JAKARTA, KOMPAS.com - Minum obat tanpa resep dokter atau mengobati diri sendiri, sudah lama menjadi kebiasaan masyarakat kita. Pengobatan tidak tepat sasaran ini justru membuat tubuh makin rentan penyakit dan obat yang diminum bakal merusak tubuh sendiri.
Tak sedikit orang yang enggan pergi ke dokter ketika sakit. Demikian juga yang menjadi kebiasaan Roni. Bila sakit, ia biasa membeli obat di apotek, tetapi tanpa resep dokter. “Ya ada antibiotik, juga ada beberapa obat yang mestinya menggunakan resep dokter. Nyatanya pihak apotek sama sekali tidak menanyakan resep, tuh. Jadi ya sudah, nggak perlu ke dokter,” ujar pria usia 30-an tahun ini.
Ia mengaku berani minum obat yang semestinya digunakan dengan resep tetapi tanpa petunjuk dokter itu, karena beberapa kali menemui kasus serupa dan obat yang diminum jenisnya sama. “Makanya, pas aku yang kena, ya beli saja langsung obat itu dan memang sembuh,” tutur karyawan sebuah perusahaan teknologi informasi ini.
Seorang ibu yang tinggal di Bekasi juga mengungkapkan hal senada. ”Beberapa kali aku kerap menunda atau sama sekali tidak ke dokter bila anakku sakit. Aku cukup tahu sakitnya apa, terus tinggal beli obatnya di apotek,” kata wanita berusia 35 tahun yang kebetulan bekerja sebagai asisten apoteker ini. Ia menambahkan, ”Biasanya dokter juga membuat resep obat yang itu-itu saja. Jadi hafal aku. Anakku juga sembuh, tuh.”
Pengalaman serupa biasa pula dilakukan seorang pria yang tinggal di di Jawa Tengah yang mengidap penyakit asam urat. “Saya memang sengaja tidak ke dokter spesialis rematologi. Habis mahal, sih. Saya beli jamu botolan. Sakitnya hilang. Artinya ‘kan jamu itu manjur,” katanya.
Namun, setelah bapak tiga anak ini terkena serangan jantung, salah satunya gara-gara mengonsumsi jamu yang ternyata dicampur obat kimia itu, ia mengaku kapok.
Diagnosis Error
Ada banyak kejadian serupa yang bisa ditemui di masyarakat kita. Inilah yang disebut mengobati diri sendiri. Penggunaan obat (beresep) tanpa sepengetahuan dokter sehingga tidak ada resep, bila dilakukan terlalu sering bisa berakibat fatal.
Biasanya orang mengobati diri sendiri berdasar gejala tanpa memikirkan penyebab penyakitnya. Prioritas utamanya, yakni menghilangkan nyeri, menurunkan suhu tubuh bila demam, atau menghilangkan bercak di kulit, daripada berupaya mencari akar permasalahannya.
Padahal bisa jadi gejala-gejala yang muncul merupakan manifestasi dari beragam kondisi patologis yang butuh perawatan berbeda satu sama lain. Inilah yang disebut diagnosis error.
Kelelahan merupakan gejala yang sangat umum, tetapi bisa menjadi pertanda adanya masalah serius. Contohnya, penyakit hepatitis, demam glandular, depresi, diabetes, kanker, dan lain-lain.
Sakit kepala akan hilang saat kita mengonsumsi parasetamol, tetapi akan menjadi kronis bila sumber nyeri tidak ditemukan, meski sudah dilakukan beberapa pemeriksaan klinis.
“Empat bulan lalu aku sakit kepala, minum obat, sembuh. Dua bulan lalu, sakit kepala lagi. Obat sakit kepala yang sama kuminum, sembuh, tetapi ternyata demam lagi. Eh, setelah ke dokter aku dinyatakan sakit tifus,” kata seorang teman.
Sakit kepala, pada dasarnya bisa menjadi manifestasi dari beragam hal seperti sinusitis, ketegangan otot, hilangnya ketajaman penglihatan, dan banyak lagi.
“Mengobati diri sendiri jelas tidak aman. Pilihan obat bisa jadi di kemudian hari tidak seberuntung sebelumnya. Bukannya menyembuhkan, malah racun yang tertimbun,” kata Dr. Joany Vayssette, Presiden Kehormatan dari French National Association of Pharmacist.
Bisa Jadi Serius
Nyeri atau meningkatnya suhu tubuh sebenarnya merupakan sinyal, tetapi kita kerap tidak menggubrisnya. Sejauh gejala ini dapat ditahan sakitnya dan tidak memengaruhi aktivitas harian, banyak orang lebih memilih mengobati sendiri daripada pergi ke dokter.
“Habis, biasanya sehari saja sudah sembuh setelah minum obat,” ujar Roni. Padahal, dalam beberapa kasus justru penanganan nyeri yang tepat sedari awal ini merupakan langkah penting.
Mengobati diri sendiri bisa memperlama pengobatan atau malah menimbulkan masalah baru. Sebut saja batuk yang abnormal, serangan jantung atau stroke, sembelit yang parah, atau dada terasa panas berulang kali.
Tak heran bila hingga kini banyak orang masih berpikir dirinya hanya masuk angin, padahal sedang terkena serangan jantung. “Kok setelah dikerok malah meninggal,” cerita seorang ibu mengenang suaminya yang meninggal dan sempat dikiranya terkena angin duduk.
Memang ada batas mengobati diri sendiri yang biasanya hanya tiga hari, seperti pada kasus flu dan batuk. Namun, tak jarang orang membiarkan gejala muncul dan mengobati sendiri selama lebih dari tiga hari.
“Aku tidak tahu batuk yang kualami kenapa begitu lama, bisa sampai tiga minggu. Aku obati sendiri saja dengan obat batuk yang dijual di warung,” ungkap Rani, ibu rumah tangga yang tinggal di Depok.
Seorang karyawan di sebuah penerbitan di Jakarta mengungkapkan, ”Aku biasanya beli antibiotik kalau flu dan batuk tidak sembuh-sembuh sampai seminggu. Setelah minum biasanya sembuh.”
Menurut Dr. Iwan Darmansjah, Sp.Fk, antiobiotik adalah jenis obat yang digunakan untuk melawan bakteri. Padahal flu disebabkan oleh virus. Selain itu, berbagai antibiotik mempunyai sifat membunuh hanya terhadap kuman tertentu. Bila pemilihannya tidak cocok, pelumpuhan kuman yang menyerang tidak akan tuntas.
Jadi selain tidak tepat sasaran, bakteri atau kuman akan menjadi resisten dalam tubuh. Artinya, ketika penyakit yang sama muncul oleh bakteri yang sama, tubuh kita butuh antibiotik jenis yang lebih kuat dengan dosis lebih tinggi. Akibatnya tubuh akan teracuni.
Untuk wanita hamil, anak-anak, dan warga lanjut usia, mengobati diri sendiri cukup rawan. Selain berisiko keracunan, terutama anak-anak masih rentan terhadap segala hal yang berbau kimiawi.
Hati-Hati dan Waspada
Mencegah adalah langkah terbaik menghindari bahaya mengobati diri sendiri. Yang terjadi, tidak akan ada lagi tindakan membeli obat (beresep) tanpa resep meski apotek memberikannya.
Tentu saja, kultur seperti ini mesti dimulai sejak kecil. Dan sebaiknya juga diajarkan di sekolah-sekolah. Demikian diungkapkan Dr. Jean Pouillard, pengarang buku L’automedication.
Dengan mengembangkan informasi dan komunikasi antara dokter dengan pasien, bahaya mengobati diri sendiri bisa dihindari. Apoteker seharusnya menjadi mediator yang wajib siap sedia saat ditanya banyak hal mengenai obat oleh pasien.
