“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al Baqarah, 2: 165)
Sebelum kita berbicara tentang gagasan cinta romantik, ada baiknya mengingatkan diri kita tentang pemahaman sejati orang beriman akan cinta. Orang yang mempunyai hati nurani dan keimanan mengetahui bahwa keimanannya hanya ditujukan kepada Allah, dan dia harus mendekati-Nya dengan hati penuh cinta. Bagaimanapun, Allah menciptakannya dari ketiadaan dan memberinya jasad, pikiran, hati nurani, keimanan dan segala sesuatu yang dia miliki. Allah sudah memenuhi setiap kebutuhannya dan terus berbuat begitu. Dia telah menciptakan semua nikmat dunia ini untuknya. Di samping itu, apabila orang beriman berserah diri dalam kepatuhannya, Allah menggembirakannya dengan janji mendapatkan kebahagian abadi, dan nikmat cinta-Nya yang tiada akhir. Semua ini diberikan cuma-cuma karena kasih dan sayang-Nya. Oleh karena itu, sebenarnya, hanya Allah lah yang pantas dicintai di atas segalanya. Allah memperingatkan orang-orang beriman tentang hal ini dalam Al Quran, melalui firman-Nya, "dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap" (QS. Al Insyirah, 94: 8).
Cinta yang dirasakan orang-orang kepada sesamanya harus bersumber pada Allah. Orang yang mencintai Allah merasakan kasih sayang kepada mereka yang patuh kepada-Nya. Inilah cinta yang nyata, dirasakan karena sifat-sifat Allah yang terwujud dalam orang-orang ini.
Pembenaran lain bagi perasaan cinta adalah minat dan ketertarikan yang kita rasakan terhadap sifat mulia dalam diri sang kekasih. Ketika minat dan ketertarikan itu dibalas dengan respons yang sama dari orang tersebut, maka hubungan ini menjadi ikatan cinta yang kuat. Namun, apa yang penting di sini adalah menemukan sumber sejati dari sifat superior ini, dan memfokuskan minat, ketertarikan dan cinta kepada Dzat tersebut. Dan Dzat itu adalah Allah, yang merupakan sumber dari semua keindahan dan setiap sifat istimewa, dan sifat superior yang diberikan kepada mahluk-mahluk-Nya hanyalah refleksi samar dari sifat-sifat abadi yang menjadi milik-Nya. Hamba-hamba Allah mungkin mewujudkan atau mencerminkan sifat-sifat ini untuk sementara saja.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa cinta yang dirasakan hanyalah untuk Allah. Cinta yang ditujukan kepada objek yang mencerminkan sifat-sifat-Nya harus dipupuk hanya atas nama-Nya, dan dengan Dia berada di dalam hati dan pikiran seseorang. Salah satu tanda yang paling pasti bahwa seseorang memuja mahluk-mahluk-Nya, apabila dia menganggap seseorang atau sesuatu mempunyai eksistensi dan potensi di sisi Allah, dan mencintai orang atau benda itu sebagaimana seharusnya dia mencintai Allah.
Banyak jenis kemusyrikan dilakukan dalam masyarakat yang muncul karena memelihara cinta yang salah dan tidak sah. Contoh-contoh bentuk cinta yang tidak sah dan sesat adalah, seseorang yang memuja ayah, putra, istri, keluarga atau nenek moyang melebihi cintanya kepada Allah.
Dalam ayat berikut ini, Nabi Ibrahim menjelaskan bagaimana para penyembah berhala saling mengemukakan rasa cinta dan peng-hormatan, dengan mengabaikan Allah dan menyembah berhala.
“Dan berkata Ibrahim: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.” (QS. Al 'Ankabuut, 29: 25)
Jadi, Al Quran memberitahukan kita bagaimana ikatan-ikatan cinta ini akhirnya berubah menjadi kebencian dan pengkhianatan pada Hari Perhitungan. Alasannya adalah, ketika orang-orang membentuk ikatan cinta atau pemujaan berlebihan di antara mereka sendiri, berarti mereka menjadikan sesamanya sebagai tuhan-tuhan, yang hanya menjerumuskan mereka ke dalam siksaan. Bagi mereka yang mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, tidak ada kemungkinan menempat-kan orang atau benda lain setingkat dengan Allah, atau mencintai benda atau orang itu lebih dari-Nya. Kaum musyrik melakukan sebaliknya, seperti yang dibahas dalam ayat berikut:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagai-mana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al Baqarah, 2: 165)
Pada ayat tersebut, dijelaskan kepada kita bagaimana orang beriman mencintai Allah. Dengan demikian, tidak mungkin dikatakan seseorang itu beriman jika dia memuja seseorang atau sesuatu lebih kuat daripada dia mencintai Allah. Jika seseorang mengaku sebaliknya, jelas bahwa dia tidak ikhlas, atau dia tidak memahami Allah dan agama-Nya sebagaimana mestinya. Akhir ayat ini memperjelas bahwa mereka yang beribadah kepada selain Allah memiliki persepsi yang salah dan tidak utuh terhadap Allah.
Karena orang-orang seperti itu tidak bisa menilai Allah sebagai-mana harusnya (QS. Az-Zumar, 39: 64-65), mereka mengarahkan perasaan cinta mereka, baik kepada diri sendiri, atau orang lain; bapak-bapak, putra-putra, saudara-saudari, istri-istri, suami-suami, teman-teman perempuan, teman-terman laki-laki, dan orang-orang yang mereka anggap sebagai contoh atau yang membuat mereka terpikat. Daftar itu bisa sangat panjang. Sebagian orang bahkan mengarahkan perasaan cinta mereka kepada benda-benda tidak bernyawa, atau konsep-konsep abstrak. Mereka mungkin pula memuja benda-benda seperti uang, properti, rumah, mobil atau konsep kesempurnaan palsu seperti jabatan, pangkat dan kekuasaan. Pendeknya, cinta yang tidak dibimbing dengan keimanan, merupakan bagian dari dosa kemusy-rikan atau menuhankan sesuatu selain Allah. Karena cinta ini tidak diarahkan dengan arif kepada Allah, maka ia merupakan cinta romantik. Di dalam Al Quran, Allah berfirman bahwa jenis cinta ini tidak akan membawa manfaat, dan bahwa keuntungan sebenarnya hanya ditemukan dalam pandangan-Nya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali 'Imran, 3: 14)
Kita harus mencintai semua itu sebagai mahluk-mahluk Allah, dan menyadari bahwa Dia melimpahkan semua itu kepada kita sebagai rahmat semata. Cinta manusia adalah perasaan sangat indah yang telah diciptakan Allah. Di dalam Al Quran, difirmankan, bahwa Allah menciptakan manusia dalam "bentuk yang terbaik". Karena itu, orang beriman perlu memelihara cinta batinnya bagi mereka yang layak mendapatkannya; yaitu orang-orang yang patuh kepada Allah dan mempunyai karakter yang baik. Cinta sejati yang dirasakan orang beriman tidak bisa dibandingkan dengan jenis cinta yang umum di dalam masyarakat tidak beragama; cintanya merupakan perasaan yang mendalam dan luhur.
Pada halaman-halaman berikut, kita akan mengamati orang-orang yang tidak bisa merasakan perasaan luhur, yang merupakan berkah Allah ini, dan memusatkan perhatian kita pada hubungan antara pria dan wanita, di mana cinta cenderung menimbulkan "kemusyrikan" yang paling sering dijumpai..
Cinta Buta antara Pria
dan Wanita
Dalam hubungan antara pria dan wanita, pembentukan ikatan di antara keduanya, di luar yang diridhai Allah, merupakan salah satu faktor paling kritis yang menuntun pada "kemusyrikan". Ikatan itu bisa berupa pernikahan, atau "hidup bersama", yang sudah diterima semakin luas.
Dalam cinta dengan pemahaman romantik ini, "dua sejoli" menunjukkan kepada satu sama lain semua kewajiban yang seharusnya ditujukan kepada Allah, dan mereka menunjukkan kepada satu sama lain perasaan yang seharusnya diberikan kepada Allah, seolah-olah mereka memiliki eksistensi terpisah dari-Nya. Individu-individu ini, alih-alih mengingat Allah, hanya memikirkan satu sama lain. Ketika mereka membuka mata di pagi hari, alih-alih bersyukur kepada sang Pencipta untuk hari baru itu, mereka saling memikirkan, mencari cara untuk menyenangkan satu sama lain, bukan menye-nangkan Allah. Mereka mau mengorbankan diri bagi satu sama lain, tetapi tidak bagi Allah.
Singkatnya, masing-masing menuhankan yang lainnya. Demikian pula, ketika kita memperhatikan pelbagai contoh tentang pemahaman cinta yang menyimpang ini, yang telah meluas di seluruh dunia, kita akan menemukan bahwa pria dan wanita romantik dengan terbuka saling mengatakan, "Aku memujamu," "Ke mana pun aku pergi, aku selalu memikirkanmu," dan pernyataan-pernyataan lain sejenisnya. Namun, sebenarnya ke mana pun seseorang melihat, dan ke mana pun dia pergi, satu-satunya Dzat yang pantas dipuja adalah Allah, Tuhan Semesta Alam.
Seperti yang telah kita kaji, cinta romantik tampaknya menjadi jenis cinta tanpa dosa, padahal ia sejenis "kemusyrikan", yang sangat tercela dalam pandangan Allah. Namun, setan membutakan orang-orang dari kebenaran, dan begitu pula dalam masalah ini, dia lagi-lagi membe-lokkan kebenaran untuk membuatnya tampak menyenangkan, dan membuat orang-orang mengikuti jalan yang ditunjukannya kepada mereka:
“Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi setan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka setan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih.” (QS. An-Nahl, 16: 63)
“Dan (juga) kaum 'Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Dan setan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam.” (QS. Al 'Ankabuut, 29: 38)
Al Quran meminta perhatian khusus pada nafsu menyimpang yang dirasakan bagi seorang wanita dalam jenis cinta romantik ini. Penerima cinta ini bisa jadi wanita mana pun: istri, kekasih, bahkan, cinta "platonik" jarak jauh. Jika cinta jenis ini mencegah seseorang dari mengingat Allah sebagaimana seharusnya, atau membuatnya lebih memilih kekasihnya dalam hati daripada Allah, berarti cinta sudah menuntun orang itu ke dalam kemusyrikan. Tentu saja, ancaman ini berlaku bukan hanya bagi laki-laki, melainkan juga wanita.
Orang-orang yang hidup terperangkap dalam hubungan romantis pria-wanita ini, sering tidak menyadari bahaya yang dimasukinya. Disebabkan kenyataan bahwa sejak masa kanak-kanak mereka telah mengikuti petunjuk dari masyarakat yang salah arah, tanpa mengetahui bahwa Al-Quran adalah satu-satunya pembimbing mereka ke jalan yang benar, maka mereka benar-benar tidak menyadari bahwa jalan hidup yang mereka tempuh adalah jalan yang salah dalam pandangan Allah. Karena mereka menjalani kehidupan tanpa kesadaran akan Allah, mereka menjadi terjebak di dalam lumpur kebodohan, walaupun, seperti yang disebutkan sebelumnya, mereka meyakini jalan mereka benar. Namun, karena mereka tidak mempunyai keimanan kepada Allah, kearifan dan pemahaman mereka menjadi buta.
Terperangkap dalam cinta tanpa akal, pria dan wanita, yang memuja satu sama lain, terkadang dituntun merusak diri-sendiri. Misalnya, sepasang remaja yang saling mencintai bisa teperdaya hingga mencari kesenangan dengan bunuh diri. Apabila keadaan tidak mengizinkan keduanya bersatu, mereka akan meloncat dari jembatan sambil berpegangan tangan dengan maksud melanggengkan cinta mereka, atau agar "jiwa mereka bisa bersatu selama-lamanya," atau motif-motif irasional lainnya. Namun, dalam melakukan perbuatan seperti itu, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya mereka melemparkan diri sendiri ke dalam rahang neraka. Dalam melakukan perbuatan terlarang seperti itu, tanpa melihat kesalahan di dalamnya, mereka yakin akan disatukan lagi bukan dengan Allah tetapi dengan satu sama lain setelah kematian. Mereka baru sadar ketika mereka melihat Malaikat Maut pada saat-saat terakhir, tetapi itu sudah terlambat. Kita bisa membaca berita koran tentang surat-surat menyedihkan yang ditinggalkan orang-orang yang bunuh diri karena cinta tidak terbalas. Ini adalah contoh nyata bagaimana romantisisme bisa sepenuhnya menutupi pikiran dan hati nurani.
Namun, ketika kain penutup mata disingkirkan, dan orang itu melihat bahwa ancaman siksaan abadi itu nyata, akhirnya dia akan mencoba menyelamatkan diri sendiri dengan menawarkan tebusan berupa kekasihnya yang secara buta telah dipuja dan dituhankannya di bawah pengaruh romantisisme. Apa yang akan dilakukan oleh orang-orang ini digambarkan dalam ayat Al Quran sebagai berikut:
“Sedang mereka saling melihat. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya, dan istrinya dan saudaranya, dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia). Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya.” (QS. Al Ma'aarij, 70: 11-14)
Situasi yang sama digambarkan dalam ayat lain:
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. 'Abasa, 80: 34-37)
Jenis cinta romantis yang menuju kemusyrikan telah diterima dalam masyarakat sebagai "tanpa dosa", seperti "romans murni" dan "perasaan sejati"; bahkan sering dipuji dan didukung. Pada usia mudalah biasanya orang-orang terjerumus ke dalam pengaruh romantisisme, yang mencegah pengembangan pikiran dan hati nurani mereka, serta membiarkan diri mereka tidak mengenal agama, keimanan, dan tujuan penciptaan. Mereka sudah melupakan Allah, dan tidak tahu apa pun tentang cinta atau takwa kepada-Nya. Kemudian kemusyrikan menjadi umum dilakukan oleh generasi salah asuhan ini.
Televisi dan film-film sering memaksakan tokoh-tokoh romantis dan emosional pada para penonton. Mereka berkeras menyatakan bahwa sentimentalitas hanyalah kecenderungan alamiah pada manusia. Romans merupakan salah satu tema musik, puisi, dan sastra yang paling konsisten dan mudah dipasarkan. Setan tahu benar bahwa sentimentalitas adalah penyakit yang mencegah orang-orang berpikir lurus, mengenal realita, memikirkan Allah, dan merenungkan tujuan-tujuan penciptaan dan akhirat, dan bahwa sentimentalitas menjauhkan orang-orang dari mempraktikkan agama, dan akhirnya membawa mereka ke dalam kemusyrikan. Karena itu, setan terus berusaha menyesatkan masyarakat pada setiap kesempatan dengan memborbardirkan tema-tema sentimental secara konstan dan intensif.
Jadi, mereka yang berpikiran bahwa kemusyrikan hanya merujuk pada penyembahan tuhan-tuhan palsu, atau patung-patung batu atau kayu, sebaiknya berhati-hati agar tidak menganggap dirinya kebal dari masalah ini, atau menjadi salah seorang dari mereka yang akan berkata pada hari akhir, "Demi Allah, Tuhan kami, Kami bukan orang Musyrik." (QS. Al An'aam, 6: 23)
Cinta Orang Beriman
Singkatnya, mengarahkan perasaan cinta kepada se-seorang selain kepada Allah, atau kepada ciptaan-Nya, adalah penyebab utama "kemusyrikan". Sedangkan bagi orang-orang beriman, seperti disebutkan di awal, mereka hanya memuja Allah, walaupun mereka menyadari bahwa pada saudara-saudara seiman, dan pada ciptaan, ada penjelmaan dari sifat-sifat-Nya. Mereka mencintai hanya demi Allah. Mereka tidak mencintai sesuatu secara terpisah dari-Nya. Nabi Muhammad SAW juga memberikan penekanan dalam hal ini dan bersabda, "Barang siapa di antara pengikutku meninggal dunia tanpa beribadah kepada selain Allah akan masuk surga."15 Ini merupakan bukti sekaligus kondisi keimanan yang diharuskan.
Cinta orang beriman suci dan bening laksana cahaya, dan menciptakan penerangan dalam hati, karena objek cinta sejatinya adalah Allah. Karena alasan itu, orang beriman tidak berduka cita berlebihan atas kematian seseorang yang dicintainya, karena sifat-sifatnya merupakan refleksi sifat Allah, atau merasa kecewa ketika dia kehilangan sesuatu miliknya yang paling disukai. Dia tahu bahwa pemilik semua benda material dan spiritual dalam objek cinta, sebagaimana keindahan yang ditemukan di dalamnya, adalah Allah. Allah itu tidak akan mati, tidak rusak, tidak berbatas waktu dan abadi, dan yang terpenting, Dia lebih dekat pada orang beriman daripada nadi di lehernya sendiri. Oleh karena itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena Allah, untuk menguji hamba-Nya, terkadang mengambil kembali sesuatu yang telah Dia berikan. Jika dia tetap dalam keimanan dan pemahaman yang benar, apa pun yang diinginkannya di dunia ini atau nanti, akan diberikan kepadanya dalam jumlah berlimpah sebagai manifestasi Allah yang indah.
Maka, tidak ada situasi yang akan membuat orang beriman berduka cita, atau bersedih, karena dia sudah menggenggam rahasia ini dan mencapai keimanan murni. Allah menjelaskan keadaan spiritual orang beriman dalam firmannya berikut ini:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekha-watiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.” (QS. Al Ahqaaf, 46: 13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar