Jumat, 10 Desember 2010

Keyakinan menyimpang ajaran Buddha sangat beragam di tiap negara, karena sepanjang 2500 tahun yang lalu, agama ini telah tercampur aduk dengan berbagai agama setempat, kebiasaan, dan budaya yang dibuat oleh negara-negara tempat penyebarannya. Saat ini, beragam ajaran Buddha yang dijalankan di Jepang, Cina, Tibet, Sri Lanka, Vietnam, dan Amerika sangat berbeda satu sama lain.

Seperti ditunjukkan sumber-sumber sejarah, Buddha selalu memilih berbicara tentang pemikiran mendasar dan menyampaikan cara peribadatannya secara lisan; penelitian berabad-abad telah menunjukkan bahwa ia tidak meninggalkan satu catatan tertulis pun. Pemeluk Buddha yakin bahwa ajarannya diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi selama 400 tahun, hingga akhirnya terkumpul dalam hukum Pali. Akan tetapi, sebagian besar cendekiawan percaya bahwa sebagian besar kata-kata ini bukanlah perkataan sang Buddha sama sekali, melainkan ditambahkan padanya dalam perjalanan abad hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini. Oleh karena itu, ajaran Buddha, yang tidak mengandalkan catatan tertulis apa pun, mengalami banyak perubahan dan penyimpangan sepanjang waktu, dan banyak yang diubah kembali dengan penambahan-penambahan dan penghapusan-penghapusan.
Saat ini, kitab suci Buddha, yang ditulis dalam bahasa Pali, disebut dengan Tripitaka, yang berarti “tiga keranjang.” Tidak diketahui pasti kapan Tripitaka ditulis, namun dianggap mencapai bentuk seperti sekarang ini di Sri Lanka pada suatu waktu di abad pertama SM. Tulisan di dalamnya dibagi dalam bab-bab berikut ini:
1. Vinaya Pitaka: Bab ini, yang berarti “Keranjang Kedisiplinan,” meliputi aturan yang diperuntukkan bagi para biksu dan biksuni dan bagaimana mengikutinya. Juga ada beberapa kesesuaian dengan pembaca yang bukan biksu atau biksuni.
2. Sutta Pitaka: Sebagian besar bab ini ditulis menurut percakapan ketika Buddha menerangkan gagasannya. Oleh karena itu, bab ini disebut “Keranjang Pembahasan.” Kata-kata sang Buddha ini diturunkan selama berabad-abad, dan bercampur aduk dengan legenda-legenda dan keyakinan keliru lainnya.
3. Abhidharma Pitaka: Bab ini berisi filsafat Buddha dan penerjemahan wejangan sang Buddha.
Para biksu Buddha hari ini menganggap perkataan-perkataan ini suci; mereka beribadah dan mengatur kehidupannya menurut perkataan ini. Mereka melukiskan Buddha sebagai tuhan sejati (Tuhan pastilah bukan seperti ini!), dan karena itulah, pemeluk Buddha modern menundukkan diri di depan patung-patungnya, menaruh di depannya sesajian makanan dan bunga, dan berharap pertolongan dari mereka. Jelas, ini benar-benar perbuatan tak masuk akal, dan setiap orang yang percaya bahwa patung batu dan perunggu bisa mendengar atau menolong jelas telah tertipu. Berikut dalam buku ini, kita akan membahas perbuatan-perbuatan sesat mendasar ini lebih terperinci dan melihat bagaimana ajaran Buddha menjadi ajaran rahasia yang memusatkan perhatian pada manusia tanpa memperhitungkan pertanyaan tentang bagaimana tata laksana dunia yang tak bercela ini bisa terjadi, atau bagaimana seluruh alam semesta bisa tercipta.
Sebuah Agama Tak
Kenal Tuhan
Filsafat pemeluk Buddha mengingkari adanya Tuhan, di samping mendasarkan diri mereka pada beberapa akhlak kemanusiaan dan pelarian diri dari penderitaan duniawi. Tanpa dukungan intelektual atau ilmiah agama ini bersandar pada pemikiran kembar tentang karma dan kelahiran kembali (reinkarnasi), sebuah gagasan bahwa manusia akan terus terlahir kembali ke dunia ini, bahwa kehidupan mereka berikutnya ditentukan oleh perilaku mereka di kehidupan sebelumnya. Tak ada kitab Buddha yang merenungkan adanya sang Pencipta, atau bagaimana alam semesta, dunia, dan makhluk hidup terjadi. Tak ada kitab Buddha yang melukiskan bagaimana alam semesta diciptakan dari ketiadaan; atau bagaimana makhluk hidup menjadi ada; atau bagaimana menerangkan bukti, yang bisa dilihat di mana-mana di dunia ini, tentang penciptaan yang tak ada bandingannya. Menurut  tipu daya ajaran Buddha, bahkan tidak diperlukan adanya pemikiran tentang semua ini! Satu-satunya hal penting dalam kehidupan, yang dinyatakan oleh kitab-kitab Buddha, adalah menekan nafsu, menghormati Buddha, dan melarikan diri dari penderitaan.
Oleh sebab itu, sebagai sebuah agama, ajaran Buddha menderita karena cita-cita yang sangat sempit yang menghambat pengikutnya merenungkan pertanyaan mendasar seperti dari mana mereka berasal atau bagaimana alam semesta dan seluruh makhluk hidup terjadi. Jelas, agama ini menghalangi mereka bahkan dari memikirkan hal-hal ini dan menekan mereka ke dalam bentuk sempit kehidupan keduniawian mereka saat ini.

Agama Penindasan
dan Perbudakan
Usaha ajaran Buddha menihilkan seluruh nafsu manusia adalah sisi lain filsafatnya yang sempit. Allah menciptakan berkah dunia ini untuk manfaat dan kesenangan manusia, sehingga mereka bersyukur kepada-Nya. Oleh karena itu, Islam tidak memerintahkan manusia untuk menekan hawa nafsunya atau menanggung rasa sakit dan penderitaan. Sebaliknya, Islam mengajak mereka memanfaatkan hal-hal indah di dunia (tanpa perilaku yang menyimpang dan melawan hukum), bukan mengekang diri mereka tanpa kebutuhan, atau menyebabkan rasa sakit atas diri mereka sendiri. Oleh karena itu, Allah berfirman (Al-Qur'an, 7: 157) bahwa Nabi Muhammad SAW telah “memutuskan dari pengikutnya belenggu mereka”:

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka temukan tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Pendeknya, Islam adalah agama pembebas yang menyelamatkan manusia dari kebiasaan dan larangan tak bermanfaat, tekanan sosial, dan kecemasan tentang apa yang mungkin dipikirkan orang lain. Agama ini mengajak mereka untuk membawa ketenangan, hidup damai dengan tujuan mendapat ridha Allah. Oleh karena itulah Nabi SAW dalam banyak perkataannya menganjurkan kita untuk menjadikan agama ini sederhana dan mudah.
“Mudahkanlah segalanya untuk manusia, dan jangan membuat kesukaran bagi mereka, dan tenangkanlah mereka (dengan kabar gembira) dan jangan menakuti mereka.”1
“Kamu telah diutus untuk memudahkan segalanya (untuk manusia) dan kamu tidaklah diutus untuk mempersulit mereka.”2
Ajaran Buddha memperbudak pengikutnya dalam biara-biara yang suram dan memaksa mereka hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Anehnya, agama ini melarang makanan yang baik, kebersihan, kenyamanan, anugerah yang Allah ciptakan untuk manusia, menerima penderitaan sebagai kebaikan dan menganjurkan pengikutnya untuk menuju kehidupan yang menyedihkan.
Bagi biksu dan biksuni Buddha, kehidupan itu penuh segala jenis kesukaran. Mereka dilarang bekerja atau mempunyai hak milik, wajib mencari makan untuk diri sendiri dari pintu ke pintu dan mengemis dari manusia, dengan menadahkan tangannya. Karena hal inilah, para biarawan Buddha ini sering disebut biksu/bhikku (pengemis) oleh masyarakat. Para biksu Buddha dilarang menikah atau punya kehidupan berkeluarga dalam bentuk apa pun; mereka mungkin hanya punya satu jubah, yang harus dari kain bermutu rendah berwarna kuning atau merah.
Di samping jubah ini, satu-satunya milik mereka yang lain adalah tempat tidur yang sulit dipakai tidur, silet untuk mencukur kepala mereka, kotak jarum untuk mereka gunakan, sebotol air, dan sebuah mangkuk untuk mengemis. Mereka hanya makan satu kali sehari, umumnya berupa roti dan nasi yang diberi bumbu dan minum air atau air cucian beras. Mereka harus menyelesaikan makan sebelum siang dan tidak diizinkan makan apa pun hingga keesokan harinya. Makanan lain, bahkan obat-obatan dianggap kemewahan terlarang. Seorang biksu dapat makan daging, ikan, atau sayur hanya jika ia sakit, itu pun hanya dengan izin biksu yang lebih tinggi derajatnya. Pendeknya, kekangan ajaran Buddha adalah bentuk penyiksaan diri.
Keadaan ini adalah perwujudan kebenaran ayat dalam Al-Qur'an (10:44) yang menyebutkan. “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” Namun, bagi mereka yang percaya pada-Nya dan mengabdikan dirinya kepada-Nya, Allah menjanjikan kehidupan yang sangat baik, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Bagi mereka diberikan baik berkah di dunia ini maupun di akhirat. Menurut Al-Qur'an (7:32):

Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat536." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.

Sisi gelap lain dari ajaran Buddha adalah keputusasaan (rasa pesimis). “Nirwana” yang dijanjikan untuk pemeluknya tidak lebih dari pemutusan gila atas seluruh hubungan dengan kehidupan dengan pemikiran menyedihkan yang membawa pandangan suram tentang dunia. The Catholic Encyclopedia (Ensiklopedia Katolik) menggambarkan sisi gelap ajaran Buddha ini dengan:
Kerusakan parah lain ajaran Buddha adalah rasa pesimisnya yang keliru. Pikiran yang kuat dan sehat memberontak melawan pandangan suram bahwa hidup ini tidak layak dijalani, bahwa setiap bentuk keberadaan kesadaran adalah kejahatan. Pendirian ajaran Buddha ini ditentang oleh suara alam dengan keras yang menyuarakan harapan dan suka cita. Ini adalah protes melawan alam karena memiliki kesempurnaan hidup yang masuk akal. Ambisi tertinggi ajaran Buddha adalah menghancurkan kesempurnaan itu dengan membawa seluruh makhluk hidup menuju keteduhan Nirwana tak sadar. Ajaran Buddha oleh karenanya bersalah karena kejahatan besar melawan alam, sehingga menyebabkan ketidakadilan pada pribadi-pribadi. Semua nafsu yang sah harus ditekan. Kedamaian tak berdosa dikutuk. Penciptaan musik dilarang. Penelitian ilmu alam diabaikan. Perkembangan pikiran dibatasi hanya untuk mengingat kitab-kitab Buddha dan mempelajari metafisika Buddha, yang nilainya sangat kecil. Cita-cita Buddha di dunia adalah pengabaian yang kaku dalam segala hal.3
Islam tidak membuat pengikutnya acuh tak acuh; sebaliknya, Islam menghimbau mereka pada semangat, aktivitas, dan kebahagiaan. Semua orang yang menganut ajaran Islam sangat tanggap pada apa yang terjadi di sekeliling mereka. Mereka tidak memandang dunia seperti ajaran Buddha, sebagai kekacauan yang menipu mata, melainkan tempat ujian, sebuah ajang tempat mereka mengamalkan ajaran akhlak tinggi Al-Qur'an.  Oleh karena itu, sejarah Islam penuh dengan para pemimpin yang adil dan berhasil yang memastikan kehidupan yang nyaman dan bahagia untuk rakyatnya. Dan bertentangan tajam dengan hal ini, ajaran Buddha hanya menghasilkan pengikut yang menyedihkan yang membuat dirinya sendiri menderita, menyeret diri mereka sendiri dan orang lain pada kemandekan dan kemiskinan, dengan satu-satunya pemecahan untuk masalah yang mereka hadapi ialah mengorbankan diri sendiri. Inilah salah satu tipu daya terbesar yang dimainkan setan atas manusia.

Sebuah Agama Kafir
Ajaran Buddha adalah agama kafir, karena menyembah berhala. Bisa dikatakan bahwa ajaran Buddha dewasa ini telah terbagi atas kelompok-kelompok berbeda, dan malah ibadah-ibadah sang Buddha itu sendiri hanya ditemukan pada beberapa di antaranya. Namun, bahkan menerima ajaran Buddha sebagai pedoman sempurna (sebuah kekeliruan yang dialami seluruh aliran Buddha) pun merupakan petunjuk bahwa agama ini memandang Buddha sebagai tuhan.
Menurut sumber-sumber sejarah, para biksu Buddha mulai menyembah Buddha segera setelah kematiannya. Patung-patung dirinya didirikan di setiap tempat, dan keyakinan sesat mendapatkan kekuatan bahwa Nirwana akan benar-benar terwujud dalam dirinya dan terwujud dalam patung-patungnya. Rasa hormat berlebihan para biksu Buddha kepada sang Buddha kemudian menjadi ibadah sesungguhnya. Saat ini, patung-patung raksasa menghiasi setiap negara tempat ajaran Buddha dijadikan agama utama. Di banyak negara dari Asia hingga Amerika Anda bisa melihat patung-patung dan kuil dengan mata Buddha dilukiskan di sana, lagi-lagi menunjukkan pesan bahwa Buddha melihat segalanya dan melihat manusia terus menerus, dan bahwa mereka harus mengingatnya setiap saat dalam kehidupan mereka. Jelas, merupakan keyakinan yang sepenuhnya tak berdasar bahwa seseorang yang telah mati ribuan tahun yang lalu masih bisa melihat orang-orang yang percaya padanya, melindungi mereka, dan mendengarkan doa-doa mereka. Keyakinan dasar yang tidak mampu direnungkan oleh pemeluk ajaran Buddha adalah bahwa Allah, Tuhan seluruh dunia, yang meliputi segala sesuatu dan mengetahui rahasia paling tersembunyi dari segala sesuatu, telah menciptakan sang Buddha, seperti halnya seluruh manusia.

Keyakinan pada Karma
Ajaran karma menganggap bahwa segala hal yang dikerjakan manusia akan membawa dampak bagi dirinya cepat atau lambat, dan akan mempunyai dampak atas apa yang disebut sebagai kehidupan selanjutnya. Menurut keyakinan ini, manusia akan terus terlahir kembali ke dunia ini, di mana mereka harus menanggung akibatnya dalam kehidupan berikutnya atas apa yang telah mereka lakukan di masa lalu. Ajaran Buddha mengingkari adanya Tuhan dan yakin bahwa karma adalah kekuatan tersendiri yang mengatur segala sesuatu.
Karma adalah kata Sanskerta yang berarti “tindakan,” dan mengacu pada hukum sebab akibat. Menurut orang yang meyakininya, seseorang akan mengalami di masa yang akan datang apa yang telah ia lakukan di masa lalu, baik atau buruk. Masa lalu adalah kehidupan manusia sebelumnya; masa depan dianggap sebagai kehidupan baru yang akan dimulai setelah kematian. Menurut keyakinan ini, setiap orang yang miskin dalam kehidupan ini membayar dengan kemiskinannya harga kejahatan yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya. Keyakinan takhayul ini juga menyatakan bahwa dalam kehidupan berikutnya, seorang yang jahat bisa “diturunkan derajatnya”  dalam kelahiran kembali sebagai binatang atau bahkan tanaman.
Salah satu akibat berbahaya dari keyakinan pada karma adalah bahwa ajaran ini mengajarkan bahwa ketidakberdayaan, kemiskinan, dan kelemahan saat ini merupakan hukuman untuk kejahatan akhlak seseorang. Menurut sistem kepercayaan ini, jika seseorang cacat, itu adalah karena ia telah menimbulkan luka yang serupa pada seorang yang lain dalam kehidupan sebelumnya sehingga ia pantas mendapatkannya. Keyakinan takhayul ini adalah alasan utama mengapa tatanan masyarakat yang tak adil berupa sistem kasta menguasai India selama berabad-abad. (Harus diingat bahwa karma adalah gagasan Hindu, dan ajaran Buddha sebenarnya muncul dari ajaran Hindu.) Karena sistem kasta itu didasarkan pada karma, orang yang miskin, sakit, dan cacat di India dibenci dan ditindas. Kelas penguasa berkasta tinggi yang kaya menganggap keistimewaan mereka sebagai hal alami dan adil.
Dalam Islam, bagaimana pun menjadi orang yang lemah bukanlah suatu pembalasan; ini diperoleh sebagai ujian dari Allah. Lebih jauh, orang lain mempunyai kewajiban amat penting membantu orang-orang yang membutuhkan. Oleh karena itu, Islam, seperti halnya Yahudi dan Kristen, agama-agama lain yang didasarkan pada wahyu Tuhan namun kemudian diubah-ubah, memiliki perasaan yang kuat atas keadilan sosial. Akan tetapi, agama berdasar karma seperti Buddha dan Hindu mengizinkan adanya pembedaan dan membuat hambatan besar untuk perkembangan masyarakat.
Karma didasarkan pada keyakinan adanya kelahiran kembali: gagasan bahwa manusia kembali ke dunia dengan jiwa yang sama namun dalam tubuh yang berbeda. Gagasan tentang “roda kelahiran kembali” ini menganggap bahwa setiap kehidupan mempengaruhi kehidupan selanjutnya. Namun keyakinan ini tidak mampu menjawab satu pertanyaan: bagaimana karma itu terjadi? Jika ajaran Buddha tidak menerima adanya Tuhan, maka siapakah yang menilai kehidupan seseorang sebelumnya  dan mengirimnya kembali ke dunia dalam tubuh yang baru? Pertanyaan ini tidak punya jawaban! Penganut Buddha percaya bahwa karma adalah “hukum alam” yang terjadi sendiri, serta merta, seperti gravitasi atau termodinamika. Padahal, adalah Allah-lah yang menciptakan seluruh hukum alam. Tidak ada hukum alam yang melihat apa yang diperbuat manusia di sepanjang kehidupan mereka, mencatatnya, dan menilai mereka setelah kematian atas dasar itu. Tidak ada hukum alam yang menentukan, sebagai hasil dari penilaian itu, jenis kehidupan baru apa yang akan dipunyai seseorang dan menciptakannya kembali sesuai itu; dan tidak ada hukum alam yang menjalankan proses ini dengan sempurna atas miliaran manusia, atau binatang. Jelas tidak ada hukum alam seperti itu sama sekali, sehingga proses seperti itu pun tidak mungkin ada.
Begitu banyak manusia di seluruh dunia percaya pada kelahiran kembali, meskipun tidak ada dasar yang masuk akal, karena mereka tidak punya keyakinan keagamaan. Karena mengingkari adanya kehidupan abadi setelah kehidupan, mereka takut pada kematian dan berpegang pada gagasan kelahiran kembali sebagai cara melarikan diri dari ketakutan mereka. Keyakinan pada kelahiran kembali, seperti halnya keyakinan pada karma, didasarkan pada kebahagiaan palsu bahwa kematian adalah sesuatu yang tak perlu ditakuti, dan bahwa setiap orang akan mampu mencapai tujuannya dalam kelahiran yang baru.
Jika reinkarnasi tidak terjadi sendiri, seperti hukum alam, maka jelaslah itu bisa terjadi hanya melalui tindakan penciptaan yang luar biasa. Namun tinjauan Al-Qur'an memberi tahu kita bahwa reinkarnasi tersebut adalah  mitos. Kitab yang diturunkan Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia secara terbuka menyatakan bahwa reinkarnasi itu keliru belaka.


Reinkarnasi Menurut Islam

Seperti halnya segala hal lain, pandangan seorang Muslim mengenai filsafat karma harus didasarkan pada apa yang Allah katakan dalam Al-Qur'an, yang menyatakan hanya ada satu kelahiran dan kebangkitan. Setiap orang hidup hanya satu kali di dunia ini, lalu ia mati. Dalam ayat 62:8, Tuhan kita memberikan perintah berikut ini:

Katakanlah, "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."

Seseorang dibangkitkan setelah kematian, dan menurut seluruh yang telah ia lakukan dan kerja yang ia perbuat, ia diberi ganjaran dengan surga yang abadi atau neraka yang tak berkesudahan. Ini berarti, bahwa manusia memiliki satu-satunya kehidupan di dunia ini, lalu sebuah kehidupan abadi di akhirat. Allah mengatakan sangat jelas dalam Al-Qur'an (21:95) bahwa setelah manusia mati, tidak akan ada yang kembali pada kehidupannya: “Sungguh tidak mungkin atas (penduduk) suatu negeri yang telah Kami binasakan, bahwa mereka akan  sanggup berdiri kembali .” Dan begitu pula:

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) 1022, agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.  Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.  Dan  di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan1023.

Seperti ditunjukkan ayat ini, ada umat manusia yang akan mati dengan harapan dilahirkan kembali, namun pada saat kematian mereka, dikatakan pada mereka bahwa ini mustahil sama sekali. Dalam ayat lain dalam Al-Qur'an (2:28), Allah mengatakan tentang kematian dan kebangkitan manusia:

Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?

Allah mengatakan bahwa setiap manusia memulai sesuatu dari kematian, yakni, ia tercipta dari unsur tanah, air, dan lumpur yang tak bernyawa. Lalu, Allah “menyempurnakan dan menjadikan seimbang” zat tak bernyawa ini (Al-Qur'an, 82:7) dan menghidupkannya. Pada waktu tertentu setelah seseorang itu dihidupkan, kehidupan itu menemukan akhirnya, dan ia meninggal. Ia kembali ke bumi dan membusuk menjadi tanah, tempat ia menunggu pembangkitan akhir. Setiap orang akan dibangkitkan pada Hari Akhir, ketika, dengan mengingat bahwa pengembalian lain ke bumi adalah mustahil, ia akan mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan yang ia lakukan dalam kehidupannya. Dalam Al-Qur'an (44:56-57) Allah berfirman bahwa setelah seorang manusia datang ke dunia, ia akan mengalami hanya sekali kematian: “Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia.  Dan Allah memelihara mereka dari azab neraka, sebagai karunia dari Tuhanmu.  Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar.”
Ayat ini memperjelas bahwa kematian hanya datang satu kali. Tidak peduli seberapa besarkah manusia ingin mengatasi ketakutan akan kematian dan kehidupan setelah mati yang abadi dan menenangkan dirinya dengan keyakinan palsu tentang karma dan reinkarnasi, kenyataannya adalah bahwa mereka tidak akan kembali ke dunia ini setelah mereka mati. Setiap orang hanya akan mati satu kali, dan seperti dikehendaki Allah, akan mendapatkan kehidupan tak berakhir di akhirat. Menurut kebaikan atau kejahatan yang telah dilakukan seseorang, mereka akan diganjar dengan surga, maupun dihukum dengan neraka.
Selamanya adil, penuh kasih dan sayang, Allah memberikan pahala sempurna untuk apa yang telah dikerjakan setiap orang. Jika seseorang mencari ketenangan dalam keyakinan palsu karena takut mati atau kemungkinan masuk neraka, ia akan mengalami kegagalan. Setiap orang yang mempunyai kesadaran pemikiran, hati nurani, dan rasa takut tentang hal ini pasti akan kembali pada Allah dengan hati yang tulus jika ia berharap terjauh dari sakitnya neraka dan memasuki surga. Ia harus menyesuaikan kehidupannya dengan Al-Qur'an, pedoman sejati umat manusia.
Belum pernah menjadi tua atau muda, cantik atau kaya mampu mencegah setiap orang dari kematian, sehingga tak seorang pun bisa mengabaikan kenyataan kematian. Baik seseorang itu mengabaikan kenyataan tersebut atau tidak, kematian adalah sesuatu yang tidak pernah bisa mereka hindari.

Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah  yang  selalu kamu lari lari darinya. (Qur'an, 50: 19)

Dengan membaca ayat ini, Anda mungkin  merenungkan dekatnya kematian, mungkin kematian lebih dekat pada Anda daripada orang lain; dan Anda mungkin mati setelah Anda selesai membaca buku ini. Ia bisa datang tanpa alasan yang jelas, tanpa rasa sakit, kecelakaan, atau sebab ketuaan. Allah akan mengirimkan Malaikat Maut untuk datang pada saat Anda tiba dan mengambil jiwa Anda.
Kita harus selalu menanamkan dalam ingatan kita akan kenyataan penting ini dan tidak pernah menunda persiapan kematian. Al-Qur'an (63:11) mengingatkan kita bahwa “Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.”  Di sini, Allah memberi tahu kita bahwa kematian tidak bisa ditunda, dan dia menyebutkan kesedihan seseorang yang menemuinya:

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antaramu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.

Keyakinan Menyimpang ajaran
Buddha tentang Akhirat
Keyakinan ajaran Buddha pada karma tidak memberi ruang pada keyakinan akan akhirat, surga, atau neraka. Keyakinan palsu dan sesat ini (gagasan akan kembalinya seseorang ke dunia setelah kematian terus menerus) bertentangan dengan apa yang diwahyukan Allah dalam Al-Qur'an. Dalam The Religions of India, Edward Washburn Hopkins, seorang profesor Sanskerta dan Ilmu Filsafat Perbandingan, menerangkan bahwa ajaran Buddha tidak percaya pada kehidupan akhirat:
… Cara pikir sistemnya sendiri membawa Buddha ke dalam pesimisme formal dan total, yang mengingkari hari akhirat bagi manusia yang tidak menemukan kebahagiaan dalam kehidupan ini… Dalam percakapannya dengan murid dan orang yang bertanya padanya, ia menggunakan segala cara untuk melarikan diri dari pertanyaan langsung yang berhubungan dengan takdir atau manusia setelah mati. Ia percaya bahwa Nirwana (kepunahan nafsu) membawa akhir sesuatu. Ia tidak percaya pada jiwa abadi… Apa yang berkali-kali dihimbaunya adalah bahwa setiap orang yang menerima ajaran karma tanpa bantahan atau kelahiran kembali sepenuhnya (yakni, bahwa untuk setiap dosa saat ini, hukuman akan mengikuti di kehidupan selanjutnya), harus berusaha keras untuk melarikan diri, jika mungkin, dari kelahiran kembali yang menyakitkan dan tak berujung itu…4
Dari beberapa tulisan ajaran Buddha, kita bisa mengumpulkan informasi berikut ini tentang akhirat:
Baik seseorang itu terlahir di surga, atau di berbagai tingkatan neraka, bentuk kehidupan di tempat-tempat ini hanyalah sementara, seperti halnya mereka di dunia, dan tidak abadi. Seperti halnya dalam agama Hindu, rentang waktu ketika… manusia tetap di tempat-tempat ini tergantung pada besarnya kebaikan dan keburukan yang telah mereka lakukan selama di dunia. Ketika waktu yang ditentukan untuk mereka telah berakhir, mereka akan kembali ke dunia lagi. Surga dan neraka tidak lebih dari tempat hidup sementara di mana manusia menerima balasan perbuatan yang telah mereka lakukan sewaktu di dunia.5
Ajaran Buddha mengajarkan bahwa ada semacam surga dan neraka, sebagai ganjaran dan hukuman untuk apa yang telah dilakukan manusia. Namun karena keyakinan ini tidak berpegang pada agama wahyu, ia berisi pertentangan dan hal-hal tak masuk akal. Kesimpulannya, dan bertentangan dengan apa yang Allah wahyukan dalam Al-Qur'an, ajaran Buddha percaya bahwa surga dan neraka itu hanyalah sementara.
Kembali, salah satu sudut pandang tak logis kepercayaan ini adalah gagasan bahwa seluruh sistem di dunia ini terjadi dengan sendirinya. Menurut ajaran Buddha, seperti halnya terjadinya alam semesta dan manusia yang tak terkendalikan, begitu pula perputaran kehidupan dan kelahiran kembali. Tidak ada ruang dalam keyakinan ini untuk seorang Pencipta yang membuat dunia menjadi ada serta kehidupan di dalamnya, dan surga dan neraka, dan membalas manusia atas segala yang telah ia lakukan. Padahal, menerima adanya surga dan neraka sebagai tempat pahala dan hukuman diberikan, tapi tidak menjelaskan bagaimana tempat-tempat tersebut tercipta, benar-benar pernyataan yang sangat tak masuk akal dan tak bisa diterima.
Jadi, siapa yag memberi pahala dan hukuman? Atau lebih jauh lagi, bagaimana tempat itu tercipta? Filsafat karma tidak memberi penjelasan apa pun tentang bagaimana surga dan neraka bisa terjadi tanpa sang Pencipta. Kepercayaan takhayul ini telah diturunkan dari generasi ke generasi, tanpa dipertanyakan atau dijelaskan secara logis. Ajaran Buddha tidak punya penjelasan masuk akal tentang adanya alam semesta atau bagaimana ia berfungsi, dan tidak pula tentang asal muasal bukti seni penciptaan sempurna dalam seluruh makhluk hidup. Untuk alasan ini, ajaran Buddha tidak pernah bisa dianggap lebih dari sekedar gerakan mistis tanpa dasar logika, dan hanya didukung mitos.

Kenyataan yang Menunggu

Kita di Akhirat

Satu-satunya sumber tempat kita bisa mempelajari kenyataan tentang kehidupan di dunia ini dan keyakinan pada akhirat adalah Al-Qur'an, yang diturunkan sebagai pedoman bagi manusia dan sunnah Nabi SAW.
Allah berkata dalam Al-Qur'an bahwa kehidupan di dunia ini adalah masa pengujian sementara untuk setiap orang, dan bahwa kehidupan akhirat itu adalah tempat tinggal yang abadi. Setiap orang akan mendapat balasan di surga atau neraka untuk semua perbuatan yang telah ia lakukan selama kehidupan yang ia jalani di dunia ini. Allah mengungkap kebenaran ini dalam firmannya (Al-Qur'an, 6:32):

Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?

Seseorang yang mengabdi kepada Allah, menyesuaikan kehidupannya dengan pedoman sejati yang telah Dia turunkan dan ajaran Nabi SAW, percaya dengan sepenuh hatinya bahwa pada Hari Akhir, ia akan mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, dan akan menerima balasan surga abadi atau neraka yang tak berkesudahan. Allah telah memfirmankan hal ini pada umat manusia dalam kitab yang telah Dia turunkan dan nabi-nabi yang telah Dia pilih. Namun, ajaran Buddha adalah ajaran yang dibuat manusia, dibangun dari mulut ke mulut atas dasar filsafat yang diusulkan oleh satu orang.
Menggunakan alasan seorang manusia untuk mengubah apa yang datang dari Allah adalah kesalahan serius. Orang-orang yang memenuhi kepalanya dengan gagasan yang setengah matang tentang cara Buddha dan, demi keinginannya meniru artis pop favorit atau bintang filmnya, mulai mengikuti ajaran Buddha sebagai gaya, harus merenungkan hal ini dan membebaskan dirinya dari kesalahan mereka.
Dalam Al-Qur'an, Allah mewahyukan sifat orang-orang yang menyatakan bahwa tidak ada akhirat:

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan. (Qur'an, 7: 147)

Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami (Al Qur'an) serta (mendustakan) menemui hari akhirat, maka mereka tetap berada di dalam siksaan (neraka). (Qur'an, 30: 16).

“Balasan” dan “siksaan” yang disebutkan dalam ayat-ayat ini akan dimulai pada saat kematian. Orang-orang yang mengetahui kesalahan yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia akan merasakan kepedihan tak terperikan:

Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, "Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman," (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan). (Qur'an, 6: 27)

Dan, sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin." (Qur'an, 32: 12)

Bagaimana pun seringnya mereka mohon dan minta ampunan, mereka akan memulai kehidupan akhirat yang penuh dengan siksaan, tanpa tempat lari, maupun tempat kembali. Penyesalan mereka tidak akan diterima, dan tidak pula keinginan mereka untuk kembali ke dunia akan dipenuhi. Meskipun diperingatkan berkali-kali, orang-orang ingkar Tuhan yang tidak beriman, dan mengabdikan diri di depan patung-patung batu dan kayu yang mereka persekutukan dengan Allah, yang menganut filsafat sia-sia hanya sebagai pertunjukan untuk menarik perhatian orang lain; yang tidak takut pada Tuhan sebagaimana harusnya, akan memasuki penghinaan tak berkesudahan mulai saat mereka menemui Malaikat Maut. Ruh mereka akan dibawa dengan direnggut ke punggung dan sisi mereka, mereka akan diikat dengan belenggu dan dilemparkan ke neraka; ini akan menjadi awal hari akhirat mereka.
Allah tidak akan mengizinkan mereka bicara, dan suara mereka tidak akan lebih keras dari bisikan. (Al-Qur'an, 20: 108). Neraka akan menjadi tempat akhir seluruh orang yang tak percaya pada Tuhan, tidak meyakini kebangkitan atau akhirat, tetap durhaka meskipun telah diberi peringatan dan tidak menjalani kehidupan berakhlak. Ahli neraka, “dibelenggu bersama dengan rantai” (Al-Qur'an, 25:13), akan dilempar ke dalam “neraka yang ditutup rapat.” (Al-Qur'an, 90:20) dan hidup dalam kegelapan asap hitam tebal. Mereka akan mendengar api yang menggelora keras sewaktu menggelegak dan menemukan manusia yang menjerit di dalamnya. Kesakitan mereka yang tanpa akhir tidak pernah dipulihkan, meskipun mereka merajuk, yang menyebabkan mereka berada dalam kecemasan yang tak terlukiskan.
Secara jasmaniah, penghuni neraka akan mempunyai penampilan mengerikan. Mereka akan diikat dengan belenggu dan rantai, dan mata mereka akan kuyu, gelap karena penghinaan. Suatu angin panas akan membakar kulit mereka, yang akan terus diganti untuk dibakar lagi, seperti digambarkan Allah dalam ayat 4:56, “Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab.” Mereka akan dipukul dengan gada dari besi dan diikat dengan “rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta” (Al-Qur'an, 69:32). Muka, sisi, dan punggung mereka akan dikepung dalam api. Air mendidih akan disiramkan pada kepala mereka, dan mereka akan mengenakan pakaian dari ter.
Al-Qur'an juga menceritakan tentang makanan dan minuman mengerikan yang disediakan untuk orang-orang di neraka. Allah menyatakan dalam ayat 69:36 bahwa “tidak ada makanan sedikit pun (untuk mereka) kecuali dari darah dan nanah” yang hampir tidak bisa ditelan manusia di dunia ini. Di neraka yang telah mereka masuki karena melupakan Allah dan mengejar nafsunya di kehidupan ini, mereka akan diberi minum air mendidih yang dicampur nanah. Dan karena tidak ada yang dapat melewati tenggorokan mereka yang robek, mereka tidak mampu menelan. Di neraka. Allah juga akan membuat para pendosa memakan semak pahit berduri dan Zaqqum (pohon neraka):

Sesungguhnya pohon Zaqqum itu1379,  makanan orang yang banyak berdosa. Seperti kotoran minyak yang mendidih di dalam perut, (Qur'an, 44: 43-45)

Untuk orang-orang yang percaya pada Allah dan kembali kepada-Nya, mereka tidak akan dilaknat dengan keadaan ini, melainkan akan melewati hisab yang mudah. Karena mereka tidak mengikuti filsafat yang sia-sia, dan, karena mencari ridha Allah dan takut pada siksaan-nya di neraka, hidup menurut Al-Qur'an, mereka akan mendapatkan balasan abadi dan diterima di surga, bebas dari rasa takut, kepahitan dan kesedihan. Pada hari itu, Allah berkata, wajah-wajah orang beriman akan bersinar. Seperti yang Allah katakan dalam Al-Qur'an (39:71-73):

Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam dalam rombongan demi rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, "Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?" Mereka menjawab:  "Benar (telah datang)." Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir. Dikatakan (kepada mereka), "Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu,, kamu kekal di dalamnya." Maka neraka Jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri. Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga dalam rombongan demi rombongan (pula). Sehingga  apabila  mereka sampai ke surga itu sedang  pintu-pintunya telah terbuka maka berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, kamu kekal di dalamnya."

Setiap orang harus memperhatikan dengan seksama peringatan Allah yang terus diberikan bahwa hari hisab tengah mendekat, bahwa “hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya.” (Al-Qur'an, 22:7). Dalam ayat lainnya, Allah berkata:

Telah dekat kepada manusia hari penghisaban segala amalan mereka, ketika mereka berada dalam kelalaian dan berpaling (darinya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur'an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, tapi mereka mempermainkan. (Qur'an, 21: 1-2)          

Pada hari itu, orang-orang yang baik akan menerima ganjaran sempurna untuk perbuatan mereka, sedangkan setiap orang yang melakukan kejahatan akan menginginkan akan ada rentang waktu yang jauh antara mereka dengan hari itu. Setiap pribadi akan menghadirkan diri sendiri-sendiri ke hadapan Allah, di mana mereka akan diadili dengan keadilan sempurna:

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan. (Qur'an, 21: 47)

Seluruh filsafat buatan manusia adalah tipu daya yang menjauhkan manusia dari kepercayaan akan adanya Allah dan dari penghambaan pada-Nya. Pemahaman ajaran Buddha tentang akhlak yang hanya bersifat kulit luar saja sepenuhnya bertentangan dengan pola alamiah manusia.  Di satu sisi,  agama ini membiarkan manusia menghindari siksaan hati nurani yang datang karena tidak punya agama, sehingga menjadi sumber spiritualitas yang palsu. Orang-orang yang percaya pada ajaran Buddha menghibur dirinya dengan anggapan bahwa mereka telah mencapai kesempurnaan jiwa dengan menyebabkan rasa sakit atas diri mereka dan mengingkari kebutuhan tubuh. Akan tetapi, satu kebenaran dasar yang tidak mereka perhatikan: bahwa manusia harus mengakui bahwa mereka adalah hamba Tuhan. Perbuatan yang baik akan bernilai hanya jika dilakukan untuk secara sadar mengabdi pada Allah dan mendapat ridha-Nya. Mengekang keinginan dan kehendak hati membawa nilai besar, namun hanya jika dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah, dan hingga tingkat yang Dia bolehkan. Bagi mereka yang melakukan upaya ini tanpa pandangan mencapai ridha-Nya, Allah berkata bahwa “mereka itu sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat.” (Al-Qur'an, 2:217)


Gagasan Ajaran 

1 komentar:

  1. sepertinya hampir semua ulasan Topik yang menyangkut pada agama Buddha bersumber dari tulisan Harun Yahya alias Adnan Oktar.
    Pertanyaan saya, sudahkah Anda membaca Tripitaka?
    seperti halnya Umat Muslim hanya mengakui Al-Quran dan hadist.

    Maaf, kalau sudut pandang hanya dilihat dari kacamata Islam saja, maka hasilnya hanya Islam yang benar. dan ini berarti tulisan Anda semua keliru.

    seperti sebuah makanan, hanya tau namanya, tapi belum pernah merasakan. problemnya, berkomentar pula. itulah tulisan-tulisan umat muslim yang mencoba mengkonversi umat Buddha.

    salam kenal,
    Jayasena Dipankhara

    BalasHapus