Hati-hati dan waspada adalah kata kunci dari semua persoalan ini. Menyingkirkan obat-obatan atau peralatan pertolongan pertama dari jangkauan anak, merupakan langkah hati-hati yang sederhana yang bisa kita lakukan. Selanjutnya, hati-hati dengan tidak asal menggunakan obat. @Abdi Susanto
Tak sedikit orang yang enggan pergi ke dokter ketika sakit. Demikian juga yang menjadi kebiasaan Roni. Bila sakit, ia biasa membeli obat di apotek, tetapi tanpa resep dokter. “Ya ada antibiotik, juga ada beberapa obat yang mestinya menggunakan resep dokter. Nyatanya pihak apotek sama sekali tidak menanyakan resep, tuh. Jadi ya sudah, nggak perlu ke dokter,” ujar pria usia 30-an tahun ini.
Ia mengaku berani minum obat yang semestinya digunakan dengan resep tetapi tanpa petunjuk dokter itu, karena beberapa kali menemui kasus serupa dan obat yang diminum jenisnya sama. “Makanya, pas aku yang kena, ya beli saja langsung obat itu dan memang sembuh,” tutur karyawan sebuah perusahaan teknologi informasi ini.
Seorang ibu yang tinggal di Bekasi juga mengungkapkan hal senada. ”Beberapa kali aku kerap menunda atau sama sekali tidak ke dokter bila anakku sakit. Aku cukup tahu sakitnya apa, terus tinggal beli obatnya di apotek,” kata wanita berusia 35 tahun yang kebetulan bekerja sebagai asisten apoteker ini. Ia menambahkan, ”Biasanya dokter juga membuat resep obat yang itu-itu saja. Jadi hafal aku. Anakku juga sembuh, tuh.”
Pengalaman serupa biasa pula dilakukan seorang pria yang tinggal di di Jawa Tengah yang mengidap penyakit asam urat. “Saya memang sengaja tidak ke dokter spesialis rematologi. Habis mahal, sih. Saya beli jamu botolan. Sakitnya hilang. Artinya ‘kan jamu itu manjur,” katanya.
Namun, setelah bapak tiga anak ini terkena serangan jantung, salah satunya gara-gara mengonsumsi jamu yang ternyata dicampur obat kimia itu, ia mengaku kapok.
Diagnosis Error
Ada banyak kejadian serupa yang bisa ditemui di masyarakat kita. Inilah yang disebut mengobati diri sendiri. Penggunaan obat (beresep) tanpa sepengetahuan dokter sehingga tidak ada resep, bila dilakukan terlalu sering bisa berakibat fatal.
Biasanya orang mengobati diri sendiri berdasar gejala tanpa memikirkan penyebab penyakitnya. Prioritas utamanya, yakni menghilangkan nyeri, menurunkan suhu tubuh bila demam, atau menghilangkan bercak di kulit, daripada berupaya mencari akar permasalahannya.
Padahal bisa jadi gejala-gejala yang muncul merupakan manifestasi dari beragam kondisi patologis yang butuh perawatan berbeda satu sama lain. Inilah yang disebut diagnosis error.
Kelelahan merupakan gejala yang sangat umum, tetapi bisa menjadi pertanda adanya masalah serius. Contohnya, penyakit hepatitis, demam glandular, depresi, diabetes, kanker, dan lain-lain.
Sakit kepala akan hilang saat kita mengonsumsi parasetamol, tetapi akan menjadi kronis bila sumber nyeri tidak ditemukan, meski sudah dilakukan beberapa pemeriksaan klinis.
“Empat bulan lalu aku sakit kepala, minum obat, sembuh. Dua bulan lalu, sakit kepala lagi. Obat sakit kepala yang sama kuminum, sembuh, tetapi ternyata demam lagi. Eh, setelah ke dokter aku dinyatakan sakit tifus,” kata seorang teman.
Sakit kepala, pada dasarnya bisa menjadi manifestasi dari beragam hal seperti sinusitis, ketegangan otot, hilangnya ketajaman penglihatan, dan banyak lagi.
“Mengobati diri sendiri jelas tidak aman. Pilihan obat bisa jadi di kemudian hari tidak seberuntung sebelumnya. Bukannya menyembuhkan, malah racun yang tertimbun,” kata Dr. Joany Vayssette, Presiden Kehormatan dari French National Association of Pharmacist.
Bisa Jadi Serius
Nyeri atau meningkatnya suhu tubuh sebenarnya merupakan sinyal, tetapi kita kerap tidak menggubrisnya. Sejauh gejala ini dapat ditahan sakitnya dan tidak memengaruhi aktivitas harian, banyak orang lebih memilih mengobati sendiri daripada pergi ke dokter.
“Habis, biasanya sehari saja sudah sembuh setelah minum obat,” ujar Roni. Padahal, dalam beberapa kasus justru penanganan nyeri yang tepat sedari awal ini merupakan langkah penting.
Mengobati diri sendiri bisa memperlama pengobatan atau malah menimbulkan masalah baru. Sebut saja batuk yang abnormal, serangan jantung atau stroke, sembelit yang parah, atau dada terasa panas berulang kali.
Tak heran bila hingga kini banyak orang masih berpikir dirinya hanya masuk angin, padahal sedang terkena serangan jantung. “Kok setelah dikerok malah meninggal,” cerita seorang ibu mengenang suaminya yang meninggal dan sempat dikiranya terkena angin duduk.
Memang ada batas mengobati diri sendiri yang biasanya hanya tiga hari, seperti pada kasus flu dan batuk. Namun, tak jarang orang membiarkan gejala muncul dan mengobati sendiri selama lebih dari tiga hari.
“Aku tidak tahu batuk yang kualami kenapa begitu lama, bisa sampai tiga minggu. Aku obati sendiri saja dengan obat batuk yang dijual di warung,” ungkap Rani, ibu rumah tangga yang tinggal di Depok.
Seorang karyawan di sebuah penerbitan di Jakarta mengungkapkan, ”Aku biasanya beli antibiotik kalau flu dan batuk tidak sembuh-sembuh sampai seminggu. Setelah minum biasanya sembuh.”
Menurut Dr. Iwan Darmansjah, Sp.Fk, antiobiotik adalah jenis obat yang digunakan untuk melawan bakteri. Padahal flu disebabkan oleh virus. Selain itu, berbagai antibiotik mempunyai sifat membunuh hanya terhadap kuman tertentu. Bila pemilihannya tidak cocok, pelumpuhan kuman yang menyerang tidak akan tuntas.
Jadi selain tidak tepat sasaran, bakteri atau kuman akan menjadi resisten dalam tubuh. Artinya, ketika penyakit yang sama muncul oleh bakteri yang sama, tubuh kita butuh antibiotik jenis yang lebih kuat dengan dosis lebih tinggi. Akibatnya tubuh akan teracuni.
Untuk wanita hamil, anak-anak, dan warga lanjut usia, mengobati diri sendiri cukup rawan. Selain berisiko keracunan, terutama anak-anak masih rentan terhadap segala hal yang berbau kimiawi.
Hati-Hati dan Waspada
Mencegah adalah langkah terbaik menghindari bahaya mengobati diri sendiri. Yang terjadi, tidak akan ada lagi tindakan membeli obat (beresep) tanpa resep meski apotek memberikannya.
Tentu saja, kultur seperti ini mesti dimulai sejak kecil. Dan sebaiknya juga diajarkan di sekolah-sekolah. Demikian diungkapkan Dr. Jean Pouillard, pengarang buku L’automedication.
Dengan mengembangkan informasi dan komunikasi antara dokter dengan pasien, bahaya mengobati diri sendiri bisa dihindari. Apoteker seharusnya menjadi mediator yang wajib siap sedia saat ditanya banyak hal mengenai obat oleh pasien.
Hati-hati dan waspada adalah kata kunci dari semua persoalan ini. Menyingkirkan obat-obatan atau peralatan pertolongan pertama dari jangkauan anak, merupakan langkah hati-hati yang sederhana yang bisa kita lakukan. Selanjutnya, hati-hati dengan tidak asal menggunakan obat. @Abdi Susanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar