Kamis, 02 Desember 2010

ROMANTISISME: KUMPULAN PEMIKIRAN

“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa, lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku"; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga, kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Huud, 11: 9-11)

Sentimentalitas menutup pemikiran dan membuat seseorang mudah teperdaya oleh tipu daya setan. Dengan sentimentalitas sebagai alat, setan bisa sesukanya menuntun orang-orang dan masyarakat tanpa agama ke dalam pelbagai kesesatan. Kita sudah mengamati beberapa contoh strategi setan pada bagian pertama buku ini, dan kita telah melihat bagaimana ideologi seperti nasionalisme dan komunisme romantik mengeksploitasi sentimentalitas untuk membawa individu dan masyarakat ke dalam kehancuran.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, terdapat banyak jenis sentimentalitas. Pada halaman berikut, kita akan melihat jenis-jenis utama sentimentalitas.

Kemurungan dan Pesimisme
Manusia diciptakan dengan fitrah menyukai keindahan, dan keinginan untuk hidup bahagia dan sejahtera. Karena itu, merupakan fitrah manusia pula untuk menyingkirkan secepat mungkin situasi yang tidak menyenangkan, atau mengubahnya menjadi menyenangkan. Bahkan, pikiran tenang dan jiwa sehat merupakan faktor penting bagi kesehatan pikiran, di samping badan. Namun, apabila orang-orang bertindak menuruti perasaan, keinginan dan nafsu, tanpa mempedulikan ajaran Al Quran, mereka menjadi tertekan dengan kesedihan, kekhawatiran dan ketakutan. Jika seseorang tidak memiliki pemahaman tentang hakikat nasib, tentang makna 'meletakkan hidup di tangan Allah, dan penyerahan diri sepenuhnya pada kehendak-Nya seperti yang diajarkan Al Quran, maka dia terus-menerus bergulat dengan kecemasan akibat ketidaktahuannya tentang apa yang akan terjadi padanya atau pada orang-orang yang dekat dengannya setiap saat. Padahal, jika dia menjalani kehidupan menurut agama yang telah Allah tetapkan untuknya, dan menurut tuntunan moral Al Quran, maka dia tidak akan pernah mengalami kecemasan atau kesulitan lain semacamnya. Allah menyampaikan kebenaran ini melalui utusan-utusannya ketika Dia berfirman:

“Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpun-kannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha, 20: 123-124)

Seperti dinyatakan dalam ayat di atas, banyak orang berpaling dari peringatan Allah dan, akibatnya, menjalani kehidupan yang gelisah dan tidak bahagia. Lebih jauh, karena mereka percaya takhayul bahwa kehidupan dijalani secara kebetulan, mereka merasa menyesal dengan menganggap sebagai kemunduran dan kesialan hal-hal yang mungkin bermanfaat bagi mereka di masa depan. Pikiran mereka terus-menerus terganggu oleh ketakutan dipecat dari pekerjaan, menjadi miskin, tertipu atau menjadi sakit. Ketika mereka mengharapkan pujian, mereka khawatir akan dicemoohkan; ketika mereka mengharapkan kesetiaan, mereka khawatir dihadapkan pada ketidakpedulian. Mereka mejadi pesimistik ketika mereka memikirkan kemungkinan menerima kabar buruk setiap saat, atau seseorang mungkin akan berkata atau melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap mereka. Bahkan ketika mereka sangat berbahagia, mereka tetap hidup dengan kecemasan sehingga mereka tidak bisa melanggengkan kebahagiaan itu; kehidupan mereka benar-benar mimpi buruk. Di dalam sebuah ayat, Allah mengemukakan kegelisahan mereka yang tidak mengikuti Al Quran:

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al An’aam, 6: 125)

Orang-orang tanpa agama wajar saja merasa terganggu dan tanpa kedamaian pikiran, karena mereka menjalani kehidupan tanpa didampingi kualitas moral Al Quran, seperti cinta, perasaan iba, kelapangan dada, pengorbanan diri, kesetiaan dan kerendahan hati. Hidup dalam sistem yang penuh tipu daya dan bahaya, yang di dalamnya orang-orang tidak saling menolong tanpa mengharapkan imbalan, dan persahabatan dicari dengan harapan mendapat keuntungan, bahkan kesalahan kecil yang dilakukan seseorang mendapatkan respons kemarahan, dan setiap orang memperlakukan sesamanya dengan tidak adil, bergosip dan menyembunyikan apa yang sebenarnya mereka pikirkan, merupakan penyebab ketidakbahagiaan bagi seorang sentimental.
Namun, jika orang seperi itu hidup di lingkungan yang sesuai dengan keinginannya, itu akan mengubahnya sedikit saja. Bahkan walaupun banyak kejadian di sekitar mereka yang selayaknya membuat mereka bahagia, orang emosional seperti itu tetap menemukan jalan untuk melihatnya dari sisi negatif. Karena mereka memandang setiap hal kecil dengan cara demikian, tidak ada bedanya apakah cuaca panas atau dingin, hujan atau angin; mereka menjadikan apa pun untuk dikeluhkan. Kita bisa menggambarkan, dengan contoh berhalaman-halaman, bagaimana orang-orang ini menemukan alasan untuk merasa tidak puas pada setiap kesempatan. Ini merupakan manifestasi dari apa yang Allah firmankan pada ayat berikut, "Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. At-Taubah, 9: 82). Dalam ayat lainnya, Allah menjelaskan perilaku orang tidak beriman, yang "apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah." (QS. Al Ma'aarij, 70: 20).
Penyebab utama lain untuk ketidak-bahagiaan yang dirasakan orang-orang tidak beriman adalah kenyataan bahwa rencana mereka tidak terlaksana sesuai dengan harapan mereka. Sebagai contoh, orang emosional menyiapkan makanan untuk suaminya dan merasa kecewa ketika dia tidak mendapatkan reaksi yang diharapkannya. Dia menabung untuk membelikan temannya hadiah, tetapi lagi-lagi dia sedih karena dia merasa temannya tidak sesenang seperti yang diharapkannya. Dia membeli sebuah rumah, tetapi kembali dia merasa sedih karena dia menganggap tukang cat tidak mencampur warna dengan baik. Alasan untuk tidak bahagia bisa tak terhingga banyaknya. Kekalahan tim sepakbola favorit, mendapatkan nilai kurang dari yang diharapkan, terlambat kerja, kemacetan lalu lintas, memecahkan kacamata, kehilangan jam tangan, jas atau gaun favorit terkena noda di pesta, segalanya bisa dijadikan alasan untuk tidak merasa bahagia.
Orang yang menilai situasi secara dangkal dan bereaksi emosional, tidak akan bisa melihat bahwa sesuatu yang terjadi padanya mungkin bermanfaat baginya kelak. Pikirkan, misalnya, seseorang merasa sedih karena tertinggal bus; bagaimana dia tahu bus itu tidak akan mendapat kecelakaan sesaat kemudian? Barangkali Allah menentukan dia tertinggal bus sebagai bagian dari takdirnya sehingga dia terhindar dari kecelakaan. Mari kita perhatikan contoh lainnya: seorang supir terlewatkan jalan keluar yang sangat dikenalnya dan masuk ke jalan yang salah. Menilai situasi ini dari tingkat pemahamannya yang dangkal, dia menjadi marah pada dirinya, kebahagiannya menguap karena dia harus mengemudi lebih jauh. Tetapi, Allah-lah yang membuatnya mengambil jalan itu; seperti dalam setiap kejadian, ini juga merupakan takdirnya.
Dan sekali lagi, tidak mendapatkan pekerjaan seperti yang diinginkan juga merupakan kesempatan bagi orang yang tidak tahu, untuk merasa tidak beruntung dan berkecil hati. Orang seperti itu menganggap mendapat pekerjaan sebagai hal terbaik baginya, dan tidak mendapatkannya berarti kerugian terbesar. Sementara, orang yang mempunyai keimanan bahwa Allah menemani dan melindunginya akan tahu bahwa Allah meridhai hasilnya demi kebaikannya, dan dia akan berserah diri dengan perasaan puas dan senang. Barangkali lingkungan kerja di sana akan merusak kesehatannya; mungkin perlu bagi dirinya untuk tidak mengambil pekerjaan itu karena peluang lebih besar akan datang padanya.
Dan akhirnya, jika seseorang masuk ke mobil pada pagi hari untuk pergi bekerja tetapi mobilnya mogok, dalam ketidaktahuan, dia akan menganggapnya sebagai kesialan besar, padahal sebenarnya mobil itu mogok karena Allah merencanakannya demikian, dan pasti ada hikmah di balik situasi ini. Orang dalam situasi ini mungkin tidak melihat alasan di balik kejadiaan ini, tetapi apakah dia melihatnya atau tidak, dia harus berbaik sangka kepada Allah.
Orang-orang menyebutkannya kesialan apabila sesuatu terjadi bertolak belakang dengan keinginan mereka, padahal itulah yang terbaik, karena telah ditentukan oleh takdir. Apabila Allah menunjukkan hikmah di balik apa yang mereka sebut kesialan dan membuat mereka frustrasi, serta manfaat yang akhirnya datang dari hal-hal yang mengecewakan dan membuat mereka cemas atau marah, maka mereka akan memahami betapa salahnya mereka bersedih, dan perasaan mereka akan kembali gembira. Jika takdir seseorang dibukakan kepada yang bersangkutan seluruhnya, dan apa yang disebut kesialan dapat terlihat pada saat mereka berperan di dalamnya, maka dia tidak akan pernah lagi menyesali segala sesuatu yang terjadi pada dirinya.
Karena itu, hal paling bijaksana untuk dilakukan adalah menjalani kehidupan dengan penyerahan diri kepada Allah. Sesungguhnya, setiap orang, sadar atau tidak, sudah menyerahkan hidupnya kepada Allah, tetapi penting bahwa setiap individu menyadari hal ini dalam hidupnya. Orang-orang beriman yang memiliki kesadaran itu menjalani hidup dengan aman dan damai, mengamati dengan jiwa yang puas penguraian takdir yang ditetapkan Allah untuknya, sedamai orang yang sedang menonton film. Mereka tahu, seperti disabdakan Nabi Muhammad SAW, bahwa, "Kesejahteraan tidak berasal dari kekayaan melimpah tetapi kesejahteraan berasal dari kepuasan diri."13
Kebanyakan orang mengira, selain kelahiran, kematian dan jamnya yang telah ditentukan, dan apa yang Allah sediakan untuk manusia, takdir tidak menentukan apa pun; mereka percaya segala sesuatu terjadi kebetulan saja atau tidak ada kaitannya dengan takdir. Keyakinan keliru ini membuat mereka memberontak terhadap segala sesuatu yang telah ditentukan menurut takdir mereka, dan menjadi alasan untuk kesedihan mereka. Mereka menganggap setiap peristiwa memojokkan mereka, menyebabkan mereka menderita siksaan berke-panjangan. Karenanya, saat-saat bahagia dan penuh kegembiraan yang dinikmati oleh orang-orang sentimental terasa hanya sesaat dan cepat berlalu. Dan, segera setelah mengalami kegembiraan, mereka memilih untuk mengingat sesuatu yang menyedihkan dan kembali pada keadaan tertekan dan sedih.
Faktor-faktor ini sepenuhnya alami dan merupakan akibat tak terelakkan dari hidup tanpa agama. Tanpa keimanan, seseorang diperbudak penyesalan dan kesedihan. Demikian pula, mereka yang hidup di dunia dengan ketidakpedulian, menyia-nyiakan hidup tanpa memperhatikan perintah-perintah Allah, atau larangan-Nya, di akhirat kelak, akan menghadapi ketidakbahagian.

“Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang sesat.” (QS. Al Mukminun, 23: 106)

Benar bahwa Allah mungkin menguji seseorang di dunia ini dengan kesulitan dan kekhawatiran tertentu. Tetapi, orang beriman tidak menyerah pada kesedihan dan pesimisme ketika berhadapan dengan kecemasan seperti itu; dia tidak bereaksi emosional. Dia tahu bahwa Allah sedang mengujinya untuk mengetahui bagaimana perilakunya dalam kesulitan, dan bahwa solusinya bukan dengan menangis atau berduka cita. Solusinya adalah dengan mencari pertolongan Allah, "...Siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan..." (QS. An-Naml, 27: 62), bersandar hanya kepada-Nya, dan menyakini bahwa Allah akan mendengar doanya dan mengabulkan permohonannya. Berikut adalah janji Allah kepada hamba-hamba-Nya:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus, 10: 62-64)

Lagipula, Allah menciptakan ujian kesulitan dan kecemasan itu dengan alasan sangat khusus. Jika seseorang menggunakan mata keimanan dan melihat alasan di balik keindahan yang Allah ciptakan, dia akan tergerak ke arah kebajikan, dan kepuasannya meningkat. Karena itu, penyerhan diri kepada Allah mendatangkan perasaan tenang di dalam jiwa, dan membuat seseorang menjalani hidup dengan kedamaian pikiran.
Sebaliknya, emosionalisme sepenuhnya menjauhkan orang dari kesadaran berada di tangan Allah, dan menuntun mereka untuk bereaksi terhadap situasi dengan kesenangan berlebihan, atau duka derita yang dibesar-besarkan. Allah menerangkan di dalam Al Quran keterombang-ambingan orang seperti itu antara keputusasaan dan kesombongan, dan perbedaan antara mereka dan orang-orang beriman.

“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku"; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga, kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Huud, 11: 9-11)

Kemarahan dan Sifat Mudah
Tersinggung
Sentimentalitas paling sering menampakkan diri pada wanita sebagai kesedihan, pesimisme, tangisan dan keluhan, sedangkan pada pria umumnya muncul dalam bentuk kemarahan, sifat mudah tersinggung, dan agresi. Sebagai contoh, ketika pria emosional melihat tempat parkir mobilnya sudah ditempati orang lain, dia akan berteriak dan menendang mobil pelanggar itu. Atau, jika seseorang menabrak-nya tanpa sengaja di trotoar, dia dengan mudah kehilangan kesabarannya. Atau, jika putra atau putrinya meninggalkan rumah dan meninggalkan kuncinya di dalam, jika pramusaji terlambat membawakan bon pembayaran, jika sekretaris membuatnya menunggu di telepon, atau jika dia kesal oleh lalu lintas, dia akan mengatakan apa pun yang melintas pertama dalam pikirannya. Dihadapkan pada masalah-masalah yang bagi orang rasional dapat diatasi dengan mudah, bahkan tanpa harus membebani pikirannya dengan remeh-temeh, orang emosional akan bereaksi dengan perilaku berlebihan yang tidak perlu. Dan, seringnya, dia hanya menyakiti diri sendiri dan kehilangan harga diri.
Emosionalisme pada laki-laki berbentuk kemarahan dan sifat mudah tersinggung, dan sering dianggap sebagai kualitas "pria tangguh" atau "macho". Keadaan psikologis demikian hanyalah gabungan antara kemarahan dan romantisisme, sedangkan kebanyakan orang yang terjangkiti olehnya menjadi tidak seimbang, dan memiliki kecenderungan kehilangan kesabaran, atau "lepas kendali". Sebagai akibat berangasan sesaat, mereka mungkin menyakiti atau melukai seseorang, atau bahkan membunuh; korbannya bisa saja orang yang sama sekali tak dikenalnya. Halaman-halaman surat kabar sering diisi berita tentang tindak kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oleh orang berkepribadian seperti ini. Suatu malam yang bermula menyenangkan bisa tiba-tiba berakhir ketika orang emosional menjadi tersinggung dan memukul teman atau seseorang didekatnya. Ketika sedang berjalan-jalan dia mungkin menghunus pisau dan menikam orang tidak dikenal yang "menantangnya". Selama satu menit itu, dia menyerah pada nafsunya, dan kemudian berakhir di penjara seumur hidup. Dan yang lebih penting, jika dia membunuh, atau menyakiti seseorang, tanpa sebab yang benar, berarti dia telah melakukan dosa besar dalam pandangan Allah.
Emosionalisme mudah tersinggung dalam diri seseorang merupakan bahaya potensial yang sewaktu-waktu bisa meledak, dan berdampak sangat serius. Orang emosional mungkin menjadi marah jika seseorang salah arah di jalan, atau jika seseorang yang tidak dikenalnya menatapnya sehingga dia merasa tidak nyaman, atau jika terjadi kesalahpahaman kecil, kemudian bertindak sedemikian rupa yang hanya menyulitkan dan menyakiti dirinya.
Sebuah contoh jelas dari ketiadaan akal sehat yang ditimbulkan emosionalisme bisa terlihat dalam kebrutalan perilaku penggemar sepak bola seusai pertandingan. Mereka menyerang orang-orang tidak dikenal, dan nyaris membunuh mereka dengan golok, pisau atau tongkat pemukul. Pikiran dan kesadaran mereka dibutakan oleh emosionalisme senjata setan, yang merupakan wabah serius bagi masyarakat. Tetapi, Allah memerintahkan manusia agar menghindari setan, menciptakan perdamaian dan keamanan, bukan kemarahan dan konflik.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah, 2: 208)

Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan ketenangan di antara orang-orang beriman, dengan bersabda, "Orang yang kuat bukanlah orang yang mengalahkan orang lain dengan kekuatannya, tetapi orang kuat adalah orang yang mengendalikan dirinya ketika marah".14
Di sinilah perlunya membedakan antara sentimentalitas dan rasionalitas. Kemarahan dan kebencian yang dirasakan sebagai respons terhadap perbuatan kejam dan jahat membuat seseorang lebih sensitif dan menyadari keadilan, kedamaian, dan kebaikan, dan memotivasi-nya untuk berjuang memberantas kekejaman dan kejahatan itu, melakukan pencegahan, dan mengusahakan perlindungan hak-hak orang lemah dan tidak bersalah. Apabila rasa keadilan yang Allah berikan kepada manusia tidak dikendalikan dengan kemauan dan kearifan, maka ia akan menyimpang dari tujuan sebenarnya, dan sebagai contoh, menimbulkan pertengkaran sengit antar pendukung klub olah raga yang berlawanan. Orang yang tidak memiliki kemauan dan kearifan kuat tidak mampu menahan emosi mereka, dan dapat diselewengkan dari jalur kebenaran ke arah apa pun yang diingini Setan. Dalam ayat lain, Allah memperingatkan manusia terhadap Setan:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seoranpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur, 24: 21)

Rasa Iba Bisikan Setan
Orang-orang yang tidak mempunyai pertahanan untuk melawan tipu daya setan dapat dibelokkan sehingga menyalahgunakan sifat belas kasih yang diberikan Allah. Persepsi makna belas kasih yang bertentangan dengan perintah Allah adalah perasaan belas kasih yang diilhamkan oleh setan. Orang-orang sentimental tidak menggunakan Al Quran sebagai ukuran rasa iba dan belas kasih, tetapi menggunakan impulsnya, dan, akibatnya, pandangan mereka tentang hal ini menjadi sesat.
Sebagai contoh, sebagian orang merasa terharu oleh rasa sakit manusia, dan kematian anak-anak kecil, atau binatang-binatang lucu tak berbahaya. Tetapi di sini, belas kasih bisikan setan mempenga-ruhinya, dan menuntun seseorang melakukan pemberontakan terhadap Allah, dan bahkan berani menghujat Allah. Di lain pihak, orang yang menggunakan kearifannya untuk membebaskan diri dari bisikan seperti itu, akan mampu melihat kebenaran dengan jelas dan jernih. Bagi anak-anak kecil atau orang beriman, kematian bukanlah ancaman; baginya ini merupakan pembebasan, dan selangkah menuju kehidupan indah yang abadi. Kematian adalah pintu masuk bagi Allah membawa hamba-hamba-Nya ke hadapan-Nya. Tetapi, dari sudut pandang setan dan teman-temannya, kematian merupakan akhir dari nafsu dan hasrat mereka yang tidak tertahankan; kematian adalah terbukanya pintu menuju siksaan abadi yang telah dijanjikan kepada mereka. Dengan alasan itu, setan menganggap kematian sebagai sesuatu yang menjijikkan dan dibenci, dan berusaha menghadirkannya seperti itu. Dari perspektif setan, begitulah adanya, tetapi tidak demikian bagi orang-orang beriman dan orang-orang tidak berdosa. Dari sudut pandang seseorang yang sudah ditakdirkan masuk neraka, kematian sungguh suatu hal yang jahat; tetapi bagi mereka yang ditakdirkan masuk surga, kematian adalah sesuatu yang menjanjikan kebahagiaan.
Pemahaman rasa iba setan menuntun seseorang untuk mem-praktikkan belas kasih yang tidak menghasilkan kebaikan, tetapi hanya menyakiti orang lain. Orang-orang dalam masyarakat ateis atau pagan menutup mata terhadap segala sesuatu yang dilakukan orang lain tanpa mempertimbangkan apakah perbuatan-perbuatan itu akan mendatangkan kerugian bagi mereka atau tidak di akhirat kelak. Misalnya, mereka memperbolehkan imoralitas, dan tidak mengatakan apa pun ketika melihat seseorang melakukan sesuatu yang dilarang Allah; bahkan mereka mendorong perbuatan itu. Contoh lain adalah orangtua dari anak yang sudah cukup umur untuk mampu berpuasa; mereka tidak mengizinkannya berpuasa, karena mereka pikir dia tidak akan mampu menahan lapar, dan contoh kedua, seseorang yang tidak tega membangunkan anggota keluarga dan mengajaknya sholat shubuh. Orang seperti itu sebenarnya mempunyai pemahaman iba cara setan.
Orang beriman mengukur belas kasih yang dilimpahkannya dengan kebaikan yang akan ditimbulkannya kepada orang lain di akhirat. Terkadang, cinta dan belas kasih yang dirasakannya terhadap orang beriman lainnya memaksanya bersikap kritis atau mengoreksi orang itu demi kebaikannya sendiri. Dia mungkin mengkritisi seseorang yang perilakunya tidak baik, dia mungkin mencoba melarangnya mengikuti arah tertentu, atau dia melarangnya melakukan perbuatan salah seperti yang diperintahkan dalam Al-Quran. Inilah belas kasih sejati. Ketika seorang beriman berbicara demikian, dia mencoba mengatakan sesuatu agar orang lain menyimaknya dengan sungguh-sungguh, dan agar tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Al Quran. Dia tidak rela melihatnya terjerumus ke dalam siksaan neraka di akhirat kelak, yang dari sana tidak ada kesempatan untuk kembali. Dengan alasan itu, dia akan mendorongnya untuk hidup dengan moral yang disukai Allah; dengan cara ini, dia mempersiapkannya untuk masuk surga, dan berarti, akan memberikan belas kasih terbaik. Tidak boleh dilupakan bahwa 'tanpa belas kasih' yang sebenarnya adalah jika mengamati kesalahan orang lain secara pasif tanpa mengingat apa yang menunggunya di akhirat kelak.
Rasa iba setan bergandengan tangan dengan ketidakadilan. Orang beriman yang arif membuat keputusan dalam setiap situasi berdasarkan keadilan dan mengikuti kehendak Allah, sedangkan orang yang membuat keputusan atas dasar perasaan sesal dan iba setan sangat mungkin berbuat tidak adil. Dia akan bertindak sesuai arahan dirinya yang rendah, perasaan, keinginan dan nafsu-nafsunya. Ketika dia menyaksikan suatu peristiwa, dia mengeluarkan perasaan ibanya tanpa mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah, tanpa menilai dengan adil dan arif, dan yang terpenting, tanpa memperhatikan perintah-perintah Al Quran, dia akan menumpahkan perasaan ibanya. Umumnya dia akan melibatkan diri dan orang lain dalam kerumitan keputusan dan metodenya yang salah. Karenanya, menjadi jelas bahwa belas kasih yang dia rasakan jauh dari kebajikan moral yang diperin-tahkan dalam Al Quran.
Salah satu karakteristik yang paling penting dari orang sentimental adalah keegoisannya. Orang seperti ini muncul ke permukaan untuk menunjukkan semangat pengorbanan diri, tetapi sebenarnya, perbuatannya dimaksudkan untuk memuaskan emosi dirinya. Untuk alasan itu, kita tidak bisa mengharapkan orang sentimental berbuat adil atau mempunyai rasa egalitarianisme sesungguhnya. Ketika dia mendapati dirinya dalam situasi yang bertentangan dengan kepentingan pribadinya, atau kepentingan saudara atau seseorang yang dia cintai, alih-alih bertindak adil, dia akan membuat keputusan yang tidak adil dan memihak. Bahkan, bila dimintai pertimbangan atas suatu permasalahan, dia menawarkan pendapat yang tidak jujur supaya menyenangkan teman atau saudaranya, atau bahkan mengajukan kesaksian palsu. Sebaliknya, karakteristik utama orang beriman adalah bertindak adil. Di dalam Al Quran, Allah memerintahkan setiap orang untuk berlaku adil, bukan hanya terhadap teman dan saudara, tetapi juga terhadap orang-orang yang menjadi musuh kita:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar-pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemasla-hatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguh-nya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisaa', 4: 135)

Di dalam ayat lain, Allah mengajak manusia untuk menjadi saksi dengan adil:

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” (QS. Al Maidah, 5: 8)

Namun, orang sentimental tidak mungkin memenuhi perintah-perintah dalam ayat ini dengan baik, karena karakternya berakar pada keegoisan, dan penilaiannya tidak objektif. Dia akan mendahulukan kepentingan dirinya, kemudian keluarganya dan teman-temannya, bahkan mungkin memberatkan siapa saja yang dipilihnya tanpa alasan yang khusus. Dia menutup mata terhadap imoralitas, dan bahkan berbuat sesuatu yang bisa digolongkan pada tindak kejahatan.

Rasa Terima Kasih
Salah satu emosi yang paling kuat dirasakan oleh seseorang adalah "rasa terima kasih". Manusia, setiap saat dalam kehidupannya, sejak dia dilahirkan, adalah penerima limpahan nikmat terus-menerus. Karena kebanyakan nikmat yang diterima olehnya melalui orang lain atau perantara, maka orang cenderung mengungkapkan perasaan terima kasih kepada mereka. Namun, Al-Quran dengan jelas menyatakan, dalam beberapa contoh, bahwa rasa terima kasih harus ditujukan kepada Allah semata. Di dalam Al-Quran, rasa terima kasih ini didefinisikan sebagai "bersyukur". Bersyukur merujuk pada kesadaran bahwa semua nikmat, apa pun sumbernya, berasal dari Allah, dan bahwa Dia-lah satu-satunya Pemberi rizki; bersyukur merupakan ungkapan terima kasih dan syukur mendalam kita kepada Allah semata.
Di dalam Al-Quran, dinyatakan bahwa, bersyukur hanya kepada Allah dan menyatakan terimakasih hanya kepada-Nya adalah tanda hamba sejati.

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah, 2: 172)

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni’mat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. An-Nahl, 16: 114)
Dari apa yang disebutkan dalam ayat-ayat ini, jelaslah bahwa bersyukur kepada Allah, sebagai satu-satunya Tuhan, dan tidak memberikan sifat ketuhanan kepada apa pun di antara ciptaan-Nya, adalah tanda-tanda ibadah sesungguhnya. Seseorang yang menyampaikan syukur kepada Allah menyadari bahwa semua berkah berasal dari-Nya, bahwa segala sesuatu di bawah kendali-Nya, dan selain Allah, tidak ada tuhan lain. Seorang yang menyadari bahwa semua berkah berasal dari Allah adalah orang yang di dalam hatinya bersemayam keimanan kuat terhadap fakta bahwa semua kekuatan dan kekuasaan milik Allah. Inilah manusia ideal, seperti yang dijelaskan dan dipuji di dalam Al Quran.
Orang emosional cenderung sebaliknya. Orang-orang ini menganggap berkah yang mereka terima sebagai pemberian sesuatu atau seseorang yang dijadikan alat oleh Allah untuk menyampaikannya; dan kepada perantara-perantara inilah mereka mencari pertolongan. Kepada mereka, orang-orang ini berterimakasih. Singkatnya, mereka meninggikan bagi mereka sendiri tuhan-tuhan palsu, yang mereka anggap memiliki kekuatan tuhan. Karena mereka tidak menggunakan kearifan, mereka tidak bisa melihat bahwa Allah-lah yang menciptakan perantara yang mereka muliakan itu, dan semua yang mereka lakukan atas izin-Nya, dan bahwa tanpa kekuatan dan kuasa-Nya, mereka tidak mempunyai daya atau kemampuan melakukan apa pun.
Rasa syukur yang salah alamat ini kelak menyebabkan aib bagi orang sentimental. Penyembahan kepada bos-bos, tetua dalam keluarga, atau saudara yang kaya menuntun mereka menjadi depresi, sebuah perasaan yang kemu-dian tecermin dalam cara mereka berbicara dan bagai-mana mereka bertindak. Jenis perilaku ini merupakan salah satu bentuk kecemasan yang ditimbulkan roman-tisisme, dan tidak pantas bagi seorang beriman.

Introversi
Pada sebagian orang, sentimen-talitas mengambil bentuk introversi, atau ketidakmampuan berkomunikasi dengan orang lain. Pada sentimentalitas jenis ini, seseorang hidup dalam dunianya sendiri, membenamkan diri dalam masalahnya sendiri; dia tidak tertarik pada apa yang terjadi di sekitarnya, dan, karenanya, tidak mampu mengambil tindakan. Karena dia tidak mempunyai kekuatan karakter seperti disebutkan dalam Al Quran, dia tidak mempunyai kemampuan untuk berurusan dengan realitas di luar dirinya. Dia tidak mencoba mengatasi masalah yang menderanya, hanya merasa lemah, tidak berdaya dan tidak berguna. Karena dia tidak meletakkan dirinya di tangan Allah, dan tidak mempercayai pertolongan-Nya yang tidak pernah putus, dia merasa sendirian di dunia dan tanpa penolong. Itu sebabnya, dia takut keluar dari dunia mimpi yang dia ciptakan dalam dirinya.
Kesedihan yang ditimbulkan sentimentalitas ini bisa menyebabkan orang seperti ini menjadi depresi. Kondisi yang biasa dialami orang-orang emosional adalah kesepian, stres, tidak bersemangat, dan kerusakan jiwa. Mereka selalu menemukan alasan untuk berduka, bersedih, depresi dan berpikir untuk melakukan bunuh diri. Misalnya, seorang gadis yang menjadi bahan ejekan temannya mungkin berpikir wajar saja bila dia melewatkan sepanjang malam dengan menangis, dan memikirkan terus mengapa temannya mengatakan hal seperti itu. Dalam kasus lain, rambut beruban atau kekurangan fisik mungkin cukup menjadi alasan untuk depresi. "Mengapa mata saya tidak berwarna lain?" "Mengapa saya tidak bisa sedikit lebih tinggi?"; lusinan, atau ratusan pertanyaan serupa memenuhi pikiran orang-orang itu, dan memandang masalah mereka sebagai pembenaran untuk depresi.
Anda akan sering menemukan orang seperti itu duduk di tempat gelap melakukan apa yang tampaknya seperti "berpikir", menulis puisi-puisi sedih, memandang dinding berjam-jam sambil melamun, menghela napas panjang, menangis tersedu-sedu, mata berkaca-kaca, dan berbicara dengan suara bergetar. Beberapa di antara mereka akan minum atau merokok terlalu banyak dengan maksud menghalau kesedihan. Orang-orang ini mengalami depresi dan ketidaknyamanan dari apa yang mereka bayangkan sebagai dunia gelap, dengan sia-sia menjalani kehidupan yang penuh derita fisik dan mental. Tetapi perlu diingat bahwa mereka telah mengambil perilaku dan moralitas yang tidak disukai Allah.
Tentu saja, orang-orang ini tidak bisa menghabiskan seluruh hidupnya dengan mengurung diri di kamar. Meskipun mereka mempunyai kehidupan sosial, mereka membawa serta keadaan emosional yang cacat ke depan umum. Biasanya, mereka memiliki temperamen rentan dan mudah tersinggung. Dari setiap kata, mereka mengambil makna yang tidak dimaksudkan oleh si pembicara, menganggapnya sengaja ditujukan kepada mereka. Mereka mudah kehilangan semangat dan tersinggung. Dengan sedikit provokasi, mereka pun banjir air mata, dan bahkan mereka bisa menangis diam-diam.
Pada laki-laki, sejalan dengan waktu, sifat sentimen-talitas dapat mencapai tingkat penyimpangan lebih jauh: Ia bisa menyebabkan masalah kesehatan mental serius, perilaku feminin, penyimpangan seksual, dan mungkin menumbuhkan kecenderungan homoseksual. Seorang emosional mungkin menyembunyikan penyimpangannya, atau mungkin menyatakannya secara terang-terangan, tergantung pada lingkungan. Sewaktu-waktu, dia mungkin menyatakan kecenderungannya itu, sehingga membuka nafsu-nafsunya yang tersembunyi, tanpa kendali dan penilaian moral. Misalkan, akhir-akhir ini, kita terbiasa menyaksikan orang-orang emosional, melankolik, introvert, muncul di depan publik sebagai kaum homoseks atau waria yang agresif. Di dalam Al Quran, Allah menunjukkan aib penyimpangan seksual ini melalui kata-kata Nabi Luth kepada umatnya:

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?" Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al A'raaf, 7: 80-81)

Jenis perilaku skandal seperti itu tentunya disebabkan kenyataan bahwa orang-orang itu sudah jauh dari jalan Allah dan, dengan menjadi budak nafsu dan keinginan, mereka mengikuti jalan setan. Allah memberikan peringatan ini kepada manusia di dalam Al-Quran:

“... dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguh-nya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang kamu tidak ketahui.” (QS. Al Baqarah, 2: 168-169)

Semua tipe emosionalisme yang kita kemukakan sejauh ini, hadir hingga tingkatan tertentu pada orang-orang yang mengabaikan akal sehat dan lebih suka hidup sebagai budak emosi mereka. Tetapi ia mengambil bentuk-bentuk yang berbeda tergantung pada situasi dan orang yang terlibat. Misalnya, seorang yang mudah marah, mudah tersinggung, dan tidak seimbang, betapa pun dia mencoba bersikap keras dan kasar, masih berusaha menutupi sentimentalitas dan kelemahannya dengan samaran kemarahan. Orang seperti itu bisa menghinakan diri sendiri dengan mengumbar air mata atau meratap secara tak terduga-duga. Singkatnya, seseorang yang tidak mempunyai keimanan, atau yang tidak mempunyai kearifan seperti seorang beriman, akan dikuasai kelemahan pikiran dan karakter yang timbul dari sentimentalitas. Sentimentalitas ini akan menjelmakan dirinya dalam pelbagai bentuk perilaku tidak seimbang, tergantung pada keadaan, lingkungan dan situasi.
Sentimentalitas adalah cacat yang tidak akan ditemukan pada orang-orang beriman, yang mempunyai keyakinan dan ketakwaan kepada Allah. Sebab setan tidak mempunyai pengaruh atas orang ikhlas beriman, dia tidak bisa menggunakan senjata sentimentalitasnya terhadap mereka. Tentang setan, Allah memberi perintah ini dalam surat ke-15, ayat 42, sebagai berikut: "Sesungguhnya engkau tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku kecuali orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang sesat." Karena itu, orang-orang beriman memiliki karakter yang dikuatkan dengan keimanan, kearifan dan komitmennya terhadap Al Quran; mereka kuat, sehat, seimbang dan perseptif.
Salah satu bentuk paling umum dari sentimentalitas dalam masyarakat sekarang adalah gagasan cinta romantik. Sentimen ini dialami secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda, dan ditemukan pada hubungan keluarga, hubu-ngan pertemanan hingga hubungan persahabatan; tetapi biasanya paling banyak ditemukan pada hubungan antara pria dan wanita.
Karena gagasan cinta romantik adalah yang paling menyebar luas dan merupakan sentimentalitas yang paling menyimpang, kita akan membahasnya pada bagian terpisah.

KEARIFAN SEJATI DATANG DARI KEIMANAN

“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al Maidah, 5: 15-16)

Selanjutnya dalam buku ini, kita akan mengkaji dampak romantisisme dalam kehidupan kita sehari-hari. Tetapi sebelum kita mendalami topik ini, perlu dijelaskan secara terperinci makna "kearifan" yang sering disebutkan dalam buku ini.
Perbedaan penting antara orang yang arif dengan orang yang cerdas sering tidak dipahami. Ini merupakan kesalahan besar. Kata "kecerdasan" umumnya digunakan dalam masyarakat untuk menunjukkan kualitas ketajaman mental saja, dan ini sangat berbeda dengan kearifan.
Kearifan adalah kualitas orang beriman yang memiliki kemampuan untuk mengenali tanda-tanda samar dari Allah dalam segala sesuatu yang diciptakan-Nya, yang membuat dia memahami dunia sekitarnya. Tetapi, upaya apa pun untuk memikirkan hal-hal ini, yang hanya mengandalkan kemampuan otak untuk memperhitungkan sebab dan akibat, akan berujung pada persepsi realitas yang sempit dan mekanistik. Kecerdasan adalah kualitas orang beriman yang mempunyai keimanan teguh kepada Allah, dan yang menjalani kehidupannya berdasarkan ajaran ayat-ayat Al Quran. Kecerdasan adalah karakteristik fisik yang dimiliki semua individu dalam pelbagai tingkatan, sedangkan kearifan adalah kualitas yang hanya dimiliki oleh orang-orang beriman. Mereka yang tidak mempunyai keimanan berarti tidak memiliki "kebajikan" dari kearifan.
Kearifan memungkinkan seorang beriman mengerahkan kemampuan mental, penilaian, dan logika, yang berarti memanfaatkan kebajikannya. Seseorang tanpa kearifan, setinggi apa pun kecerdasan-nya, pada satu saat akan tersesat ke dalam cara berpikir yang salah atau pengambilan keputusan yang buruk. Jika kita mencermati para filosof yang tidak beriman sepanjang sejarah, kita akan menyadari bahwa mereka menyatakan pandangan yang berbeda dan bahkan terkadang saling bertolak belakang untuk permasalahan yang sama. Meskipun mereka adalah orang-orang dengan kecerdasan tinggi, mereka tidak beriman, dan karena tidak beriman, mereka juga tidak cukup arif sehingga tidak mampu mencapai kebenaran. Bahkan sebagian dari mereka menarik manusia ke dalam kesalahan tak terhitung banyaknya. Kita bisa menemukan beberapa contoh demikian dalam sejarah sekarang ini: Banyak filosof, ideologis dan negarawan, seperti Marx, Engels, Lenin, Trotsky, walaupun mereka sangat cerdas, telah menye-babkan bencana bagi jutaan orang, karena mereka tidak mampu menggunakan pikiran mereka secara efektif. Sebaliknya, kearifan menjamin perdamaian, kesejahteraan, dan kebahagian, dan menunjuk-kan cara untuk mencapai semua itu.
Kecerdasan memungkinkan kita, antara lain, untuk berpikir, mem-bentuk persepsi, memusatkan perhatian, dan melakukan aktivitas praktis. Tetapi, lebih dari semua ini, seorang yang arif juga mempunyai pemahaman mendalam yang tidak bisa diperoleh dengan kecerdasan saja, dan dengan kearifan itu dia bisa membedakan antara kebenaran dan kesalahan. Oleh karena itu, seorang yang arif memiliki wawasan jauh lebih luas dibandingkan seorang yang cerdas.
Sumber kearifan, seperti yang disebutkan sebelumnya, adalah keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang tertanam dalam. Mereka yang bertakwa kepada Allah, benar-benar memperhatikan semua perintah dan larangan-Nya, sehingga memiliki wawasan luas sebagai berkah dari Allah. Tetapi, meskipun kebajikan ini mudah diperoleh, hanya sedikit orang yang dianugerahi kearifan. Kondisi ini, yang disampaikan Allah melalui firman-Nya dalam Al Quran, "Kebanyakan mereka tidak menggunakan akalnya". (QS. Al Maidah, 5: 103), timbul dari kenyataan bahwa kebanyakan orang tidak mem-punyai keimanan yang benar, karena tidak menyisakan ruang dalam kehidupannya bagi Al Quran.
Kearifan yang Allah anugerahkan kepada siapa saja yang bertakwa kepada-Nya, dan yang menjalani kehidupannya sesuai tuntunan Al Quran, membuat orang beriman lebih unggul daripada orang tidak beriman dalam banyak hal. Komponen dasar kearifan adalah pengetahuan orang beriman bahwa Allah mengendalikan segalanya sepanjang masa, kesadarannya akan fakta bahwa segala sesuatu dalam setiap detailnya terjadi menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah, dan kesadarannya bahwa dia bersama Allah setiap saat. Kearifan juga memungkinkan seorang beriman untuk menyesuaikan diri dengan mudah dalam kondisi dan situasi yang berubah-ubah.
Ketajaman wawasan dan pemahaman orang-orang beriman, perhatian dan kesadaran mereka, kemampuan analitis mereka yang tinggi, moral yang baik, karakter yang kuat, dan kearifan dalam kata dan perbuatan, semuanya merupakan produk alami kearifan mereka. (untuk informasi yang lebih terperinci lihat buku True Wisdom According to the Quran, oleh Harun Yahya)
Bayangkan jika karakteristik luar biasa yang dimiliki perorangan itu dimiliki oleh masyarakat secara keseluruhan. Pikirkan keuntungan bagi masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang menggunakan akal dalam segala yang mereka ucapkan, dalam setiap tindakan yang mereka ambil, dalam setiap keputusan yang mereka buat, dan dalam setiap masalah yang mereka hadapi; pikirkan lingkungan yang akan tercipta dalam masyarakat yang terbentuk oleh individu-individu arif… Sungguh, kita memerlukan kehadiran orang-orang arif untuk menjamin kenyamanan, kesehatan, keamanan dan ketenangan pikiran kita. Lebih jauh lagi, keberadaan orang-orang arif ini tak tergantikan untuk mencegah kekacauan, kebingungan dan anarki, dan untuk menemukan solusi atas masalah yang timbul. Dengan mempertimbangkan ini, jelaslah bahwa kunci setiap masalah adalah pengenalan kebutuhan yang dilengkapi kearifan.
Tidak diragukan lagi, kearifan adalah kualitas terpenting yang dapat dimiliki seseorang. Dengan kearifan, dia memberikan manfaat kepada orang lain lebih daripada yang lain, karena, dengan moralitas yang ditanamkan oleh keimanan, tidak ada lagi tujuan lebih besar baginya selain untuk memperoleh ridha Allah. Sepanjang hidupnya, orang seperti itu menunjukkan kualitas-kualitas mukmin sejati seperti yang digambarkan dalam Al Quran: dia melindungi mereka yang tertindas, dia peduli kepada tuna wisma, mereka yang kesepian, dan mereka yang membutuhkan, dia merasa bertanggung-jawab atas penerapan hukum yang adil dan tidak akan membiarkan siapa pun kelaparan. Kearifan-Nya membuatnya menerapkan apa yang dia pelajari dari Al Quran dalam kehidupannya, dan mengembangkan rasa tanggung jawab sosial. Kita semua mencari orang seperti itu, yang menggunakan pikirannya untuk mengatasi masalah, menerapkan langkah-langkah yang tepat, dalam memberikan nasihat dan saran, dan yang menunjukkan kearifan dalam perkataan dan tulisannya. Oleh karena itu, terdapat banyak manfaat yang bisa diperoleh dari kata-kata dan perbuatan orang seperti itu.
Setelah kita mengetahui pentingnya kearifan, tidak akan sulit menyadari keseriusan ancaman bahaya yang ditimbulkan oleh sebaliknya. Bahaya ini merupakan ancaman baik bagi individu maupun masyarakat pada umumnya, dan kita akan terbantu dengan mengkaji masalah-masalah yang diakibatkan oleh ketiadaan kearifan.
Salah satu rintangan terbesar menuju kearifan adalah korupsi spiritual yang sudah dibicarakan pada bagian terdahulu buku ini: romantisisme, yang disebut juga sentimentalitas.

Sentimentalitas Umum
Kita sudah mendefinisikan sentimentalitas sebagai perbuatan seseorang yang tidak sesuai dengan kebenaran yang diperoleh dengan kearifan dan akal sehat, tetapi menurutkan emosi. Sentimentalitas merupakan penyakit spiritual laten pada setiap anggota masyarakat ateistik atau pagan, walaupun secara umum cenderung mempengaruhi orang-orang secara berbeda; sebagian orang lebih emosional daripada lainnya. Orang yang tidak tertarik dengan Al Quran, atau tidak menjalani hidup dengan tuntunan agama, tidak mungkin menye-lamatkan diri dari cengkeraman romantisisme. Sentimen-talitas hanya bisa diberantas dengan perbuatan bijaksana, yaitu dengan bertindak menurut ajaran moral Al Quran. Sebab seperti yang sudah dibicarakan tadi, seseorang yang tidak menjalani hidupnya sesuai dengan Al Quran, tidak mungkin dapat menggunakan akalnya dengan efektif.
Meskipun nyata-nyata sebuah penyakit spiritual, sentimentalitas tetap menjadi ukuran umum di dalam masyarakat yang tak acuh untuk menentukan apakah seseorang termasuk "orang baik" atau tidak. Sentimentalitas telah mempengaruhi mayoritas masyarakat yang tidak berpengetahuan, hingga sampai pada tahap bahwa seseorang yang tidak mudah tergerak oleh perasaan romantik segera dianggap tidak berhati dan tidak berperasaan.
Dapatkah sentimentalitas begitu tidak bersalah dan tidak berbahaya seperti anggapan umum? Apabila kita mencermati pertanyaan ini dan menjawabnya secara realistis, kita akan menemu-kan kenyataan bahwa sentimen-talitas menimbulkan suatu dampak menyedihkan. Di bagian awal buku ini, kita telah melihat efek nyata sentimentalitas dalam bidang sosial, tetapi ia juga mempunyai dampak merusak dalam kehidupan sehari-hari. Sentimentalitas menjadi salah satu alasan utama untuk keluhan-keluhan yang disuarakan banyak orang relatif terhadap banyak masalah yang mereka tak mampu temukan solusinya.
Namun, karena solusi atas setiap permasalahan, dan jalan keluar dari setiap kesulitan, sudah disajikan dalam Al-Quran, individu atau masyarakat yang menggunakan Al-Quran sebagai petunjuk, mendapatkan segala manfaat dari kearifan. Dengan kata lain, mereka merasakan manfaat-manfaat kearifan.

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al Maidah, 5: 15-16)

Sejak kanak-kanak, kita terbiasa melihat orang-orang bisa menangisi apa saja, dari kesewenang-wenangan yang mereka baca di koran, hingga pemandangan orang kelaparan di televisi. Ketika kita melihat mereka mengekspresikan duka atas penderitaan orang lain, kita mengganggap mereka memiliki nurani yang baik, padahal reaksi emosional demikian, jika hanya berkisar pada menumpahkan air mata dan menyalahkan orang lain, tidak ada gunanya. Apa yang tidak ditunjukkan oleh reaksi emosional demikian adalah minat aktif dan terlibat dalam kesejahteraan orang-orang yang menderita. Orang tipe ini merasakan kesenangan dengan menangis dan menyesali penderitaan seseorang, tetapi tidak melakukan apa-apa untuk menyelesaikan masalah. Di bawah sadar, mereka memilih hidup dalam keadaan sentimentalitas yang abstrak. Menariknya lagi, orang seperti itu juga terpuruk dalam pesimisme, keputusasaan, penyesalan, ketidakberdayaan, depresi dan semua perasaan negatif lainnya. Perasaan-perasaan itulah yang dikehendaki setan dalam menyesatkan dunia dengan sentimentalitas.
Masih ada aspek penting lainnya yang perlu diper-timbangkan dalam hal ini: Jika seseorang memberikan saran bahwa alih-alih menumpahkan air mata di depan televisi, sebaiknya mereka bangkit dan melakukan sesuatu, maka saran itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Mereka akan mencoba mengelak dengan membuat alasan, seperti, "Apa lagi yang bisa dilakukan?", "Apa yang bisa aku lakukan seorang diri?"
Orang-orang emosional menambah pesimisme dengan menga-takan bahwa sebuah masalah terlalu kompleks untuk diatasi; dan ini membuat orang lain merasakan keputusasaan yang sama.
Banyak kualitas moral yang baik kehilangan kebajikannya karena terafiliasi dengan sentimentalitas, sampai pada tahapan berbahaya. Misalnya, kasih sayang adalah sentimen moral yang dianjurkan oleh Allah dalam Al Quran, tetapi disalahgunakan oleh orang emosional yang bersimpati kepada penindas, memuji perbuatannya, dan menerima kekejamannya. Sebaliknya, orang arif tidak mungkin bisa melihat pembenaran dalam sikap, perilaku atau pemikiran yang diasosiasikan dengan sentimentalitas. Karena selama temperamen emosional dipupuk di dalam jiwa, maka aspek-aspeknya yang lebih berbahaya bisa muncul kapan saja tergantung pada keadaan dan lingkungan.
Sekarang, penting sekali untuk menunjukkan perbedan antara bersikap sensitif dan empatik dan bersikap emosional. Di dalam Al-Quran, Allah menjelaskan bahwa "sensitif, empatik dan lembut" adalah kualitas yang ditampilkan terbaik pada seorang nabi. Sentimentalitas sama sekali berlawanan denga sikap moral yang dianjurkan dalam Al-Quran. Orang-orang beriman tidak sentimental, tetapi empatik dan penuh kasih sayang. Dengan kata lain, mereka adalah individu-individu yang jernih, sangat arif, yang memiliki kualitas moral sangat kuat. Di dalam Al Quran, Allah berfirman tentang karakter moral Nabi Ibrahim yang baik: "Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah". (QS. Huud,11: 75)
Tidak boleh dilupakan bahwa orang-orang emosional hanya merasa kasihan kepada orang lain; mereka tidak mencoba membantu mereka keluar dari situasi sulit, atau menemukan solusi atas masalah mereka. Namun, seseorang yang memiliki empati yang dikehendaki Allah, akan melakukan apa pun agar dia bisa membantu orang lain menemukan solusi atas masalahnya, dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengeluarkannya dari kesulitan. Ini adalah kasih sayang dan cinta sejati.

Bagaimana Sentimentalitas
Mengaburkan Kearifan?
Setiap orang diciptakan dengan perasaan seperti cinta, kasih sayang, kemurahan hati dan ketakutan. Memiliki semua perasaan itu berarti manusiawi. Apa yang ingin ditekankan di sini adalah, supaya seseorang mempunyai kehidupan spiritual yang sehat dan seimbang, dia perlu menjaga emosi agar tetap terkendali, dan mengarahkannya sesuai dengan keimanan dan kearifannya. Sebagai contoh, cinta sudah diberikan kepada manusia agar perasaan ini ditujukan terutama kepada Allah, yang telah menciptakan kita dari ketiadaan, yang menyediakan segalanya untuk kita, memberi kita berkah, dan yang menjanjikan kita kehidupan abadi yang penuh dengan kebahagiaan. Cinta juga merupakan emosi yang harus ditujukan kepada orang-orang yang mencintai Allah dan dicintai Allah, yaitu orang-orang yang beriman. Seseorang dicintai karena kedekatan-nya dengan Allah, ketakutannya kepada Allah, dan kepeduliannya untuk melindungi hak-hak Allah. Semua bentuk cinta ini ditujukan kepada Allah, dan kepada objek-objek yang mengandung perwujudan sifat-sifat Allah. Bahkan di dalam Al Quran terlarang bagi orang beriman untuk mencintai musuh-musuh Allah dan agama-Nya.
Allah juga memerintahkan orang-orang beriman untuk tidak takut pada apa pun atau siapa pun selain kepada-Nya, karena segala sesuatu dan setiap orang berada dalam kekuasaannya. Selain dari Allah, tidak ada kekuatan atau kekuasaan, karenanya, tidak satu pun layak ditakuti selain dari Allah.
Kita akan mengambil perasaan marah sebagai contoh selanjutnya. Kemarahan merupakan emosi yang membang-kitkan tanggungjawab orang beriman terhadap saudaranya, dan memicunya melakukan tindakan melawan ketidak-adilan, melawan musuh-musuh Allah dan agama, dan melawan penindasan. Namun, ketika orang beriman bertindak karena rasa tanggungjawabnya, tentunya disertai kecerdasan, pertimbangan dan nilai moral yang baik. Orang beriman tidak pernah bertindak tidak adil atau sewenang-wenang, juga tidak berdasarkan dendam, atau seperti yang diperintahkan Al Quran, dia tidak pernah membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan, atau kekejaman dengan kekejaman.
Akan tetapi, seseorang yang bertindak berdasarkan perasaannya dapat mudah menjadi kesal jika ada hal kecil yang tidak berjalan seperti kemauannya, dan jika segalanya tidak terjadi menurut keinginannya, atau jika seseorang tidak melakukan apa yang dikehendakinya, dan bisa meledak dalam kemarahan. Disebabkan oleh kemarahan dalam dirinya, penilaian dan pandangannya bisa tiba-tiba menjadi gelap, dan setiap saat dia dapat melakukan tindakan impulsif.
Seperti yang telah kita lihat, manusia harus mengendali-kan emosi yang telah diciptakan Allah dalam dirinya sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kata lain, dia tidak boleh menyimpan dalam dirinya rasa takut, marah, atau segala jenis rasa cinta, yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Jika dia berbuat demikian, dia tidak akan mengikuti jalan yang telah Allah tentukan, tetapi mengikuti jalan yang diarahkan oleh emosinya. Ini tidak lain merupakan kemusyrikan.
Apabila perasaan bawaan dalam diri manusia tidak dituntun dengan kearifan, penyakit sentimentalitas merasukinya dan mulai mengambil alih perilaku, percakapan, perbuatan, pikiran, dan pendekatan mereka pada segalanya secara umum. Jika sudah demikian, maka orang itu sudah jauh dari alam kearifan dan memasuki tirani emosi. Pada orang seperti ini, emosi menghalangi kecerdasan dan mengaburkan pikiran.
Dengan mengabaikan aturan-aturan Al Quran, mereka menyukai secara berlebihan orang yang mereka cintai, mereka bisa sangat takut kepada atasan, pasangan atau orang lain, atau mereka dipenuhi kemarahan. Tentu saja, kita tidak bisa mengharapkan orang dalam keadaan spiritual seperti itu bisa bersikap bijaksana dalam perilakunya, karena dalam diri orang seperti itu kearifan telah digantikan emosi tak terbatas.
Sentimentalitas merampok rasa realitas seseorang. Salah satu tanda yang paling jelas dari pribadi emosional adalah keinginannya untuk menjalani kehidupan di dunia yang terpisah dari realita; dia seperti orang yang hidup di dunia mimpi, hubungannya dengan realita sangat tipis. Dia lebih memilih emosi daripada akal sehat dan logika; dan dia lebih memilih impian dan fantasi daripada realita. Karena itu, tidak mungkin melakukan percakapan atau diskusi dengannya; dia tidak bisa memberi ataupun mene-rima petunjuk dan nasihat. Dalam kenyataan, senti-mentalitas adalah bentuk ringan kerusakan mental yang oleh psikiater disebut "skizofrenia." (Orang-orang yang mende-rita skizofrenia terputus dari realita dan hidup dalam dunia-nya sendiri)
Orang emosional bisa disamakan dengan seseorang yang menangis ketika menonton film di televisi: Penonton itu begitu jauh dari realita sehingga dia bisa merasa sedih dan bahkan menangisi seorang aktor yang menderita dalam film itu, walaupun, si aktor menerima uang untuk memainkan perannya, dan kehidupannya yang nyata mungkin diliputi kebejatan moral. Ini suatu keadaan yang tidak mungkin orang arif jatuh ke dalamnya, dan secara jelas menunjukkan seberapa jauh mentalitas sentimental dapat memutuskan sesorang dari realita, dan seberapa jauh ia bisa memaksanya ke dalam pemikiran tidak sehat, yang pada gilirannya tecermin dalam kehidupannya sehari -hari.
Kita adalah saksi atas fakta bahwa mayoritas orang emosional hanya duduk berdiam diri, seolah tangan mereka terikat. Mereka puas hanya dengan menangis dan mengeluh, tetapi tidak berbuat apa pun untuk mengatasi perasaan tidak suka terhadap situasi tersebut. Misalnya, datang berita bahwa seorang saudara mengalami kecelakaan; alih-alih berpikir pasti ada hikmah di balik itu, dan memutuskan bagaimana dia akan membantu, orang emosional biasanya menjadi pingsan dan mulai menangis. Dia tidak akan bertanya apa yang sudah dilakukan bagi si korban, apakah dokter sudah dipanggil atau apakah tersedia cukup obat. Dia tidak akan mencoba mengetahui apa yang bisa dia bantu, tetapi akan mencari cara menghibur diri seakan dialah yang memerlukan dukungan.
Atau, seseorang di dekatnya tiba-tiba jatuh sakit; alih-alih melakukan pertolongan pertama dan memanggil ambulan, dia akan mulai berlarian ke sana kemari mencipta-kan kepanikan dengan kebodohannya. Jika seseorang bertanya padanya apa yang terjadi, dia tidak akan bisa menjawab karena emosionalisme mencegahnya mengguna-kan akal, dan memisahkannya dari orang lain.
Atau, dia sendiri menderita sakit; dia tahu ada yang tidak beres dengan dirinya, tetapi jika dia pergi ke dokter, dia takut penyakitnya terbukti serius. Dia tidak mau menjadi sedih, karenanya dia tidak tertarik mendapatkan diagnosis akhir. Karena tidak mendapatkan perawatan yang seharus-nya bisa diperolehnya jika dia bertin-dak arif, dia kehilangan kesempatan disembuhkan dari sakitnya.
Kita dapat menggandakan contoh-contoh perilaku emosional yang tidak arif itu untuk menunjuk-kan bagaimana irasionalitas seperti itu membawa dampak sangat me-rusak, dan yang terkadang bisa men-jadi masalah hidup atau mati. Orang-orang ini begitu terganggu, melalui pengaruh setan, oleh segala hal yang mereka lihat terjadi di sekitar mereka, sehingga menjadi lemah, dan mereka sendiri akhirnya memerlukan bantu-an dan penenangan. Namun, jika me-reka menggunakan kearifan dan me-ngambil keputusan yang tepat dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, mereka pasti bisa menemukan solusi untuk masalah mereka.
Seperti yang bisa kita lihat, individu emosional bukanlah orang yang dapat menggunakan pikiran untuk menghasil-kan solusi permasalahan; mereka tidak bisa memimpin orang. Sebaliknya, karena mereka sendiri perlu dipimpin atau dijaga, mereka menjadi beban bagi orang lain. Sebagai contoh, jika orang emosional melihat seseorang dalam kesulitan, alih-alih menawarkan bantuan, dia akan berpikir untuk tidak melakukan apa pun kecuali mengeluh dan berkata "Oh, kasihan!", atau ungkapan iba lainnya. Dalam hal ini, kearifan sepenuhnya telah dikebelakangkan, dan meru-pakan suatu kesalahan mengharapkan manfaat positif dari orang seperti ini.
Di dalam Al Quran, Allah menunjukkan perbedaan antara orang demikian dengan orang-orang beriman.

   “Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki, yang seorang bisu tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Sama-kah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (QS. An-Nahl, 16: 76)

Orang-orang beriman tidak bereaksi atas segala hal menuruti emosi, tetapi dibimbing dengan kearifan, dan dalam setiap situasi, seperti disebutkan dalam ayat di atas, mereka "menyuruh berbuat keadilan", yaitu, mereka memastikan bahwa hal yang benar dan pantas telah dikerjakan. Karena mereka meyakini bahwa segala sesuatu yang mereka alami dalam hidup atas sepengetahuan Allah, dan selain dari apa yang dikehendaki Allah untuk mereka, mereka tidak berdaya melakukan apa pun. Jadi, mereka tidak pernah kehilangan ketenangan yang muncul dari kepatuhan dan keyakinan kepada Allah. Mereka tidak pernah bereaksi terburu-buru dan mereka tidak pernah menyerah pada pesimisme atau keputusasaan. Mereka tahu Allah membawakan kebaikan untuk mereka bahkan dari kemalangan.
Jika Anda ingin memberitahu seseorang tentang bahaya yang terkandung dalam sentimentalitas bagi kehidupan spiritualnya, dia tidak akan mendengarkan Anda; sejak semula dia akan menolak untuk mempertimbangkan kemungkinan itu. Pikiran orang emosional begitu tertutup terhadap setiap saran yang bertentangan sehingga dia merasa diperlakukan tidak adil, merasa tersinggung dan mulai menangis, atau marah dan menarik diri. Jadi, Anda tidak dapat mengkritisi orang emo-sional, apalagi membe-rikan saran atau nasihat.
Emosionalisme me-nyebabkan orang men-jadi mudah tersinggung. Akibatnya, orang-orang ini takut ada maksud ter-sembunyi dalam segala yang dikatakan kepada mereka; mereka mudah salah paham atau melebih-lebihkan. Kemudian, sebagai protes tanpa penjelasan apa pun, mereka berhenti berbicara, menarik diri dan merajuk seperti anak kecil. Karena mereka tidak mampu berpikir rasional, atau takut menghadapi realita, tidak mungkin bagi mereka untuk melakukan introspeksi, atau memperbaiki kesalahan diri me-reka. Seperti yang disebutkan tadi, orang-orang dengan kea-daan psikologis seperti ini menginterpretasikan setiap kata yang diucapkan kepada mereka sebagai ketidakadilan dan menjadi jengkel, sebagai akibatnya mereka putus asa dan menyendiri. Allah berfirman dalam Al Quran tentang orang yang memilih ketidakbahagiaan bagi dirinya seperti ini:

“Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir) akan men-jauhinya.” (QS. Al A'laa, 87: 10-11)

Dengan tidak menggunakan akal sehat dan mengikuti dikte emosinya, orang ini membiarkan kearifan semakin tertutup dari hari ke hari. Jika mereka tidak memperbaiki keadaan mereka, mereka tidak mungkin bisa menerima hakikat agama, atau menjalani kehidupan sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Orang emosional tanpa kearifan tidak memiliki penilaian sehat atau pikiran yang koheren dan stabil. Dalam hal yang jelas bagi orang beriman, orang emosional mendapati kontradiksi dan kebingungan. Dia bergulat dengan kekhawatiran. Orang emosional tidak bisa memahami Al Quran, yang merupakan petunjuk bagi orang-orang arif; dia tidak bisa menerima nasihat darinya. Dia tidak dapat mempertimbangkan Allah menurut pertimbangan sejati dan memahami kearifan yang tersirat di balik apa yang terjadi di alam semesta; dia tidak dapat memahami alasan-alasan untuk keberadaan dunia, surga dan neraka. Dia tidak mengetahui apa artinya berkata tiada tuhan selain Allah. Setiap ide dalam benak orang seperti ini, setiap pikiran, perhatian dan tujuannya, setiap perbuatannya, menuntun-nya dari satu perbuatan musyrik ke perbuatan musyrik lainnya.
Ini adalah salah satu metode yang digunakan setan untuk menyesatkan manusia dari jalah Allah. Di dalam Al Quran, Allah memperingatkan bahwa setan akan menggunakan segala cara untuk menjerumuskan manusia ke dalam neraka:

“Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untukku), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan nenyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS. An-Nisaa', 4: 118-120)

   Orang yang memahami ayat-ayat ini tidak membiarkan setan menuntunnya ke dalam angan-angan. Dia tidak terjebak dalam emosi, tetapi menggunakan kearifannya untuk melihat realita dengan jernih, dan kemudian bertindak tepat sesuai dengan apa yang dia lihat. Yang bagi orang dengan pikiran tertutup emosi merupakan kebingungan, kontradiksi dan kesulitan, bagi orang beriman merupakan sesuatu yang jelas, terang dan sederhana. Di lain pihak, mereka yang telah jatuh diperbudak sentimentalitas, mengantarkan diri mereka pada keinginan dan gagasan setan, dan terus dituntun menuju kesengsaraan abadi melalui lumpur suram kemusyrikan.