“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Al A'raaf, 7: 28)
Romantisisme tidak berkembang secara utuh menjadi sebuah ideologi tersendiri, melainkan mem-pengaruhi dan menyusup ke dalam pelbagai ideologi lain, menawari mereka dengan kualitas emosi yang memungkinkannya merampok rasionalitas manusia. Sebagaimana ia telah merasuki ideologi-ideologi yang spenuhnya tidak religius dan menyimpang seperti fasisme dan komunisme, ia juga menyebarkan pengaruhnya dalam penyamaran agama.
Sebelum mulai membahas topik ini, ada hal penting yang harus dipahami. Suatu gerakan yang menyatakan dirinya agama belum tentu agama sejati. Sebaliknya, di masa lalu, banyak individu, kelompok, dan gagasan, yang sekalipun melakukan aktivitas dengan nama Tuhan dan agama, bermaksud merusak agama dan pengikutnya. Allah memberi kita contoh-contohnya dalam Al-Quran. Misalnya, seorang kriminal yang merencanakan pembunuhan salah satu nabi Allah, Nabi Saleh. Ketika menyusun rencana, dia dan para pengikutnya bersumpah atas nama Tuhan:
“Mereka berkata: "Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan menyerang-nya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar".” (QS. An-Naml, 27: 49)
Para penyembah berhala yang menentang para nabi itu sering menuduh mereka "mengarang-ngarang cerita bohong tentang Allah", sambil menunjukkan fakta bahwa mereka menganggap diri mereka regiligius dan bertakwa pada Allah. (Quran, 42:24) Misalnya, Firaun, yang menyimpang sampai pada tahap mengakui dirinya tuhan, berkata demikian mengenai Nabi Musa:
“Dan berkata Fir'aun (kepada pembesar-pembesarnya): "Biarkan aku membunuh Musa dan hendaklah ia memo-hon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku kha-watir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi".” (QS. Al Mu'min, 40: 26)
Ini menunjukkan bahwa pemikiran dan perbuatan menyimpang atas nama dan samaran agama bisa saja terjadi, dan romantisisme menempati urutan teratas pada daftar penyimpangan itu, yang dianggap religius padahal sama sekali tidak berhubungan dengan agama.
Untuk memahami bagaimana romantisisme bercampur aduk dengan agama, perlu dipahami benar gagasan "ikhlas". Ikhlas adalah melakukan sesuatu dengan maksud semata-mata untuk memperoleh ridha Allah. Apabila suatu perbuatan benar-benar dilakukan dengan ikhlas, nilainya adalah ibadah dalam pandangan Allah. Misalkan, shalat, puasa, bersedekah, bekerja karena Allah, dan semua amal lain, akan dinilai sebagai kegiatan ibadah, hanya apabila dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah. Ibadah yang dilakukan tanpa niat mendapatkan ridha Allah tidak sah, menurut perintah Allah dalam Al Quran: "Maka kecelaka-anlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya." (QS. Al Maa'uun, 107: 4-6). Hal ini juga jelas terungkap dalam Hadist Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan, "Allah menerima amal yang benar-benar dilakukan demi Dia, dan dimaksudkan untuk mencari ridlo-Nya ".12
Dalam hal inilah romantisisme mendistorsi agama. Ia mengarahkan agama pada tujuan selain memperoleh ridha Allah; ia melambangkan agama sebagai pengalaman emosional, yang di dalamnya orang-orang bisa memuas-kan kebutuhan emosional mereka, tetapi tidak untuk dipraktikkan demi ridha Allah.
Dengan mengaburkan perbedaan samar tetapi penting ini, romantisisme menuntun orang-orang ke arah pemahaman agama yang salah sama sekali, yang hasil akhirnya adalah mistisisme. Apabila orang-orang berhenti memahami agama sebagai penyerahan diri kepada Allah, dan mulai menganggapnya sebagai alat untuk "hiburan psikologis", maka sejumlah praktik mistik dicari, sehingga menenggelamkan mereka lebih jauh ke dalam pendekatan keliru ini.
Apabila kita membandingkan agama yang diromantisasi dengan agama yang disampaikan Allah kepada kita di dalam Al Quran, kita bisa melihat sejumlah perbedaan besar:
1. Di dalam Al Quran, Allah memerintahkan manusia menggunakan akalnya, untuk berpikir, mempertimbangkan apa yang sudah diciptakan Allah, dan dengan demikian, meningkatkan keimanan. Namun, pendekatan romantik terhadap agama menafikan akal sehat; tidak menuntun orang menggunakan pikirannya, sebaliknya, mendorong mereka untuk tidak berpikir sama sekali.
2. Menurut gagasan romantik tentang agama, orang yang berani menyiksa dan menyakiti diri sendiri patut dipuji. Misalnya, ada penganut Kristen yang berpikir mereka menjadi lebih dekat dengan Yesus dengan menyalib diri sendiri. Pada beberapa agama timur, seperti Budha, membiarkan diri kelaparan, tidur di tempat yang tidak nyaman dan bentuk-bentuk "pengorbanan diri" lainnya, dikatakan dapat membuat seseorang menjadi suci. Namun, di dalam Al Quran, sama sekali tidak ada gagasan seseorang harus menyakiti diri sendiri. Ayat Al Quran berikut dengan padat menyatakan pemahaman romantik yang menyesat-kan itu:
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. (QS. Yunus, 10: 44)
Singkatnya, menurut pendekatan romantik, agama merupakan sesuatu yang mendorong kecenderungan manusia untuk mengidolakan individual, tidak reflektif, selalu mengingat masa lalu, menyakiti dan merusak diri sendiri. Ini adalah sebuah sistem palsu, terdiri dari kepercayaan dan praktik-praktik yang sepenuhnya asing bagi agama sejati.
Alih-alih mempelajari apa yang dikehendaki Allah dari mereka, dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya, orang-orang lebih suka meneruskan pendekatan itu terhadap agama, suatu perilaku dan cara berpikir khas yang diwarisi dari leluhur mereka. Mereka tidak menjalani hidup sesuai dengan penilaian rasional terhadap kondisi sekitar mereka, tetapi berpegang teguh pada pola pikir dan perilaku tradisional yang sama. Ini merupakan penyimpangan terhadap peringatan tajam Allah yang disebutkan dalam banyak ayat Al Quran. Berikut ini beberapa contohnya:
“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakan-nya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al Maidah, 5: 104)
“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Al A'raaf, 7: 28)
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (QS. Luqman, 31: 21)
Kesimpulan
Jika seseorang berkeinginan agar mampu mempraktik-kan agama yang memang dikehendaki Allah untuk diprak-tikkannya, pertama-tama dia harus keluar dari lumpur romantisisme. Seperti yang diperintahkan Allah dalam ayat berikut: "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah Yang Haq..." (QS. Al Hajj, 22: 62). Sesung-guhnya Allah, Dialah yang Haq, atau real, dan untuk memahaminya, seseorang harus menjadi "realis". Mereka yang terbelenggu oleh gagasan-gagasan romantik, di lain pihak, juga terpengaruh oleh ideologi-ideologi sesat, seperti nasionalisme atau komunisme romantik, atau kehilangan sentuhan dengan ilmu pengetahuan dan keikhlasan melalui penafsiran romantik atas agama, atau dipengaruhi sejenis gagasan cinta romantik yang akan kita kaji pada bab-bab selanjutnya buku ini.
Bahkan jika orang-orang yang terpengaruh oleh cara berpikir ini mulai mempraktikkan agama, mereka tidak memiliki kestabilan mental untuk menekuninya, karena kondisi spiritual mereka yang terombang-ambing akibat tuntunan romantisisme. Ada sejumlah orang yang mulai mempraktikkan agama karena terinspirasi oleh beberapa gagasan romantik, tetapi dengan cepat mereka menyerah dan kembali pada kehidupan tanpa agama.
Akan tetapi, Allah memberikan perintah kepada manusia:
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam, 19: 65)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar