipecah-belah dan dipukul mundur dan dalam beberapa minggu, kemenangan akan diperoleh. Namun, perang itu tidak memberikan kemenangan kepada siapa pun.
Pada tahun 1914, Jerman tiba-tiba menginvasi Prancis dan Belgia. Setelah pendobrakan awal, pasukan pun dikerahkan ke medan peperangan, serangan garis depan diatur, dan hampir selama tiga setengah tahun daerah yang ditaklukkan tidak bertambah. Kedua pihak terus saling menyerang dengan harapan menghancurkan musuh, tetapi situasi tidak berubah. Pada Pertempuran Verdun yang terkenal, yang diawali dengan serangan Jerman, 315.000 orang tentara Prancis dan 280.000 orang tentara Jerman tewas, tetapi garis depan hanya bergerak mundur beberapa kilometer. Beberapa bulan kemudian, Inggris dan Prancis meluncurkan serangan balik di medan perang Somme dan, sebagai akibat dari pertempuran berdarah itu, 600.000 orang tentara Jerman, lebih dari 400.000 orang tentara Inggris, dan kira-kira 200.000 orang tentara Prancis tewas. Meskipun demikian, garis depan Jerman dipukul mundur hanya 11 kilometer. Dengan antusiasme mereka yang dikobarkan oleh lagu mars romantik, dan melalui puisi penggerak yang menyanjung setinggi langit "ruh Jerman", "kehormatan Inggris" dan "keberanian Prancis", ahli taktik dan strategi militer akhirnya membuat keputusan tidak bijaksana, yang menyebabkan pembantaian rakyat mereka sendiri. Kebanyakan tentara yang selamat melewati tiga setengah tahun di dalam parit-parit berlumpur tanpa bisa mengangkat kepala karena pemboman tiada henti, juga menderita secara psikologis karena pengalaman itu.
Contoh mengerikan dari pertumpahan darah tidak berperasaan yang ditimbulkan nasionalisme romantik dalam Perang Dunia Pertama adalah penyerangan terhadap pasukan Jerman yang dipimpin oleh Jendral Prancis Robert Nivelle, April 1917. Sebelum pertempuran, Nivelle berjanji bahwa, dia sanggup memecah belah pasukan Jerman dalam waktu dua hari dan memperoleh kemenangan mutlak dalam waktu satu minggu. Walaupun posisi pasukan Jerman lebih meng-untungkan, pasukan Prancis tetap dikerahkan untuk menghormati janji yang tidak masuk akal itu, dan mereka menyerang tanggal 16 April. Penyerangan yang diharapkan berakhir dalam waktu dua hari ternyata berlangsung lebih dari satu setengah bulan, tanpa hasil, selain kematian ratusan ribu orang tentara, dan akhirnya pemberontakan di antara pasukan Prancis.
Mentalitas haus darah muncul ke permukaan lagi pada Perang Dunia Kedua, tetapi kali ini dengan korban yang jauh lebih besar. Sebanyak 55 juta orang tewas akibat ambisi berlebihan para romantik psiko-patis seperti Hitler, Mussolini, dan Stalin.
Romantisisme bukan hanya berperan dalam konflik global; tetapi juga berada pada akar pepe-rangan dan agresi di antara pelbagai negara, suku bangsa, dan organisasi. Tanpa pemahaman jelas tentang faktor-faktor yang terlibat dalam situasi kehidupan mereka, jutaan orang yang terpengaruh slogan-slogan emosional, cerita-cerita kepahlawan-an, lagu mars dan puisi, mengangkat senjata dan menumpahkan darah, tidak hanya darah mereka sendiri, tetapi juga darah orang-orang yang diang-gap musuh, menenggelamkan diri mereka dan du-nia ke dalam kebingungan dan permusuhan.
Pada awal buku ini, sudah disebutkan bahwa sentimentalitas adalah senjata yang digunakan setan untuk menggelincirkan manusia dari jalah Allah, dan menjerumuskan ke dalam penderitaan. Perang-kap yang dipasang setan untuk manusia ini terbukti dalam nasionalisme romantik. Di dalam Al Quran, Allah menyatakan bagaimana Setan membuat mereka yang berada di bawah pengaruhnya ber-tekuk lutut pada teror, kebingungan dan permu-suhan.

“Tuhan berfirman: "Pergilah, barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka se-sungguhnya neraka Jahannam adalah balasan-mu semua, sebagai suatu pembalasan yang cu-kup. Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerah-kanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikat-lah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang di-janjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.“ (QS. Al Israa’, 17: 63 - 64)

Ayat di atas menceritakan bagaimana setan, dengan menggunakan orang-orang di bawah kendalinya, "merayu siapa pun yang dia sanggup dengan ajakan-ajakannya", dan "mengerahkan terhadap mereka pasukan berkuda dan infantrinya" sebagai alat untuk membangkitkan nasionalisme romantik.

Darwinisme: Basis Intelektual
Nasionalisme Romantik
Kaum nasionalis romantik menggunakan apa yang disebut "pengungkapan ilmiah dan filosofis" sebagai pembe-naran bagi kegemaran mereka menumpahkan darah. Basis dari "pegungkapan" ini adalah Teori Evolusi Darwin.
Darwin, seorang ahli biologi Inggris, menulis buku berjudul "The Origin of the Species" yang diterbitkan tahun 1859. Di dalam buku ini, dia berpendapat bahwa pergulatan tak kenal belas kasih selalu terjadi di alam dan, tergantung pada apakah mereka memperoleh keuntungan atau tidak, mahluk hidup berkembang dan spesies baru pun muncul. Dengan kata lain, menurut Darwin, kunci perkembangan di alam adalah konflik. Di dalam bukunya yang lain, The Descent Man, yang diterbitkan tahun 1871, Darwin mengem-bangkan gagasannya dengan lebih meyakinkan, dan lebih jauh mengajukan pendapat bahwa sebagian ras manusia relatif lebih maju daripada ras lainnya. Dan ini menjadi pondasi rasisme ilmiah. Darwin menganggap ras kulit putih Eropa sebagai "ras yang maju", dan bangsa Afrika, Asia, dan bahkan Turki, sebagai "ras primitif dan setengah kera".
Dengan menyebarnya teori Darwin, rasisme dan mili-tansi segera mendapatkan dukungan, sampai pada tahapan mereka mulai merasa memiliki "fakta ilmiah".
Hubungan antara Darwinisme dan nasionalisme romantik menjadi jelas: Kaum nasionalis romantik menemukan nafsu berkonflik, dan obsesi mereka dengan keunggulan ras mereka sendiri dibandingkan ras lain, pada Darwinisme.
Pengaruh Darwinisme yang menimbulkan bencana dapat dikenali pada tingkat pertumpahan darah luar biasa yang terjadi dalam Perang Dunia Pertama. Tanpa keraguan sedikit pun, jendral-jendral Jerman, Prancis, Inggris, Rusia, dan Austria mengirim ratusan ribu tentara untuk mati sia-sia. Mereka mengikuti dengan setia slogan Darwinisme bahwa, "mahluk hidup berkembang melalui konflik dan ras-ras mencapai dominasinya melalui perang". Berdasarkan alur pemikiran inilah mereka memberikan perintah untuk berperang.
Sebagai contoh, hubungan antara perang dan hukum konflik alami dijunjung tinggi oleh Friedrich von Bernhardi, seorang jendral Perang Dunia Pertama. "Perang" menurut Bernhardi adalah "sebuah kebutuhan bilogis"; "ia sama perlunya dengan perjuangan unsur-unsur alam"; sesuatu "ia memberikan keputusan adil secara biologis, karena keputusan-kepu-tusannya berdasarkan sifat-sifat alamiah".4
Panglima tertinggi Kekaisaran Austria-Hungaria, Jendral Franz Baron Conrad von Hoetzendorff, menulis dalam memoirnya setelah perang itu:
Agama-agama yang mengajarkan kebaikan pada sesama manusia, ajaran-ajaran moral, dan doktrin-doktrin filsafat terkadang berfungsi untuk melemahkan daya juang manusia untuk eksis dalam bentuknya yang paling mentah, tetapi ajaran-ajaran itu tidak akan pernah berhasil menyingkirkannya (dari posisi) sebagai motif yang menggerakkan dunia… Ia sejalan dengan prinsip besar bahwa bencana perang dunia terjadi akibat kekuatan-kekuatan motif dalam kehidupan negara dan rakyat, sebagaimana hujan badai yang karena sifat alaminya harus mengeluarkan beban dari dalam dirinya.5
Pada tahun 1914, Kurt Riezler, penasihat dan sahabat Kanselir Jerman, Theobald von Bethman-Hollweg, menulis:
Permusuhan abadi dan absolut secara fundamental adalah karakteristik hubungan antar manusia; dan permusuhan yang kita saksikan di mana-mana… bukanlah akibat penyimpangan sifat alami manusia tetapi merupakan hakikat dunia dan sumber kehidupan itu sendiri.6
Romantisisme mendorong persekutuan mesra di antara golongan sendiri, namun menumbuhkan kemarahan dan kebencian terhadap yang lain. Ini merupakan semangat yang sesuai benar dengan konsep Darwinian tentang "Perjuangan ras-ras untuk kelangsungan hidup". Apabila diterapkan dalam ilmu sosial, teori Darwin ini dinamai "Darwinisme Sosial", dan sudah menjadi sumber pembenaran utama bagi nasionalisme romantik dan rasisme. Penulis Amerika, Janet Biehl, di dalam artikelnya yang berjudul "Ecology and the Modernization of Fascism in the German Ultra Right" (Ekologi dan Modernisasi Fasisme dalam Gerakan Ultra Kanan Jerman) menyatakan pendapatnya mengenai hal ini:
Darwinisme Sosial berakar kuat di dalam Gerakan Ultra Kanan Jerman… Sebagaimana Darwinisme Sosial Anglo-Amerika, Darwinisme Sosial Jerman memroyeksikan lembaga sosial manusia pada dunia bukan-manusia sebagai 'hukum-hukum alam', kemudian menggunakan hukum-hukum itu untuk membenarkan tatanan sosial manusia sebagai (hal yang) 'alami'. Ia juga menerapkan pepatah 'Yang terkuat akan bertahan hidup' pada masyarakat. Tetapi jika Darwinisme Sosial Anglo-Amerika membayangkan "yang terkuat" sebagai wirausahawan perorangan yang berada di hutan kapitalis dengan cakar dan gigi berdarah, Darwinisme sosial Jerman secara berlebihan menerapkan "yang terkuat" dalam pengertian ras. Karenanya, ras yang terkuat tidak hanya akan tetapi juga harus bertahan hidup, sambil menaklukkan semua pesaingnya dalam 'perjuangan untuk eksistensinya'.7
Di Jerman, perwakilan terpenting dari Darwinisme Sosial adalah ahli biologi Ernst Haeckel (1834-1919). Dia memberikan kontribusi pada Darwinisme dengan mengajukan teori, yang disarikan dalam "Ontogeny Recapitulates Philogeny", bahwa mamalia mereplikasi proses evolusi dalam perkembangan embrionya. (Bertahun-tahun kemudian disadari bahwa teori ini tidak berdasar dan bahwa Haeckel bahkan memalsukan tabel dan diagramnya).
Haeckel mendirikan "Liga Monis", asosiasi yang bertujuan menyebarkan ateisme, dan yang pada waktu bersamaan menjadi pusat rasisme dan nasionalisme romantik. Pada tahun 1920-an, gerakan Nazi, yang saat itu berkembang di bawah pimpinan Hitler, dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Haeckel dan "Liga Monis". Sejarawan Daniel Gasman, menuliskan perkembangan ini dalam The Scientific Origins of National Socialism: Social Darwinism in Ernst Haeckel and the German Monist League (Asal Usul Ilimiah Sosialisme Nasional: Darwinisme Sosial dalam Ernst Haeckel dan Liga Monis Jerman) sebagai berikut:
Darwinisme sosial di Jerman yang terinspirasi secara rasial… hampir sepenuhnya berhutang budi pada Haeckel untuk penciptaannya…. Gagasan-gagasannya berfungsi menyatukan kecenderungan rasisme, imperialisme, romantisisme, anti-Semitisme dan nasionalisme menjadi sebuah ideologi utuh…. Haeckel-lah orangnya yang membanting hancur seluruh tubuh sains di samping apa yang dulu disebut gagasan-gagasan mistik dan irasional Volkisme.8
Gasman juga menulis:
Bisa dikatakan bahwa jika Darwinisme di Inggris adalah perluasan dari individualisme laissez faire yang diproyek-sikan dari dunia sosial ke dunia alamiah, [Di Jerman, Darwinisme adalah] proyeksi romantisisme dan idealisme filosofis Jerman…. Bentuk yang diambil Darwinisme sosial di Jerman adalah agama pengabdian kepada alam yang keilmiah-ilmiahan dan mistisisme-alam yang dikombi-nasikan dengan ide-ide rasisme.9
Dengan nada sama, Janet Biehl menulis bahwa "Haeckel juga seorang penganut rasisme mistik dan nasionalisme, sehingga Darwinisme sosial Jerman sejak awalnya adalah konsep politik yang meminjamkan basis biologis palsu kepada rasisme romantik dan nasional-isme".10


Kesimpulan
Semua yang sudah kita bahas sekali lagi menunjukkan bahwa romantisisme adalah kecenderungan psikologis dan pandangan dunia yang sepenuhnya di luar batas-batas dan bertentangan dengan agama. Jelas pulalah bahwa Darwinisme, yang hampir sinonim dengan ateisme sejak pertama kali dicetuskan, secara implisit terkandung dalam romantisisme.
Hubungan nasionalisme romantik dengan Darwinisme, dan perannya dalam kebangkitan gerakan Nazi, me-ngungkap fakta penting lain: Romantisisme adalah penga-ruh yang sangat berbahaya baik bagi individu maupun masyarakat. Mereka yang terperangkap di dalamnya dapat dengan mudah teperdaya ke dalam cara berpikir yang bertolak belakang dengan akal sehat, pengetahuan umum, dan kesadaran yang benar. Mereka akan dibuat percaya, misalnya, bahwa ras mereka superior atas ras lain, bahwa mereka dibenarkan berperang, menginvasi dan menduduki dunia, dan sah saja bagi mereka untuk menghancurkan atau memperbudak bangsa-bangsa lain.
Nazi Jerman adalah contoh utama dalam sejarah yang menunjukkan kekerasan dan kekejaman nasionalisme romantik. Ketika Nazi berkuasa pada tahun 1933, Hitler dan staf jendralnya melakukan kampanye untuk "menanamkan sentimen-sentimen romantik", dan dalam waktu singkat, masyarakat Jerman menerima pernyataan-pernyataan nasionalisme romantik yang tidak masuk akal. Pada akhir tahun 1930-an, mayoritas rakyat Jerman meyakini bahwa "Kekaisaran Jerman" (Third Reich) harus segera berdiri dan memerintah seluruh dunia dan bertahan selama ribuan tahun. Untuk mewujudkan takdir yang didambakan, mereka percaya bahwa ras Jerman perlu "dimurnikan" melalui eliminasi seluruh kaum minoritas di negara itu. Mereka juga percaya bahwa Hitler adalah "pemimpin" (Führer) tak terbantahkan dan tak terkalahkan, yang memiliki kekuatan supranatural, dan akan memimpin mereka mencapai kemenangan pasti. Dengan mata berkaca-kaca mendengar-kan pidato Hitler yang penuh kemarahan, nafsu berperang, paranoia dan diskriminasi, massa tersihir dan kehilangan sentuhan dengan realitas.
Kongres-kongres Nazi yang terkenal di Nuremberg adalah perwujudan nyata "pencucian otak romantik". Para peneliti Amerika, Michael Baigent, Richard Leigh dan Henry Lincoln, menggambarkan pertemuan-pertemuan ini sebagai berikut:
Kongres-kongres Nuremberg yang terkenal itu bukanlah pertemuan politik seperti yang diadakan di Barat dewasa ini, tetapi sejenis panggung teater yang dikelola dengan licik, misalnya, yang membentuk komponen integral festival keagamaan Yunani. Segala sesuatunya —warna-warna seragam dan bendera, penempatan pengunjung, penyelenggaraan malam hari, penggunaan lampu sorot dan lampu banjir, penentuan waktu— diperhitungkan dengan sangat tepat. Klip-klip film menggambarkan orang-orang memabukkan diri mereka, memantra diri mereka sendiri menjadi bergairah dan kerasukan dengan kata-kata 'Sieg Heil!' dan memuja sang Führer seakan-akan dia seorang dewa. Wajah-wajah di kerumunan menunjukkan kesan kedamaian kosong… Ini bukan karena retorika yang menarik. Bahkan, retorika Hitler sama sekali tidak persuasif. Pidatonya lebih sering kering, kekanak-kanakan, berulang-ulang, dan tanpa substansi. Tetapi penyampaian-nya mempunyai energi beracun, mengandung denyut ritmik yang menghipnotis seperti pukulan genderang; dan ini, dikombinasikan dengan wabah emosi massa, dengan tekanan beribu-ribu orang yang dipadatkan dalam daerah tertutup… menghasilkan histeria massa…. Apa yang orang saksikan pada pertemuan-pertemuan Hitler adalah sebuah 'modifikasi kesadaran' seperti yang biasanya diasosiasikan oleh para psikolog dengan pengalaman mistik.11
Lebih tepatnya, pertemuan-pertemuan Nazi adalah sesi penghipnotisan massa, yang sepenuhnya merampok kemampuan nalar mereka, dan menempatkan mereka di bawah pengaruh romantisisme. Meletuskan Perang Dunia Kedua, histeria romantik ini merenggut nyawa 55 juta orang.
Naziisme hanya satu contoh konsekuensi destruktif dari romantisisme. Karena romantisisme merampok akal sehat, dan menempatkan mereka di bawah penguasaan emosi, maka ia bisa juga memancing mereka ke dalam pelbagai jenis penyimpangan. Karenanya, mudah saja untuk menyesatkan seorang romantik. Dalam kondisi yang tepat, dan dalam waktu yang singkat, dia bisa menjadi seorang rasis atau fasis yang kuat. Namun dalam contoh lain, dia bisa menjadi komunis militan, menyerang orang-orang tak berdosa sambil menyanyikan lagu-lagu mars Leninis, atau bahkan kehilangan akal sehatnya sehingga membakar diri sendiri demi alasan yang dia anggap benar. Seorang romantik bisa bersikap kejam dan keras pada satu saat dan menangis penuh perasaan saat berikutnya. Tidak ada batasan untuk kegilaan yang ditimbulkan ketika akal tidak berfungsi lagi, dan seorang menjadi tawanan emosinya, atau lebih tepat dikatakan, nafsu-nafsu irasional yang telah ditanamkan setan pada dirinya.

CINTA YANG SAH DAN YANG TIDAK SAH

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu...” (QS. Al Mumtahanah, 60: 1)
Sentimentalisme, atau dengan kata lain, kerinduan romantis, menjadikan dirinya lebih sering dikenal dalam samaran "cinta". Misalnya, seperti yang akan dibahas pada halaman berikutnya, kaum nasionalis romantis menyatakan mencintai negara mereka, yang menjadi alasan bagi mereka untuk memusuhi atau bahkan menyerang bangsa-bangsa lain. Atau kita bisa memperhatikan seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang gadis yang dijadikan satu-satunya fokus dalam hidupnya. Yang menuntun pemuda itu menulis bagi sang gadis puisi, "Aku cinta kepadamu", dan menjadi terobsesi dengannya sampai hendak bunuh diri, dan bahkan "memuja" sang gadis, adalah gagasan "cinta". Kemudian ada kaum homoseksual, mereka yang jelas-jelas melanggar larangan Tuhan, tanpa malu-malu dan berkeras mempraktikkan penyimpangan seksualnya; mereka juga mengklaim telah menemukan "cinta".
Sementara bagi mayoritas orang, mereka mengira bahwa setiap perasaan yang mengatasnamakan "cinta" dianggap mulia, murni dan bahkan suci, dan bahwa contoh-contoh kerinduan romantis seperti yang disebutkan di atas, dapat diterima sepenuhnya.
Cinta memang perasaan yang indah, yang dianugrahkan Allah kepada manusia, tetapi penting untuk membedakan apakah cinta itu nyata atau tidak, dan untuk menimbang-nimbang kepada siapa cinta ditujukan, dan sentimen apa yang menjadi dasarnya. Penyelidikan demikian akan menjelaskan perbedaan antara sentimentalisme yang mengarah pada cinta yang menyimpang, dan cinta sejati, seperti yang difirmankan Allah di dalam Al Quran.
Masalah ini akan kita kaji di dalam buku ini. Namun, pertama-tama, sebagai informasi awal, mari kita kaji makna cinta seperti yang dinyatakan dalam Al Quran. Menurut Al Quran, cinta harus ditujukan kepada yang berhak menerimanya. Mereka yang tidak pantas menerimanya tidak perlu dicintai. Bahkan kita diharuskan menjaga jarak secara emosional dari mereka, atau setidaknya, tidak merasakan kecenderungan ke arah mereka. Tetapi mereka yang pantas mene-rimanya, pantas dicintai karena sifat-sifat baiknya.
Satu-satunya Zat yang berhak menerima cinta mutlak adalah Allah, yang menciptakan kita semua. Allah yang menciptakan kita, melimpahi dengan nikmat yang tidak terhitung banyaknya, yang menunjukkan jalan, dan menjanjikan surga abadi untuk kita. Dia menolong kita keluar dari setiap kecemasan dan dengan sabar mendengarkan setiap doa kita. Dialah yang memberi kita makan hingga kenyang, mengobati kita apabila sakit dan kemudian mengembalikan semangat kita. Karena itu, mereka yang memahami misteri alam semesta akan mencintai Allah di atas segalanya, dan mencintai siapa saja yang dicintai Allah, yaitu orang-orang yang taat mengikuti kehendak-Nya.
Di lain pihak, para pembangkang yang memberontak terhadap Allah, Tuhan mereka, tidaklah layak untuk dicintai. Memberikan cinta kepada orang-orang itu adalah kesalahan besar, bertentangan dengan peringatan Allah terhadap orang beriman dalam firman-Nya berikut ini:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasilh sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Mumtahanah, 60: 1)

Seperti yang dinyatakan pada ayat di atas, orang beriman tidak boleh memberikan cintanya kepada pembangkang. Ada hal penting di sini yang perlu diingat: meskipun orang beriman tidak merasakan cinta dalam hatinya bagi seseorang yang menolak agama, dia harus tetap berusaha dengan segala daya untuk mengajaknya beriman dan patuh kepada Allah. "Tidak mencintai" orang seperti itu bukan berarti mem-bencinya, atau tidak menghendaki apa yang baik baginya. Sebaliknya, orang beriman kepada Allah akan menjelaskan makna agama kepada siapa saja yang mencari jalan lurus, dan yang mau menerima petunjuk. Orang beriman yang mengingatkan orang lain tentang keberadaan surga dan neraka, dan memperingatkannya tentang kematian, hari perhitungan, dan kehidupan akhirat, akan memenuhi tugasnya dengan kepedulian dan kasih sayang.
Bahkan jika seseorang tetap tidak beriman, walaupun segenap daya upaya sudah dikerahkan, ini tidaklah menghalangi Muslim untuk berbuat adil terhadapnya. Kecuali seseorang mencoba menyakiti orang-orang beriman, atau menyebabkan konflik dan pertentangan antar se-sama, seorang muslim harus tetap bersikap toleransi kepada semuanya, karena Allah sudah memberi perintah kepada orang-orang yang beriman:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah, 60: 8-9)

Pada ayat di atas, seperti juga ayat sebelumnya (QS. Al Mumtahanah, 60: 1), Allah, dengan kebijaksanaan-Nya, mengajarkan kita suatu hal yang sangat penting untuk dipahami. Emosi tidak boleh menuntun perilaku seseorang, karena ia dapat menjerumuskannya pada kesalahan besar. Seseorang harus bertindak, tidak menurutkan emosinya, tetapi menurutkan akal sehatnya, kehendak bebasnya, dan perintah Allah. Lebih jauh, dia harus melatih emosinya agar selaras dengan akal sehat dan kehendaknya.
Kita dapat mengenali kebutuhan ini dalam diri siapa saja yang sudah jatuh ke dalam perangkap sentimentalitas. Ratusan juta orang diperbudak oleh perasaan, ambisi, nafsu, kebencian dan kemarahan mereka. Mereka melakukan hal-hal yang tidak rasional, dan mem-benarkan tindakan mereka dengan menyatakan ketidakberdayaan, misalnya berkata, "Saya tidak bisa menahannya, saya benar-benar menyukainya," atau "Saya tidak berdaya. Saya menginginkannya. Saya merasa menyukainya." Tetapi sebenarnya, sesuatu yang "disukai" seseorang tidak berarti baik atau sah. Perasaan di dalam diri kita selalu mendorong kita untuk melakukan kesalahan, dengan setan menghasut kita melakukan kesalahan yang lebih besar lagi. Ketika seseorang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah, dan berdalih, "Saya tidak kuasa menahannya. Saya merasa menyukainya," sebenarnya dirinya bertindak sebagai alat setan. Di dalam Al Quran, Allah merujuk orang-orang seperti itu melalui ayat berikut:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat ber-dasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (mem-biarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al Jaatsiyah, 45: 23)

Sedikit Gambaran tentang korban Palestina..

Zionisme adalah paham yang dibentuk dari paham hukum rimba/matrialis/darwinist. Tujuan Zionisme adalah untuk mendirikan negara yahudi. Dalam paham Zionisme di sisipkan pemikiran bahwa anak-anak keturunan Ibrahim/Abraham adalah anak yang di ciptakan oleh Tuhan untuk untuk menguasai dunia dan meraka merasa mereka adalah kaum yang disayangi oleh tuhan secara khusus.

Dalam Islam penghormatan dan perlakuan sederajat di berlakukan, tidak perduli bahwa dia yahudi, nasrani ataupun yang lain. Dan ini menjadikan mereka bukan lagi sebagai kaum yang istemewa atau di bedakan.

Perbedaan atau aliran-aliran dari Islam tiada lain atas rekayasa mereka semua (yahudi). Mereka bertujuan untuk melemahkan Islam dengan memecah belah Islam, sebagian dari kita sadar dan sebagian lagi masih tetap bebal. Sumua ini dilakukan tiada lain untuk mengalahkan umat Islam dengan mudah.

Dan di antara kenikmata-kenikmatan di dunia ini (nikmat duniawi) di suguhkan secara jelas dalam setiap langkah kita tiada lain untuk melalaikan kita semua. Mereka menciptakan makanan yang tidak bergizi dengan iming-iming gengsi, mereka menjual pakaian - pakaian yang mengumbar aurat dengan tujuan mengalihkan pemikiran kita, mereka menciptakan film-film yag membodohi umat Islam dll. dan tahukah kalian semua untuk apa itu diciptakan? ya, untuk menciptakan masyarakat yang bodoh dan dapat di bodoh-bodohi dengan mudah.

Dan ini adalah potret korban akibat kebodohan umat Islam di Palestina.