Selasa, 07 Desember 2010

KONSEP GAIRAH DALAM MASYARAKAT JAHILIAH

¨ Siapa yang Termasuk Anggota
     Ma­sya­rakat Jahiliah?

Kebodohan biasanya dipahami sebagai tak berpendidikan dan tak berbudaya. Namun, orang-orang bodoh yang digambarkan sepan­jang buku ini adalah mereka yang bodoh me­ngenai agama Islam, mengenai kebesaran dan Sifat-sifat Allah yang menciptakan mereka, dan mengenai al-Qur’an yang telah diwahyu­kan untuk umat manusia. Orang-orang seperti itu hidup sesuai dengan informasi yang didiktekan kepada mereka oleh masyarakat yang sarat miskonsepsi, dan bukannya fakta-fakta yang terdapat dalam al-Qur’an. Allah mendefinisikan orang-orang bodoh sebagai­mana mereka “agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.” (Q.s. Yasin: 6).
Kehidupan orang-orang yang lalai dari al-Qur’an dan tidak mengetahui hakikat kehi­dupan dunia, kebenaran tentang mati, dan pengalaman surga dan neraka setelah mati adalah cocok dengan kebodohan mereka. Akibatnya, masalah-masalah yang membuat mereka merasa bahagia, bersemangat dan bergairah didasarkan pada keyakinan yang salah.

¨ Orang-orang yang Bodoh Hanya Ber­gai­rah Mengenai Tujuan-tujuan Keduniaan

Mereka yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan ke­hi­dupan dunia telah menipu mereka.” (Q.s. al-A‘raf: 51).

Sebagaimana ditunjukkan dalam ayat di atas, orang-orang dalam masyarakat jahiliah tertipu oleh kehidupan dunia ini. Meskipun tahu mengenai sifat kehidupan dunia yang singkat dan tidak sempurna, mereka lebih menyukai kehidupan yang sementara ini daripada kehidupan abadi di akhirat, karena mereka merasa lebih mudah untuk memper­oleh kesenangan dunia dan ragu mengenai kehidupan akhirat. Alasan yang salah ini meng­­anggap bahwa dunia berada dalam jangkauan mereka, sementara akhirat jauh sekali.
Ini jelas merupakan jenis penalaran yang sangat dangkal dan irasional. Bagaimanapun, kehidupan manusia di dunia ini terbatas pada periode waktu yang sangat singkat. Kehidup­an manusia yang hanya enam atau tujuh puluh tahun, separonya dihabiskan di masa kanak-kanak dan kehidupan lanjut usia, jelas sangat pendek dibandingkan dengan kehi­dup­an abadi di akhirat. Di samping itu, bah­kan sebelum mencapai usia enam atau tujuh puluh tahun, orang mungkin sudah mati karena berbagai alasan. Setiap saat dia bisa mendapati kehidupannya, yang dia anggap berada dalam genggaman tangannya, tiba-tiba dicabut, dan mungkin, pada waktu yang tak diduga-duga, mendapati dirinya telah masuk ke kehidupan abadi di akhirat, meskipun selama ini dia menganggapnya sangat jauh.
Orang-orang bodoh dan yang lalai ber­usaha untuk mencari kepuasan sebanyak-banyaknya dalam kehidupan dunia, selama periode waktu yang singkat ini, ketimbang berusaha untuk memperoleh ridha Allah dan surga-Nya. Akibatnya, masalah-masalah mem­­­berinya semangat terbatas pada tujuan-tujuan kecil menyangkut dunia ini. Faktanya, perasaan yang mereka bayangkan sebagai semangat dan gairah tidak lain adalah kera­kusan. Mereka, yang sangat bergairah menja­lani kehidupan ini, merasakan kegai­rah­an besar terhadap segala sesuatu dimana mereka mengharapkan akan memperoleh ke­untung­an dan kondisi kehidupan yang lebih baik. Maka, orang merasakan hasrat kuat untuk menjadi kaya atau memiliki status atau karir yang prestisius. Untuk mencapai tujuan sema­cam itu mereka melakukan semua bentuk pengorbanan diri dan menahan segala kesulit­an.

Kehidupan sehari-hari orang-orang ini ter­ikat dengan kejadian-kejadian yang mengung­kapkan pemahaman mereka tentang sema­ngat. Sebagai contoh, untuk memperoleh diploma, prestisius yang akan membuat diri­nya memperoleh pengakuan, seorang maha­sis­wa mungkin menenggelamkan diri­nya di tengah buku-buku selama bertahun-tahun. Sadar bahwa ini kondusif bagi keberhasilan, dia rela menghabiskan malam-malam tanpa tidur dan menghindari pergaulan, jika perlu. Hari-harinya dimulai dengan suasana pagi di kendaraan umum yang sesak dan dihabiskan dalam usaha keras, dimana dia menerima dengan senang hati. Namun, dia menolak untuk melakukan pengorbanan yang sama untuk membantu seorang teman karena hal itu tidak memberikan keuntungan duniawi. Apa yang digarisbawahi di sini ialah, bahwa meskipun sebagian besar orang tahu bagai­mana menye­lesai­kan suatu tugas dengan sema­ngat dan gairah, mereka hanya akan melakukannya jika tugas itu sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka tidak memper­lihatkan ambisi yang sama untuk sesuatu yang akan mendatangkan ridha Allah, dan mem­per­lihatkan ketidak­mau­tahuan jika ke­untung­an duniawi tak bisa diharapkan.
Mentalitas jahiliah ini, yang hanya di­da­sar­kan pada keuntungan duniawi, dapat digambarkan dengan contoh berikut ini. Seorang eksekutif yang perusahaannya di ambang kebangkrutan mencurahkan seluruh energinya, pengetahuannya, sarana dan waktunya untuk menyelesaikan masalah itu. Tetapi karyawannya tidak merasakan kegai­rah­an yang sama untuk menyelamatkan per­usahaan dan kecil kemungkinannya untuk mencari solusi karena dia bukan orang yang akan mengalami kerugian langsung ketika perusahaan bangkrut. Sebagaimana terlihat, keuntungan duniawi umumnya melandasi semangat dan tekad yang dirasakan oleh para anggota masyarakat jahiliah. Sebesar mana keuntungannya, sebesar ambisi yang mereka miliki.

¨ Gairah Para Anggotanya Hanyalah Ke­inginan Sementara

Konsep semangat dalam masyarakat jahi­liah terlihat dalam kegairahannya dalam urusan keduniaan. Orang-orang mungkin mengalami gejolak minat dan semangat terha­dap masalah tertentu dan kemudian suatu hari perasaan ini lenyap dengan tiba-tiba. Dalam masyarakat jahiliah hampir semua orang meluncurkan berbagai proyek dengan antu­sias. Namun, mereka mening­galkan proyek itu tak lama kemudian, hanya karena jenuh dan malas untuk melanjutkan. Sebagai con­toh, sebagian besar orang yang ingin bermain musik segera kehilangan minat dan mening­galkan kursus. Seseorang yang ingin mem­bantu orang yang membutuhkan dan segera memulai kerja amal, tak lama kemu­dian, mungkin ia akan kehilangan semangat dan meng­hen­tikan pekerjaannya. Karena orang-orang semacam itu tidak benar-benar berpe­gang pada cita-cita mulia, membantu orang miskin, melakukan perbuatan baik atau mem­perluas wawasan dalam bidang tertentu ter­bukti hanya merupakan tingkat sesaat. Meng­habiskan hidup sehari-hari, dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang dekat, dan memperoleh penghargaan orang lain sering sudah cukup untuk memuas­kan orang-orang ini. Tidak ada sesuatu yang lebih tinggi dari itu yang bermakna bagi mereka. Karena itu, mereka kadang-kadang memberikan per­hatian pada beberapa masa­lah yang tidak ber­kaitan dengan kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri, tetapi tak lama kemudian kepentingan mereka dikalah­kan oleh keje­nuh­an dan kemonotonan.
Selama orang percaya usahanya akan mem­berikan kebaikan dan keuntungan baginya, semangat dan gairahnya tidak pernah padam. Namun tidak satu pun tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang melalaikan akhirat tidak layak untuk diberi semangat terus-menerus. Jika menjumpai kesulitan sedikit saja, kegagalan atau kritik, dia mungkin tiba-tiba merasa letih dan meninggalkan tujuan­nya. Di samping itu, dia mungkin menjadi putus asa. Pemikiran negatif seperti, “Saya sudah bersusah-payah untuk mencapainya tetapi gagal,” menyeret dia ke dalam pesi­misme dan memadamkan semangatnya.
Orang yang telah bertahun-tahun memen­dam ambisi untuk menjadi seorang arsitek mungkin tiba-tiba kehilangan semangat ketika dia menjumpai kesulitan-kesulitan dalam menggambar bangunan. Atau orang yang tertarik untuk melukis mungkin kehi­lang­an semua minatnya setelah beberapa kali mencoba. Sering kali, komitmen mereka yang terlibat dalam kerja sukarela di organisasi amal dipuji di koran-koran dan oleh teman-temannya. Kesenangan yang diperoleh dari melakukan kerja amal, perasaan senang yang ditimbulkan oleh prosedur kerja itu, mungkin menarik orang lain. Namun, mereka yang terlibat dalam kerja amal untuk memperoleh prestise di masyarakat mungkin kehilangan minat setelah beberapa lama, dan satu-satu­nya cara untuk mempertahankan sema­ngat  ialah menjadikan usaha mereka dike­tahui publik dan memujinya. Yakni, mereka harus menerima manfaat, sekalipun manfaat psiko­logis; kalau tidak, bahkan bangun pagi di akhir pekan terasa sulit dan menjadi alasan untuk meninggalkan kegiat­an-kegiatan seperti itu.
Namun, orang-orang beriman, yang ter­libat dalam perbuatan baik dan membantu orang lain sebagai alat untuk memperoleh ridha Allah, tidak pernah kehilangan sema­ngat mereka. Menghadapi kesulitan tidak akan membuat mereka meninggalkan cita-cita mereka. Sebaliknya, karena tahu bahwa ada­nya kesulitan-kesulitan menjadikan pekerjaan semacam itu lebih prestisius di mata Allah, mereka memperoleh kesenangan dan merasa­kan semangat yang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar