“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu'min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Fath, 48: 26)
Umumnya, romantisisme dipahami sebagai roman (percintaan) atau gerakan Romantik pada abad ke-19, tetapi selain bentuk-bentuk ini, romantisisme juga terkait erat dengan sentimen-sentimen politik tertentu. Terdepan di antaranya adalah "nasionalisme romantik", yang muncul pada akhir abad ke-19, dan menimbulkan pengaruh besar di dunia sampai pertengahan abad ke-20.
Pertama-tama, harus dinyatakan dengan jelas bahwa kritik kami bukan terhadap nasionalisme itu sendiri, me-lainkan terhadap "nasionalisme romantik". Terdapat per-bedaan besar antara keduanya.
Fanatisme
Nasionalisme, dalam pengertian paling umum, merujuk pada cinta individu kepada bangsa dan negaranya. Cinta ini baik dan sepenuhnya sentimen yang sah. Karena ia tidak bertentangan dengan agama, tidak memiliki efek merusak bagi kemanusiaan. Sebagaimana cinta individu kepada ibu dan bapaknya adalah perasaan yang sah, demikian pula cinta kepada bangsa yang memupuknya dalam keyakinan dan budaya yang umum.
Sentimen nasionalistis menjadi tidak sah apabila semua itu menjadi irasional atau fanatis. Misalnya, jika seseorang, karena cinta kepada negaranya, tanpa alasan mulai mempunyai perasaan bermusuhan terhadap bangsa lain, atau menginjak-injak hak bangsa dan rakyat lain demi kepentingan diri sendiri, jika dia merampas tanah air atau mengambil alih hak milik mereka, maka dia sudah melewati batas-batas sah. Atau apabila dia membiarkan rasa cinta kepada bangsanya berubah menjadi rasisme, yaitu, ketika dia mengklaim bahwa bangsanya lebih tinggi dari lainnya, berarti dia sudah mengambil pandangan yang irasional.
Allah mengarahkan perhatian kita pada nasionalisme irasional ini di dalam AlQuran. Apa yang digambarkan dalam ayat-ayat berikut ini sebagai "kesombongan" atau "fanatisme", merupakan karakteristik masyarakat yang jauh dari agama.
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Fath, 48: 26)
Selain membicarakan "fanatisme", ayat di atas juga membicarakan ketenangan yang dilimpahkan Allah kepada siapa saja yang beriman kepada-Nya. Pendekatan ini menunjukkan fakta bahwa jika seseorang yang mencintai keluarga, golongan atau masyarakatnya, menebar kebencian atau agresi terhadap orang lain sebagai dampak cinta tersebut, maka perilakunya menyimpang. Sebaliknya, Allah meng-hendaki hamba-hamba-Nya menikmati perdamaian, ketenangan, dan keamanan; dengan kata lain, keadaan spiritualnya yang dikehendaki Allah bagi hamba-hamba-Nya adalah keadaan spiritual yang mengutamakan akal sehat.
"Fanatisme" tidak memungkinkan kondisi yang diharapkan tersebut, tetapi justru mengadu satu kelompok dengan kelompok lainnya, hanya karena perbedaan bahasa, warna kulit, etnis, atau golongan.
Allah sudah menggambarkan "fanatisme" ini 1400 tahun lalu di dalam Al Quran, dan sekarang masih dapat disaksikan dampaknya di setiap belahan dunia. Ada orang di Afrika yang mencekik orang lain sampai mati hanya karena mereka berbeda suku. Di Eropa, pertandingan sepakbola menjadi perang bersenjata ketika "para hooligan" memukul suporter tim lawan sampai nyaris mati, hanya karena mereka berada pada pihak berseberangan. Di dunia Barat, ada organisasi-organisasi yang bertujuan tunggal untuk mengobarkan kebencian terhadap orang-orang Afrika, Yahudi, Turki dan kaum minoritas lainnya, bahkan sampai menjadikan mereka sasaran serangan teroris.
Pengaruh "fanatisme" tidak hanya menjangkiti golongan rendah, tetapi juga masyarakat kalangan atas. Banyak negara mengeksploitasi perselisihan perbatasan yang sederhana menjadi alasan untuk melakukan agresi terbuka. Untuk memuaskan nafsu berperangnya, mereka melemparkan negara sendiri ke kancah peperangan, terus bersikukuh dalam agresi mereka selama bertahun-tahun, menjerumus-kan bukan hanya rakyat negara musuh, tetapi juga rakyat mereka sendiri dalam penderitaan. Para penguasa yang membuat keputusan demikian sedang dirundung dengan apa yang disebut sebagai "fanatisme". Seperti dijelaskan pada ayat di atas, dia yang "menanam-kan dalam hatinya kesombongan/fanatisme" hidup dalam kebodohan.
Termasuk dalam jajaran orang-orang bodoh ini, adalah mereka yang menyebabkan dua bencana terbesar pada abad ke-20: Perang Dunia Pertama dan Kedua. Digerakkan oleh gagasan-gagasan palsu seperti "Semangat Jerman", "Kebanggaan Inggris", dan "Keberanian Rusia", mereka menyebabkan bangsa sendiri, juga seluruh dunia, menjadi sangat menderita, menumpahkan darah 65 juta orang, dan menyisakan puluhan juta orang cacat, menjadi janda dan yatim.
Akar permasalahan yang menyebabkan bencana ini adalah "fanatisme". Sekarang kita merujuknya sebagai "nasionalisme romantik".
Kelahiran Nasionalisme Romantik
Nasionalisme sebagai sebuah gagasan menyebar ke seluruh Eropa pada abad ke18. Sebelum itu, rakyat hidup di bawah kekuasaan tuan-tuan tanah. Kemudian, mereka bersatu di bawah negara-bangsa tunggal yang diatur oleh sebuah pemerintahan pusat. Bangsa-bangsa Eropa seperti Prancis dan Inggris termasuk yang pertama mendukung gagasan nasionalisme dan menjadi negara. Menjelang abad ke-19, kebanyakan bangsa Eropa telah mencapai persatuan nasional.
Hanya dua bangsa yang tidak ikut serta dalam perkembangan ini: Jerman dan Itali. Di kedua bangsa ini, kekuasaan bangsawan atau negara-kota kecil bertahan lebih lama. Itali baru membentuk negara pada tahun 1870, dan Jerman setahun kemudian, tahun 1871. Dengan kata lain, kedua bangsa ini lebih lambat dari bangsa-bangsa Eropa lainnya dalam mengadopsi dan menerapkan gagasan nasionalisme.
Akan tetapi, situasi khusus ini menjadi penyebab berkembangnya nasionalisme yang lebih radikal di kedua negara ini dibandingkan dengan di negara Eropa lainnya. Menurut pendapat umum para ilmuwan sosial, di kedua negara ini, alasan kelahiran dan pencapaian kekuasaan nasionalisme bentuk ekstrem, Naziisme dan Fasisme, adalah karena meluasnya sentimen-sentimen nasionalistik yang fanatis berkaitan dengan formasi persatuan nasional yang terlambat.
Di kedua negara ini, dan khususnya di Jerman, orang-orang yang memajukan gagasan nasionalisme fanatis dikenal sebagai kaum "nasionalis romantik". Ciri dasar yang menjadi sifat kaum nasionalis romantik adalah pengagungan perasaan di atas kerusakan akal sehat, kepercayaan mereka bahwa bangsanya diberkahi dengan "ruh" mistis dan misterius, dan bahwa ruh ini membuat bangsa mereka lebih unggul daripada lainnya. Menjelang akhir abad ke-19, nasionalisme romantik dipenga-ruhi oleh teori-teori rasis yang kemudian diterima luas, dan menum-buhkan klaim bahwa ras Eropa lebih unggul daripada ras-ras lainnya di dunia, sehingga, mempunyai hak untuk menguasai mereka.
Nasionalisme romantik menyebar cepat, sekali lagi, khususnya di Jerman, selama dua dekade pertama abad ke-19. Penulis seperti Paul Lagarde dan Julius Langbehn mendukung gagasan tentang urutan hirarki dunia, dan Jermanlah yang menentukannya. Mereka menya-takan bahwa ini bisa dicapai karena superioritas "ruh Jerman" dan "darah Jerman", dan untuk tujuan ini, Jerman harus berpaling dari agama-agama monoteistik, seperti kristiani, dan kembali ke paganisme masa lalu mereka.
Pertumbuhan masyarakat mistis (takhayul) di Jerman memainkan peranan penting dalam penyebaran nasionalisme romantik dalam periode ini. Pandangan dunia masyarakat ini terdiri dari beberapa gagasan dangkal, semacam ini: manusia dapat mencapai kebenaran bukan dengan akal sehat melainkan melalui perasaan dan nalurinya; setiap bangsa mempunya "ruh"; ruh bangsa Jerman adalah ruh pagan. Masyarakat ini telah mempersiapkan landasan bagi bangkitnya Hitler dan Naziisme. Sejarawan Inggris, Michael Howard, menulis bahwa "bangkitnya gerakan nasionalisme Jerman Raya yang memperoleh kekuatan spiritualnya dari kepercayaan takhayul dan ideologinya yang bersumber dari falsafah masyarakat rahasia yang hanya dipahami kalangan tertentu .. membentuk… doktrin-doktrin rasialis ekstrem, yang pada tahun 1920 melahirkan Sosialisme Nasional".1
Tak diragukan lagi, satu-satunya kontribusi nasionalisme romantik bagi kemanusiaan hanyalah mempersiapkan pondasi bagi Naziisme, salah satu rezim paling brutal dan berdarah sepanjang sejarah.
Skizofrenia Nasionalisme Romantik
Karena kaum nasionalis romantik meyakini bahwa mereka akan menemukan kebenaran melalui "perasaan dan instuisi", dan tidak melalui akal sehat, mereka mengambil pandangan dunia yang paling membingungkan, yang merefleksikan kondisi spiritual mereka yang miskin. Profesor ilmu sejarah Amerika, Gerhard Rempel, dalam artikelnya yang berjudul "Reformasi, Kebe-basan dan Romantisisme di Prussia", menggambarkan kea-daan spiritual kaum nasionalis romantik dengan kata-kata berikut:
Kaum romantis berusaha lari ke dalam fantasi, sentimen-talitas, dan alegori. Secara spiritual mereka bermain-main dengan kematian, dengan meditasi, dengan kemurungan, dengan kedalaman malam yang kelam. Novalis [seorang pelopor romantisisme Jerman] mengatakan: "Kehidupan adalah penyakit ruh." Apa yang kita lihat di sini adalah permulaan pesimisme estetis… Romantisisme telah membuka kekuatan ruh manusia irasional yang lebih dalam… Novalis percaya bahwa semua dunia dan zaman dapat disatukan dengan keajaiban imajinasi… Melalui literatur patriotik tentang perang pembebasan, "tarian jiwa" ini mencapai masyarakat luas.
Kaum romantisis Jerman mengembangkan pratik estetis-isme yang merupakan penolakan langsung terhadap akal sehat dan sebuah usaha untuk memahami kesatuan dan kesegeraan dalam satu tindakan instan. Dalam teori ini, gambaran puitis adalah mutlak nyata.2
Pondasi nasionalisme romantik didasarkan pada "perasaan". Ideologi yang imajinatif ini menghasilkan individu-individu yang terlepas dari realita, tersesat dalam kebingungan pikirannya sendiri. Romantisisme, dengan memperbudak orang-orang terhadap perasaannya, membimbing mereka untuk putus hubungan dengan realita, dan dalam hal ini, bisa disamakan dengan penyakit kejiwaan skizofrenia. (Mereka yang menderita skizofrenia sepenuhnya terputus dari kenyataan dan hidup dalam dunia yang diciptakan imajinasi mereka sendiri).
Penyakit skizofrenia merupakan analogi yang tepat bagi keadaan spiritual nasionalisme romantik. Nasionalisme romantik didasarkan pada sejumlah gagasan keliru, yang menonjol di antaranya adalah ide "darah" dan "tanah air", yang kemudian diidolakan dan menjadi obsesi untuk diikuti secara membabibuta. Pada awal abad ke-20, di Jerman, gagasan "Blut and Boden" (Darah dan Tanah Air) mencapai momentumnya. Menurut gagasan ini, darah Jerman dan tanah air Jerman itu suci, dan kaum minoritas dalam negara itu yang bukan ras Jerman, dianggap mengotori darah Jerman dan menodai tanah air Jerman. Arus pemikiran ini memberikan pengaruh besar pada ideologi Nazi, yang memandang penumpahan darah sebagai bagian dari perang suci. Menyusul percobaan kudeta yang gagal pada tahun 1923, Hitler mengambil bendera partai yang bernoda darah Nazi dan nyaris mengubahnya menjadi sembahan yang dipuja-puja. Bendera ini kemudian dikenal sebagai "Blutfahne" (Bendera Darah). Bendera ini dipertahankan sebagaimana adanya dan menjadi simbol paling suci dalam setiap pertemuan Nazi. Apabila bendera-bendera lain yang baru disentuhkan padanya, maka ia akan memindahkan kualitas sakralnya.3
Pertumpahan Darah dalam
Nasionalisme Romantik
Sikap yang menganggap darah dan pertumpahan darah merupakan hal yang suci telah menjadi penyebab konflik paling berdarah yang pernah terjadi dalam sejarah manusia. Perang Dunia Pertama dan Kedua hanyalah perselisihan antar kaum nasionalis romantik. Arus nasionalisme romantik terlihat paling jelas di Jerman, tetapi pada periode yang sama pengaruhnya juga meluas pada masyarakat Inggris, Prancis, dan Rusia, dan ia bertanggungjawab sebagai penyeret negara-negara tersebut dalam peperangan. Ia mengipas-ngipasi permasalahan yang sebetulnya bisa diatasi melalui diplomasi sehingga berkobar, dan akhirnya menyebabkan terjadinya pembataian jutaan umat manusia di dunia.
Untuk memahami efek nasionalisme romantik, kita perlu mempelajari perkembangan Perang Dunia Pertama. Walaupun banyak negara terlibat dalam perang itu, hanya beberapa saja yang memainkan peran penting. Di satu pihak adalah Inggris, Prancis, dan Rusia; di lain pihak, Jerman dan Kekaisaran Austria-Hungaria. Pada permulaan perang, semua jendral mempunyai strategi yang sama: melalui serangan dahsyat, pasukan musuh bisa dipecah-belah dan dipukul mundur dan dalam beberapa minggu, kemenangan akan diperoleh. Namun, perang itu tidak memberikan kemenangan kepada siapa pun.
Pada tahun 1914, Jerman tiba-tiba menginvasi Prancis dan Belgia. Setelah pendobrakan awal, pasukan pun dikerahkan ke medan peperangan, serangan garis depan diatur, dan hampir selama tiga setengah tahun daerah yang ditaklukkan tidak bertambah. Kedua pihak terus saling menyerang dengan harapan menghancurkan musuh, tetapi situasi tidak berubah. Pada Pertempuran Verdun yang terkenal, yang diawali dengan serangan Jerman, 315.000 orang tentara Prancis dan 280.000 orang tentara Jerman tewas, tetapi garis depan hanya bergerak mundur beberapa kilometer. Beberapa bulan kemudian, Inggris dan Prancis meluncurkan serangan balik di medan perang Somme dan, sebagai akibat dari pertempuran berdarah itu, 600.000 orang tentara Jerman, lebih dari 400.000 orang tentara Inggris, dan kira-kira 200.000 orang tentara Prancis tewas. Meskipun demikian, garis depan Jerman dipukul mundur hanya 11 kilometer. Dengan antusiasme mereka yang dikobarkan oleh lagu mars romantik, dan melalui puisi penggerak yang menyanjung setinggi langit "ruh Jerman", "kehormatan Inggris" dan "keberanian Prancis", ahli taktik dan strategi militer akhirnya membuat keputusan tidak bijaksana, yang menyebabkan pembantaian rakyat mereka sendiri. Kebanyakan tentara yang selamat melewati tiga setengah tahun di dalam parit-parit berlumpur tanpa bisa mengangkat kepala karena pemboman tiada henti, juga menderita secara psikologis karena pengalaman itu.
Contoh mengerikan dari pertumpahan darah tidak berperasaan yang ditimbulkan nasionalisme romantik dalam Perang Dunia Pertama adalah penyerangan terhadap pasukan Jerman yang dipimpin oleh Jendral Prancis Robert Nivelle, April 1917. Sebelum pertempuran, Nivelle berjanji bahwa, dia sanggup memecah belah pasukan Jerman dalam waktu dua hari dan memperoleh kemenangan mutlak dalam waktu satu minggu. Walaupun posisi pasukan Jerman lebih meng-untungkan, pasukan Prancis tetap dikerahkan untuk menghormati janji yang tidak masuk akal itu, dan mereka menyerang tanggal 16 April. Penyerangan yang diharapkan berakhir dalam waktu dua hari ternyata berlangsung lebih dari satu setengah bulan, tanpa hasil, selain kematian ratusan ribu orang tentara, dan akhirnya pemberontakan di antara pasukan Prancis.
Mentalitas haus darah muncul ke permukaan lagi pada Perang Dunia Kedua, tetapi kali ini dengan korban yang jauh lebih besar. Sebanyak 55 juta orang tewas akibat ambisi berlebihan para romantik psiko-patis seperti Hitler, Mussolini, dan Stalin.
Romantisisme bukan hanya berperan dalam konflik global; tetapi juga berada pada akar pepe-rangan dan agresi di antara pelbagai negara, suku bangsa, dan organisasi. Tanpa pemahaman jelas tentang faktor-faktor yang terlibat dalam situasi kehidupan mereka, jutaan orang yang terpengaruh slogan-slogan emosional, cerita-cerita kepahlawan-an, lagu mars dan puisi, mengangkat senjata dan menumpahkan darah, tidak hanya darah mereka sendiri, tetapi juga darah orang-orang yang diang-gap musuh, menenggelamkan diri mereka dan du-nia ke dalam kebingungan dan permusuhan.
Pada awal buku ini, sudah disebutkan bahwa sentimentalitas adalah senjata yang digunakan setan untuk menggelincirkan manusia dari jalah Allah, dan menjerumuskan ke dalam penderitaan. Perang-kap yang dipasang setan untuk manusia ini terbukti dalam nasionalisme romantik. Di dalam Al Quran, Allah menyatakan bagaimana Setan membuat mereka yang berada di bawah pengaruhnya ber-tekuk lutut pada teror, kebingungan dan permu-suhan.
“Tuhan berfirman: "Pergilah, barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka se-sungguhnya neraka Jahannam adalah balasan-mu semua, sebagai suatu pembalasan yang cu-kup. Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerah-kanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikat-lah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang di-janjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.“ (QS. Al Israa’, 17: 63 - 64)
Ayat di atas menceritakan bagaimana setan, dengan menggunakan orang-orang di bawah kendalinya, "merayu siapa pun yang dia sanggup dengan ajakan-ajakannya", dan "mengerahkan terhadap mereka pasukan berkuda dan infantrinya" sebagai alat untuk membangkitkan nasionalisme romantik.
Darwinisme: Basis Intelektual
Nasionalisme Romantik
Kaum nasionalis romantik menggunakan apa yang disebut "pengungkapan ilmiah dan filosofis" sebagai pembe-naran bagi kegemaran mereka menumpahkan darah. Basis dari "pegungkapan" ini adalah Teori Evolusi Darwin.
Darwin, seorang ahli biologi Inggris, menulis buku berjudul "The Origin of the Species" yang diterbitkan tahun 1859. Di dalam buku ini, dia berpendapat bahwa pergulatan tak kenal belas kasih selalu terjadi di alam dan, tergantung pada apakah mereka memperoleh keuntungan atau tidak, mahluk hidup berkembang dan spesies baru pun muncul. Dengan kata lain, menurut Darwin, kunci perkembangan di alam adalah konflik. Di dalam bukunya yang lain, The Descent Man, yang diterbitkan tahun 1871, Darwin mengem-bangkan gagasannya dengan lebih meyakinkan, dan lebih jauh mengajukan pendapat bahwa sebagian ras manusia relatif lebih maju daripada ras lainnya. Dan ini menjadi pondasi rasisme ilmiah. Darwin menganggap ras kulit putih Eropa sebagai "ras yang maju", dan bangsa Afrika, Asia, dan bahkan Turki, sebagai "ras primitif dan setengah kera".
Dengan menyebarnya teori Darwin, rasisme dan mili-tansi segera mendapatkan dukungan, sampai pada tahapan mereka mulai merasa memiliki "fakta ilmiah".
Hubungan antara Darwinisme dan nasionalisme romantik menjadi jelas: Kaum nasionalis romantik menemukan nafsu berkonflik, dan obsesi mereka dengan keunggulan ras mereka sendiri dibandingkan ras lain, pada Darwinisme.
Pengaruh Darwinisme yang menimbulkan bencana dapat dikenali pada tingkat pertumpahan darah luar biasa yang terjadi dalam Perang Dunia Pertama. Tanpa keraguan sedikit pun, jendral-jendral Jerman, Prancis, Inggris, Rusia, dan Austria mengirim ratusan ribu tentara untuk mati sia-sia. Mereka mengikuti dengan setia slogan Darwinisme bahwa, "mahluk hidup berkembang melalui konflik dan ras-ras mencapai dominasinya melalui perang". Berdasarkan alur pemikiran inilah mereka memberikan perintah untuk berperang.
Sebagai contoh, hubungan antara perang dan hukum konflik alami dijunjung tinggi oleh Friedrich von Bernhardi, seorang jendral Perang Dunia Pertama. "Perang" menurut Bernhardi adalah "sebuah kebutuhan bilogis"; "ia sama perlunya dengan perjuangan unsur-unsur alam"; sesuatu "ia memberikan keputusan adil secara biologis, karena keputusan-kepu-tusannya berdasarkan sifat-sifat alamiah".4
Panglima tertinggi Kekaisaran Austria-Hungaria, Jendral Franz Baron Conrad von Hoetzendorff, menulis dalam memoirnya setelah perang itu:
Agama-agama yang mengajarkan kebaikan pada sesama manusia, ajaran-ajaran moral, dan doktrin-doktrin filsafat terkadang berfungsi untuk melemahkan daya juang manusia untuk eksis dalam bentuknya yang paling mentah, tetapi ajaran-ajaran itu tidak akan pernah berhasil menyingkirkannya (dari posisi) sebagai motif yang menggerakkan dunia… Ia sejalan dengan prinsip besar bahwa bencana perang dunia terjadi akibat kekuatan-kekuatan motif dalam kehidupan negara dan rakyat, sebagaimana hujan badai yang karena sifat alaminya harus mengeluarkan beban dari dalam dirinya.5
Pada tahun 1914, Kurt Riezler, penasihat dan sahabat Kanselir Jerman, Theobald von Bethman-Hollweg, menulis:
Permusuhan abadi dan absolut secara fundamental adalah karakteristik hubungan antar manusia; dan permusuhan yang kita saksikan di mana-mana… bukanlah akibat penyimpangan sifat alami manusia tetapi merupakan hakikat dunia dan sumber kehidupan itu sendiri.6
Romantisisme mendorong persekutuan mesra di antara golongan sendiri, namun menumbuhkan kemarahan dan kebencian terhadap yang lain. Ini merupakan semangat yang sesuai benar dengan konsep Darwinian tentang "Perjuangan ras-ras untuk kelangsungan hidup". Apabila diterapkan dalam ilmu sosial, teori Darwin ini dinamai "Darwinisme Sosial", dan sudah menjadi sumber pembenaran utama bagi nasionalisme romantik dan rasisme. Penulis Amerika, Janet Biehl, di dalam artikelnya yang berjudul "Ecology and the Modernization of Fascism in the German Ultra Right" (Ekologi dan Modernisasi Fasisme dalam Gerakan Ultra Kanan Jerman) menyatakan pendapatnya mengenai hal ini:
Darwinisme Sosial berakar kuat di dalam Gerakan Ultra Kanan Jerman… Sebagaimana Darwinisme Sosial Anglo-Amerika, Darwinisme Sosial Jerman memroyeksikan lembaga sosial manusia pada dunia bukan-manusia sebagai 'hukum-hukum alam', kemudian menggunakan hukum-hukum itu untuk membenarkan tatanan sosial manusia sebagai (hal yang) 'alami'. Ia juga menerapkan pepatah 'Yang terkuat akan bertahan hidup' pada masyarakat. Tetapi jika Darwinisme Sosial Anglo-Amerika membayangkan "yang terkuat" sebagai wirausahawan perorangan yang berada di hutan kapitalis dengan cakar dan gigi berdarah, Darwinisme sosial Jerman secara berlebihan menerapkan "yang terkuat" dalam pengertian ras. Karenanya, ras yang terkuat tidak hanya akan tetapi juga harus bertahan hidup, sambil menaklukkan semua pesaingnya dalam 'perjuangan untuk eksistensinya'.7
Di Jerman, perwakilan terpenting dari Darwinisme Sosial adalah ahli biologi Ernst Haeckel (1834-1919). Dia memberikan kontribusi pada Darwinisme dengan mengajukan teori, yang disarikan dalam "Ontogeny Recapitulates Philogeny", bahwa mamalia mereplikasi proses evolusi dalam perkembangan embrionya. (Bertahun-tahun kemudian disadari bahwa teori ini tidak berdasar dan bahwa Haeckel bahkan memalsukan tabel dan diagramnya).
Haeckel mendirikan "Liga Monis", asosiasi yang bertujuan menyebarkan ateisme, dan yang pada waktu bersamaan menjadi pusat rasisme dan nasionalisme romantik. Pada tahun 1920-an, gerakan Nazi, yang saat itu berkembang di bawah pimpinan Hitler, dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Haeckel dan "Liga Monis". Sejarawan Daniel Gasman, menuliskan perkembangan ini dalam The Scientific Origins of National Socialism: Social Darwinism in Ernst Haeckel and the German Monist League (Asal Usul Ilimiah Sosialisme Nasional: Darwinisme Sosial dalam Ernst Haeckel dan Liga Monis Jerman) sebagai berikut:
Darwinisme sosial di Jerman yang terinspirasi secara rasial… hampir sepenuhnya berhutang budi pada Haeckel untuk penciptaannya…. Gagasan-gagasannya berfungsi menyatukan kecenderungan rasisme, imperialisme, romantisisme, anti-Semitisme dan nasionalisme menjadi sebuah ideologi utuh…. Haeckel-lah orangnya yang membanting hancur seluruh tubuh sains di samping apa yang dulu disebut gagasan-gagasan mistik dan irasional Volkisme.8
Gasman juga menulis:
Bisa dikatakan bahwa jika Darwinisme di Inggris adalah perluasan dari individualisme laissez faire yang diproyek-sikan dari dunia sosial ke dunia alamiah, [Di Jerman, Darwinisme adalah] proyeksi romantisisme dan idealisme filosofis Jerman…. Bentuk yang diambil Darwinisme sosial di Jerman adalah agama pengabdian kepada alam yang keilmiah-ilmiahan dan mistisisme-alam yang dikombi-nasikan dengan ide-ide rasisme.9
Dengan nada sama, Janet Biehl menulis bahwa "Haeckel juga seorang penganut rasisme mistik dan nasionalisme, sehingga Darwinisme sosial Jerman sejak awalnya adalah konsep politik yang meminjamkan basis biologis palsu kepada rasisme romantik dan nasional-isme".10
Kesimpulan
Semua yang sudah kita bahas sekali lagi menunjukkan bahwa romantisisme adalah kecenderungan psikologis dan pandangan dunia yang sepenuhnya di luar batas-batas dan bertentangan dengan agama. Jelas pulalah bahwa Darwinisme, yang hampir sinonim dengan ateisme sejak pertama kali dicetuskan, secara implisit terkandung dalam romantisisme.
Hubungan nasionalisme romantik dengan Darwinisme, dan perannya dalam kebangkitan gerakan Nazi, me-ngungkap fakta penting lain: Romantisisme adalah penga-ruh yang sangat berbahaya baik bagi individu maupun masyarakat. Mereka yang terperangkap di dalamnya dapat dengan mudah teperdaya ke dalam cara berpikir yang bertolak belakang dengan akal sehat, pengetahuan umum, dan kesadaran yang benar. Mereka akan dibuat percaya, misalnya, bahwa ras mereka superior atas ras lain, bahwa mereka dibenarkan berperang, menginvasi dan menduduki dunia, dan sah saja bagi mereka untuk menghancurkan atau memperbudak bangsa-bangsa lain.
Nazi Jerman adalah contoh utama dalam sejarah yang menunjukkan kekerasan dan kekejaman nasionalisme romantik. Ketika Nazi berkuasa pada tahun 1933, Hitler dan staf jendralnya melakukan kampanye untuk "menanamkan sentimen-sentimen romantik", dan dalam waktu singkat, masyarakat Jerman menerima pernyataan-pernyataan nasionalisme romantik yang tidak masuk akal. Pada akhir tahun 1930-an, mayoritas rakyat Jerman meyakini bahwa "Kekaisaran Jerman" (Third Reich) harus segera berdiri dan memerintah seluruh dunia dan bertahan selama ribuan tahun. Untuk mewujudkan takdir yang didambakan, mereka percaya bahwa ras Jerman perlu "dimurnikan" melalui eliminasi seluruh kaum minoritas di negara itu. Mereka juga percaya bahwa Hitler adalah "pemimpin" (Führer) tak terbantahkan dan tak terkalahkan, yang memiliki kekuatan supranatural, dan akan memimpin mereka mencapai kemenangan pasti. Dengan mata berkaca-kaca mendengar-kan pidato Hitler yang penuh kemarahan, nafsu berperang, paranoia dan diskriminasi, massa tersihir dan kehilangan sentuhan dengan realitas.
Kongres-kongres Nazi yang terkenal di Nuremberg adalah perwujudan nyata "pencucian otak romantik". Para peneliti Amerika, Michael Baigent, Richard Leigh dan Henry Lincoln, menggambarkan pertemuan-pertemuan ini sebagai berikut:
Kongres-kongres Nuremberg yang terkenal itu bukanlah pertemuan politik seperti yang diadakan di Barat dewasa ini, tetapi sejenis panggung teater yang dikelola dengan licik, misalnya, yang membentuk komponen integral festival keagamaan Yunani. Segala sesuatunya —warna-warna seragam dan bendera, penempatan pengunjung, penyelenggaraan malam hari, penggunaan lampu sorot dan lampu banjir, penentuan waktu— diperhitungkan dengan sangat tepat. Klip-klip film menggambarkan orang-orang memabukkan diri mereka, memantra diri mereka sendiri menjadi bergairah dan kerasukan dengan kata-kata 'Sieg Heil!' dan memuja sang Führer seakan-akan dia seorang dewa. Wajah-wajah di kerumunan menunjukkan kesan kedamaian kosong… Ini bukan karena retorika yang menarik. Bahkan, retorika Hitler sama sekali tidak persuasif. Pidatonya lebih sering kering, kekanak-kanakan, berulang-ulang, dan tanpa substansi. Tetapi penyampaian-nya mempunyai energi beracun, mengandung denyut ritmik yang menghipnotis seperti pukulan genderang; dan ini, dikombinasikan dengan wabah emosi massa, dengan tekanan beribu-ribu orang yang dipadatkan dalam daerah tertutup… menghasilkan histeria massa…. Apa yang orang saksikan pada pertemuan-pertemuan Hitler adalah sebuah 'modifikasi kesadaran' seperti yang biasanya diasosiasikan oleh para psikolog dengan pengalaman mistik.11
Lebih tepatnya, pertemuan-pertemuan Nazi adalah sesi penghipnotisan massa, yang sepenuhnya merampok kemampuan nalar mereka, dan menempatkan mereka di bawah pengaruh romantisisme. Meletuskan Perang Dunia Kedua, histeria romantik ini merenggut nyawa 55 juta orang.
Naziisme hanya satu contoh konsekuensi destruktif dari romantisisme. Karena romantisisme merampok akal sehat, dan menempatkan mereka di bawah penguasaan emosi, maka ia bisa juga memancing mereka ke dalam pelbagai jenis penyimpangan. Karenanya, mudah saja untuk menyesatkan seorang romantik. Dalam kondisi yang tepat, dan dalam waktu yang singkat, dia bisa menjadi seorang rasis atau fasis yang kuat. Namun dalam contoh lain, dia bisa menjadi komunis militan, menyerang orang-orang tak berdosa sambil menyanyikan lagu-lagu mars Leninis, atau bahkan kehilangan akal sehatnya sehingga membakar diri sendiri demi alasan yang dia anggap benar. Seorang romantik bisa bersikap kejam dan keras pada satu saat dan menangis penuh perasaan saat berikutnya. Tidak ada batasan untuk kegilaan yang ditimbulkan ketika akal tidak berfungsi lagi, dan seorang menjadi tawanan emosinya, atau lebih tepat dikatakan, nafsu-nafsu irasional yang telah ditanamkan setan pada dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar