Jumat, 20 Agustus 2010

Bolehlah, sesekali judul takzim (yang bukan ja’im) menyambut edisi puasa-lebaran kita tahun ini!


Ilustrasi : Ezra Saraswati
Entah karena memang faktor ambience suasana bulan ibadah atau perilaku hormonal saya yang sudah saatnya mendekat pada ketenangan batin. Kenyataannya, belakangan ini yang paling saya nikmati dalam hidup adalah duduk tenang sambil membaca di alam.
Yah, sealami-alaminya manusia hidup dan biasa beredar di kota,  akhirnya saya terdampar di salah satu sudut kota kecil Fremantle, Australia Barat, yang tepat bertengger di pinggir laut belah bumi selatan nan penuh pesona. Bila suhu di Jakarta pertengahan Juli hampir membangkitkan migren kumat setiap saat, maka hembusan angin 10 derajat Celcius di Fremantle membuat saya berkutat merapatkan jaket tebal dan mempunyai alasan untuk lebih ‘fashionable’ dengan syal lembut berwarna gonjreng melilit leher. Bukan itu saja, menikmati secangkir teh panas dan almond crumble  di teras kafe pinggir jalan sambil menekuni bacaan adalah hal yang sangat mustahil di Jakarta.

Di tengah perasaan nyaman itu, tiba-tiba saya terusik oleh segerombolan sea-gulls yang mengepakkan sayapnya turun ke atas meja makan. Para unggas yang tampaknya kelaparan itu saling berebut liar mematuk-matuk sisa spaghetti bolognaise milik meja sebelah. Pemandangan itu membuat saya terenyak. Saya pernah berada persis di tempat itu kira-kira 12 tahun yang lalu. Tapi tanpa camar liar yang tiba-tiba berevolusi, jadi menyukai cincangan daging sapi berlumur saus tomat, sarat keju dan pasta. Ada apakah dengan laut mereka? Ke mana perginya ikan-ikan kecil sepanjang pesisir pantai itu?

Saya pun langsung teringat pada si Jinx, kucing kampung di rumah, yang sudah tergila-gila dengan cat food kalengan dan melengos “jual mahal” bila disuguhi sisa kepala ikan. Begitu pula Aquilla kami yang berdarah Basett Hound, yang mati memelas setelah menderita penuaan dini dan gangguan kulit yang serius walaupun tak pernah lolos jadwal vaksinasinya. Seumur hidupnya, ia pecandu dog food berbagai merek ternama (bahkan berlabel “for sensitive skin”), sejak disapih induknya.
Tiba-tiba terselip rasa sungkan dan risih. Mengapa hewan-hewan ini seakan-akan mempunyai “Tuhan” baru (baca: Manusia) dalam hidup mereka sebagai food provider? Lalu, ke mana semua makanan mereka yang sesungguhnya? Saya bergidik – mengingat tulang dan daging sapi sudah terhidang sebagai bakso ternama konsumsi manusia, biji-bijian dan bulir beras maupun gandum, serta bekatul, bahkan tak tersisa untuk ayam yang sudah pasrah diberi voer – pakan unggas buatan teknologi manusia. Sebagai gantinya, manusia justru menyikat habis all kinds of grains milik hewan bersayap itu (dan sudah dimanipulasi pabrik).

Lalu, muncul sederetan penyakit hewan akibat human civilisation : Flu burung, sapi gila,…entah apa lagi. Juga untuk manusianya: Diabetes, stroke, penyempitan pembuluh koroner jantung, kanker, penyakit oto-imun… Dan, manusia panik mencari “obatnya”. Dan, ada manusia yang juga meraup untung lagi (kalau tidak, maka tidak ada istilah “investasi industri kesehatan”). Inikah yang akhirnya kita sebut kemajuan teknologi medis?

Intervensi teknologi tak terelakkan, memang. Bukan hanya pada urusan pangan. Sungkem dan cium tangan keluarga yang dituakan (namun tinggal jauh) sudah digantikan oleh SMS fancy atau pesan di facebook, supaya bisa dibaca beramai-ramai. Hidup semakin mati rasa, semakin tawar, semakin numb. Tak heran kita semakin butuh imbuhan rasa manis. Juga di dalam makanan.

Bulan ibadah rupanya membuat kita sedikit berefleksi tentang fitrah kodrati manusia. Bahwa berbuka puasa bukan sekadar memanjakan lidah yang rakus rasa manis, tapi membatalkan puasa dengan segelas air dan dua butir kurma (bukan manisan kurma) sesuai petunjuk Nabi. Kurma asli terasa sepat manis berserat tinggi dan garing berwarna cerah, bukan empuk-legit-lengket-“nempel di gigi’. Bahwa kurma tidak tumbuh di bumi pertiwi ini, maka sah-sah saja sebenarnya bila menu ta’jil diganti dengan kelapa muda atau buah lontar, sebagai saudara sepupu kurma, yang diberi es batu—asal tanpa sirop merah… Ya, ‘kan?

Sudah cukup lelucon miring yang mengatakan: “Eh, bukannya makin langsing di bulan puasa, malah timbangan naik!” Jangan lagi di ujung penghabisan Ramadhan atau justru kegembiraan malam takbiran dinodai stroke yang kumat atau fatalnya serangan jantung koroner akibat alasan-alasan konyol tuntutan kuatnya dorongan makan.

Waktunya tiba untuk kita kembali belajar meniru burung bangau yang setia menangkap ikan di danau, karena memang paruhnya tidak memungkinkan merampas biji jagung milik kakaktua. Begitu pula sebaliknya. Kesetiaan pada pola makan dan gaya hidup kodrati merujuk pada istiqomah yang paling sederhana.

Bulan suci mengandaikan manusia diberi (lagi) kesempatan berdamai. Dengan nafsu-nafsunya, birahi makannya, juga dengan alam dan ekosistemnya. Sudah terlalu banyak kita mendengar ceramah yang bagus-bagus (tapi tidak dijalankan), apalagi jargon-jargon klasik yang hebat idealismenya (namun tidak dimengerti). Ketimbang mencanangkan kata “perang” terhadap junk food, narkoba, aborsi, dan teroris, bukankah lebih baik kita mencontohkan nikmatnya makanan segar dan sehat, kehangatan keluarga yang melahirkan anak-anak saleh dan hidup damai yang menciptakan bangsa besar?

Dari : http://www.preventionindonesia.com/article.php?name=/ibadah--berbuah--berkah&channel=prevention

Tidak ada komentar:

Posting Komentar