“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula) mereka berduka cita.” (QS. Az-Zumar, 39: 61)
Sentimentalitas adalah salah satu cacat karakter yang paling umum pada orang-orang yang mengadopsi cara hidup dan moralitas bertentangan dengan agama. Namun sentimentalitas bukan karakter bawaan lahir seseorang yang tidak bisa diubah, sebagaimana anggapan umumnya.
Kondisi spiritual adalah salah satu kondisi yang diambil seseorang baik secara sadar maupun tidak sadar. Mereka yang mengklaim bahwa introversi, kesedihan, melankoli, dan sifat mudah marah, tidak bisa dikendalikan dengan keinginan, akan mendapati, setelah renungan jujur, bahwa pendapat mereka itu tidak mungkin dipertahankan. Sebagai contoh, jika seorang melankoli ditawari uang banyak, atau sesuatu yang bernilai, dia mungkin segera merasa sangat gembira, ini menjadi bukti nyata bahwa jika mau, dia dapat dengan sangat mudah meninggalkan sikap putus asanya. Maka jelaslah bahwa sikap sentimental seseorang hanya menunjukkan kurangnya pertimbangan bagi orang-orang di sekitarnya, dan contoh khas seseorang yang menyakiti diri sendiri, seperti yang dikatakan Al Quran:
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” (QS. Yunus, 10: 44)
Namun, orang-orang sentimental tidak bisa memahami realitas, karena mereka terus-menerus berada dalam keadaan pikiran melankolik dan tidak berdaya. Apa pun yang terjadi, mereka akan selalu menemukan alasan untuk merasa sedih dan cemas. Sebenarnya, orang-orang ini menyakiti diri sendiri. Kenyataan ini diungkap dalam Al Quran sebagai berikut:
“Dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. Dan apabila mereka ditimpa sesuatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa.” (QS. Ar-Ruum, 30: 36)
Bagi orang seperti ini agar dapat melepaskan diri dari pikiran romantik, dan disembuhkan dari penyakit ini, dia harus waspada, dengan kesadaran penuh, terhadap janji-janji palsu setan dan tipu dayanya. Dan hanya keimanan seseorang yang memungkinkan hal ini.
Seorang beriman sejati akan mendapati bahwa kelemahan romantisisme tidak pantas bagi dirinya. Dia akan berperilaku rasional, membuat solusi atas masalahnya, dan menjadikan dirinya teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Lagipula, karena perilaku moral dan pembicaraannya yang baik, secara alami dia merasa puas. Kecerahan dan cahaya yang memancar dari perilakunya yang baik akan membuat orang-orang merasa gembira dan bahagia, dalam keadaan paling sulit sekalipun. Perilaku demikian akan meneratas jalan menuju kehidupan yang indah, damai dan mulia di dunia ini, serta kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kedamaian di akhirat kelak. Oleh karena itu, bagi orang beriman, yang mempunyai perilaku dan keadaan pikiran diridhai Allah, tidak ada alasan untuk bersedih dan cemas; tidak ada apa pun yang bisa menuntunnya ke dalam pesimisme. Allah mengung-kapkannya seperti ini:
“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula) mereka berduka cita.” (QS. Az-Zumar, 39: 61)
Lagipula, bagi orang beriman, kegembiraan, kebahagiaan, kedamaian, keamanan hanyalah refleksi dunia atas kondisi kehidupan di surga. Kesenangan-kesenangan ini dimulai di dunia ini; dan ketika mereka yang berharap kepada Allah akhirnya mendapatkan surga, mereka akan mendapati bahwa kesenangan-kesenangan itu akan tetap abadi. Al Quran menggambarkan kedamaian yang dinikmati oleh orang-orang beriman di kehidupan akhirat:
“Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.” (QS. Al Insaan, 76: 11)
Dalam ayat lain, Allah mengemukakan perbedaan antara orang beriman dan orang tidak beriman pada hari kiamat:
“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS. ‘Abasa, 80: 38-42)
Orang-orang tidak beriman, di akhirat, akan berhadapan dengan kenyataan kehidupan neraka, yang diusahakannya di dunia ini dengan menyerah pada godaan setan - suatu kehidupan yang abadi, tetapi dengan intensitas jauh lebih besar. Di lain pihak, kebahagiaan orang-orang beriman yang dinikmati di surga akan berlangsung abadi tanpa jeda.
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS. Huud, 11: 105-108)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar